Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Rapel buat almarhum

Kasus pemalsuan surat pensiun bekas tentara. ini terjadi di beberapa daerah. (krim)

20 Agustus 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBAGAI orang yang pernah berjuang sekitar 1945-1949 di Aceh, Marzuki, bukan nama aslinya, coba-coba mengurus hak pensiun. Setelah terbentur ke sana ke mari, muncullah Rusdi Anjip, pegawai sipil di Kodam I, menawarkan jasa. Rusdi minta Rp 300 ribu. "Uang pensiun dijamin keluar," katanya. Marzuki berlagak tertarik. Tapi ia segera melapor ke petugas di kantor itu juga. Jebakan pun diatur. Dan begitu Rusdi menerima Rp 300 ribu, ia ditangkap. Dari situ, akhirnya terbongkarlah, selama ini ternyata banyak pensiunan gadungan Lewat Operasi Tenteram I, yang kini masih terus berjalan diketahui ada ribuan Skep (Surat Keputusan) pensiun bekas tentara yang palsu. Kepada mereka, kas negara setiap bulan diperkirakan membayar sampai Rp 100 juta lebih. Padahal, kata Kepala Penerangan Laksusda I Mayor Achmad Maryono, hal itu sudah berlangsung selama 12 tahun. Jadi, katanya, paling tidak negara sudah kebobolan Rp 17 milyar." Itu baru di Aceh. Padahal, menurut sebuah sumber TEMPO, kasus serupa terjadi pula di Jakarta, Ujungpandang dan lima kota di Jawa Barat. "Masalahnya masih terus diteliti Opstib Pusat," kata sumber tadi. Tapi yang sebagian, memang sudah sampai ke pengadilan. Berdasar undang-undang tentang pensiun dan tunjangan serta ketentuan mengenai veteran (UU No. 2/1959 dan UU No. 7/1967), pemegang Surat Keterangan Bekas Tentara (SKBT), memang berhak mendapat pensiun. Mereka itu adalah para pejuang 1945-1949, yang di tahun selanjutnya berhenti sebagai tentara. Lewat proses yang berliku, antara lain seleksi dan kesaksian bekas teman perjuangan dahulu, kepada mereka diberikan uang pensiun. Besarnya -- saat ini -- Rp 38 ribu-Rp 60 ribu sebulan. Tak heran kalau kemudian banyak yang mencoba memanfaatkan "kesempatan emas" tersebut, sekaligus nebeng disebut bekas pejuang. Kepada yang berminat, oknum di bagian Admlnistrasi Personalia yang dibantu oknum lain dan sederet calo, membuat surat keterangan palsu. Mereka juga memalsu stempel, foto, dan tanda tangan. Selanjutnya berkas tersebut dikirim kejawatan Administrasi Personil Angkatan Darat di Bandung. Lembaga inilah yang mengeluarkan SKBT dan surat pensiunnya. Dan "surat berharga" semacam itu, diperjualbelikan dengan harga sekitar Rp 300 ribu. Para pejuang sungguhan pun, karena lewat jalur resmi prosesnya terkadang lama dan berbelit, banyak yang minta tolong lewat calo. Mereka pun, dimintai Rp 300 ribu. Sadisnya, pejuang seperti Marzuki, yang tak mampu menebus, surat pensiunnya dijual kepada orang lain. "Mereka tak bisa berbuat apa-apa, karena selain tak punya uang untuk menebus, juga mereka kebanyakan orang desa yang bodoh dan lugu," kata seorang pejabat di Kodam I. Para bekas tentara yang sampai kini belum juga kebagian pensiun jadi sengit. "Mereka itu gila. Kami yang dulu hampir mati, tak dapat apa-apa, eh, mereka yang cuma goyang kaki bisa mengantungi duit," kata salah seorang bekas pejuang. Di Ujungpandang, permainan lebih gila lagi. Seoranv pensiunan ABRI, yang sudah almarhum dan tak punya ahli waris, "dihidupkan" kembali oleh kawanan manipulator. Beddu Tima, almarhum, misalnya, yang sudah tak punya istri dan ahli waris. Semestinya uang pensiunnya putus sampai di situ. Tapi lewat kongkalikong, uang pensiunnya tetap dikeluarkan. Kawanan itu juga membuat Skep palsu lain atas nama Beddu Tima dan istrinya. Walhasil, uang pensiun yang semestinya sudah tak dibayar, masih tetap dikeluarkan, bahkan sampai beberapa kali. Pekerjaan model begitu, dilakukan oleh Sumadi, bekas kepala KPN dan Mustih kepala Seksi Pembiayaan di kantor itu, dibantu beberapa konconya. Kini mereka tengah diadili di Ujungpandang. Dan terbukti tak hanya Skep milik Beddu yang dimainkan, tetapi banyak lagi yang lainnya. Berdasar catatan sementara, telah diketahui bahwa sekitar seribu Skep palsu yang selama tiga tahun telah menggaet uang negara Rp 2 milyar. Sebagian di antaranya, dicairkan lewat KBN (Kantor Bendahara Negara) II, Jakarta, oleh Remang, Hadi, Lallo, dan Kadir. Dalam dua kali gebrakan, menurut Asisten Pidana Umum Kejaksaan Tinggi Jakarta, R.E. Rasyid, mereka menggondol hampir Rp 12 juta. Caranya, mereka membawa setumpuk berkas surat keterangan yang telah dipalsukan yang menyebutkan seolah-olah berhak mengambil rapel pensiun, karena sudah beberapa tahun tidak atau belum diambil. Remang, petani asal Wajo, Sulawesi Selatan, misalnya, di KBN Jakarta mengaku bekas Peltu Setiawan yang dulu bertugas di Brigif II Anoa. Karena suratnya lengkap dan meyakinkan, klaim rapel pensiunnya sebesar hampir Rp 1 juta dibayarkan. Tapi belakangan ia dan kawan-kawannya ketahuan belangnya. Kini ia tengah diadii di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan mungkin akan mnjadi saksi pada pengadilan Sumadi dan kawa-kawan di Ujungpandang. Akan halnya kasus di Aceh, menurut Mayor Achmad, sampai pekan lalu belum ada yang ditahan. Operasi memang masih berjalan. Dan kepada mereka yang telah berdosa, Achmad mengimbau agar melapor pada petugas. Belum jelas, apa ada yang mau.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus