Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Hantu laut selat malaka

Kawanan perampok kapal tanker pranedya dwitya yang dipimpin oleh rozy, berhasil diringkus oleh polisi perairan di sekitar selat malaka merupakan daerah rawan di selat tersebut. (ln)

20 Agustus 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KAWASAN perompak pimpinan Rozy itu seperti hantu yang tiba-tiba muncul di kala subuh. Mereka membuat seluruh awak kapal tanker Pranedya Dwitya, yang tengah berlayar teringsut-ingsut di perairan Pulau Sambu kecil, Batam, tak berkutik. Maklum, bagaimana pula hendak melawan acungan senjata tajam dan dua pistol yang siap tembak? Dengan gesit dan beringas, kawanan berjumlah 11 orang itu menyikat barang berharga. Sebuah lemari besi, mereka dobrak dengan linggis. Tapi rupanya tak mempan. Tanpa banyak cingcong, brankas tersebut mereka boyong. Sekejap kemudian, 21 Juli lalu, "hantu laut" yang sering beroperasi di perairan Selat Malaka itu pun menghilang dengan perahu motor. Nakoda Bambang -- bukan nama asli segera memerintahkan mengirim berita radio tentang perompakan tersebut. Dan polisi Riau, yang baru mendapat laporan pada 23 Juli, bertindak cepat. Hari itu juga polisi berhasil menangkap empat anggota perompak, dan sampai pekan lalu sudah delapan yang diringkus, termasuk bos mereka, Rozy. "Sisanya pasti bisa kami tangkap," kata Kadapol Riau, Brigadir Jenderal G.V. Sudadi. Dari tangan para perompak disita barang rampasan berupa uang rupiah dan dollar, perhiasan emas, dua pucuk pistol FN kaliber 7,65 benkut pelurunya, serta perahu motor yang dipakai untuk beroperasi. Adapun lemari besi yang diboyong dari kapal Pranedya Dwitya, ditemukan di dasar laut dangkal perairan Riau, dalam keadaan rusak. Sudah tentu, isinya sebanyak US$15 ribu atau hampir Rp 15 juta, telah terkuras habis. Kawanan perompak itu memang gesit juga. Uang dollar hasil jarahan, langsung mereka tukar dengan rupiah hari itu juga. Yang US$ 7 ribu, misalnya, ditukar lewat Bank Dagang Negara Cabang Bukit Nagoya, Batam. Petugas bank di situ, semula curiga juga, sebab jarang terjadi transaksi sebanyak itu. Tapi karena uang yang ditukar bukan dollar palsu, permintaan terpaksa dilayani, dan petugas mencatat kejadian tersebut sebagai laporan khusus. Nama si penukar uang Painan, mereka catat. Dan itu memudahkan polisi dalam pengusutan. Memang dari situ polisi bisa menangkap empat orang yang dicurigai. Sayangnya, Painan dan kawannya Syamsudin, keburu kabur. Siang itu juga, 21 Juli nampaknya setelah berbagi hasil, keduanya naik pesawat menuju Jakarta. Syukurlah, Lettu Amien Rahimsyah, Komandan Polisi Batam yang memimpin pengejaran, berhasil menangkap Rozy dan anak buahnya yang lain. Dalam pemeriksaan, mereka mengaku telah sembilan kali merompak kapal di perairan Selat Malaka, yang empat kali dilakukan tahun ini. Korban terakhir, kapal tanker Pranedya Dwitya -- yang dikontrak Pertamina itulah, yang sedang dalam perjalanan dari Singapura menuju Balikpapan. Beberapa lokasi di perairan Selat Malaka memang boleh dibilang agak rawan. Perairan paling rawan, menurut Dan Sattama Polisi Laut, Kolonel Polisi Hamdan, adalah seputar Selat Phillip. Yaitu perairan antara Singapura dan beberapa pulau kecil Indonesia, seperti Batam. Di perairan tadi, menurut Hamdan banyak kapal tanker atau kapal niaga buang jangkar. Dan perompakan, biasanya, terjadi pada saat para awak kapal turun ke darat. Sebab itu, "mereka berani merompak dengan 5-6 orang hanya bersenjata golok," tutur Hamdan. Atau, seperti dilakukan kawanan Rozy terhadap kapal Pranedya, mereka muncul di kala subuh. Sebab di saat seperti itu, menurut Kadapol Sudadi, semua awak kapal -- kecuali yang sedang bertugas -- masih lelap tertidur. Tambahan lagi, kapal tanker itu sendln memang berjalan perlahan, karena sedang melewati selat sempit. Maka, bila kapal melewati daerah yang diangap rawan atau di saat-saat rawan seperti waktu subuh, Brigadir Jenderal Sudadi menyarankan agar para awaknya berjaga-jaga. Semacam siskamling di kapal, begitulah. "Laut kan luas, tak mungkin bisa diawasi polisi terus menerus," katanya kepada TEMPO. Di Selat Phillip itu pulalah pada sekitar 1981, dikabarkan banyak kapal Jepang sering diganggu perompak amatir yang hanya bersenjata parang telanjang. Menurut Malacca Strait Council (MSC) ketika itu, 80% dari sekitar 5.000 kapal yang melewati Selat Malaka memang kapal Jepang atau yang disewa pihak Jepang. Kapal-kapal ukuran besar yang mengangkut minyak bumi dari Indonesia dan peti kemas berisi hasil industri Jepang, memang hanya bisa melaju dengan kecepatan sekitar 12 knot per jam, berhubung jalur Selat Phillip hanya selebar 1 kilometer saja (TEMPO 18 Desember 1982). Dan di saat itulah perompak menyerbu menggondol tape recorder, radio, pakaian atau selimut. Tak jelas, mengapa orang Jepang yang terkenal jago bela diri itu tidak mengadakan perlawanan. Bisa jadi mereka terkesima, atau meski merasa terggangu, kurang merasa perlu bertindak, sebab barang yang diambil boleh dibilang tak seberapa nilainya. Belum jelas, warga negara mana yang begitu berani merompak kapal besar -- atau tepatnya menggarong kekayaan milik awak kapal -- hanya bersenjata parang dan kelewang. Namun, menurut laporan asosiasi pemilik kapal Jepang dan serikat sekerja pelautnya, antara Mei 1981 sampai pertengahan 1982, sudah terjadi 20 kali kasus perompakan. Untuk menanggulangi kerawanan itu, telah dijalin kerja sama Polri dengan Kepolisian Malaysia dan Singapura. Tapi, menurut Duta Besar Malaysia untuk Indonesia, Datuk Mohamad bin Rachmat, kasus perompak di Selat Malaka boleh dibilang tak begitu menonjol. Yang banyak, katanya kepada TEMPO, "justru perkara penyelundupan dan pencurian ikan yang dilakukan nelayan Malaysia." Pencurian ikan, menurut Datuk Mohamad, karena nelayan Malaysia diizinkan memakai pukat harimau, sementara yang banyak ikannya justru perairan yang masuk wilayah Indonesia Akan halnya daerah rawan penyelundupan ialah perairan antara Penang dengan Belawan dan antara Pulau Ketam dengan Bagan Siapi-api. Dan yang dikhawatirkan Datuk Mohamad ialah digunakannya Selat Malaka untuk jalur penyelundupan narkotika. Kolonel Polisi Hamdan, tak kalah khawatir pula. Bukan hanya terhadap kemungkinan penyelundupan narkotik, melainkan: "Dari dua puluh kapal patroli yang kita miliki, delapan belas di antaranya kapal tua buatan 1963," katanya dengan nada prihatin. Meski persenjataannya cukup memadai, namun kapal-kapal tersebut paling banter berkecepatan 27 knot. Padahal, kata Hamdan, kawanan perompak atau penyelundup biasanya menggunakan kapal yang bisa melaju di atas 30 knot per jam. Walhasil, meski petugas cukup tangkas dan berani, bila harus mengejar kapal penyelundup, mau tak mau kedodoran juga.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus