KAWASAN perompak pimpinan Rozy itu seperti hantu yang tiba-tiba
muncul di kala subuh. Mereka membuat seluruh awak kapal tanker
Pranedya Dwitya, yang tengah berlayar teringsut-ingsut di
perairan Pulau Sambu kecil, Batam, tak berkutik. Maklum,
bagaimana pula hendak melawan acungan senjata tajam dan dua
pistol yang siap tembak?
Dengan gesit dan beringas, kawanan berjumlah 11 orang itu
menyikat barang berharga. Sebuah lemari besi, mereka dobrak
dengan linggis. Tapi rupanya tak mempan. Tanpa banyak cingcong,
brankas tersebut mereka boyong. Sekejap kemudian, 21 Juli lalu,
"hantu laut" yang sering beroperasi di perairan Selat Malaka itu
pun menghilang dengan perahu motor.
Nakoda Bambang -- bukan nama asli segera memerintahkan mengirim
berita radio tentang perompakan tersebut. Dan polisi Riau, yang
baru mendapat laporan pada 23 Juli, bertindak cepat. Hari itu
juga polisi berhasil menangkap empat anggota perompak, dan
sampai pekan lalu sudah delapan yang diringkus, termasuk bos
mereka, Rozy. "Sisanya pasti bisa kami tangkap," kata Kadapol
Riau, Brigadir Jenderal G.V. Sudadi.
Dari tangan para perompak disita barang rampasan berupa uang
rupiah dan dollar, perhiasan emas, dua pucuk pistol FN kaliber
7,65 benkut pelurunya, serta perahu motor yang dipakai untuk
beroperasi. Adapun lemari besi yang diboyong dari kapal
Pranedya Dwitya, ditemukan di dasar laut dangkal perairan Riau,
dalam keadaan rusak. Sudah tentu, isinya sebanyak US$15 ribu
atau hampir Rp 15 juta, telah terkuras habis.
Kawanan perompak itu memang gesit juga. Uang dollar hasil
jarahan, langsung mereka tukar dengan rupiah hari itu juga. Yang
US$ 7 ribu, misalnya, ditukar lewat Bank Dagang Negara Cabang
Bukit Nagoya, Batam. Petugas bank di situ, semula curiga juga,
sebab jarang terjadi transaksi sebanyak itu. Tapi karena uang
yang ditukar bukan dollar palsu, permintaan terpaksa dilayani,
dan petugas mencatat kejadian tersebut sebagai laporan khusus.
Nama si penukar uang Painan, mereka catat. Dan itu memudahkan
polisi dalam pengusutan.
Memang dari situ polisi bisa menangkap empat orang yang
dicurigai. Sayangnya, Painan dan kawannya Syamsudin, keburu
kabur. Siang itu juga, 21 Juli nampaknya setelah berbagi
hasil, keduanya naik pesawat menuju Jakarta. Syukurlah, Lettu
Amien Rahimsyah, Komandan Polisi Batam yang memimpin pengejaran,
berhasil menangkap Rozy dan anak buahnya yang lain. Dalam
pemeriksaan, mereka mengaku telah sembilan kali merompak kapal
di perairan Selat Malaka, yang empat kali dilakukan tahun ini.
Korban terakhir, kapal tanker Pranedya Dwitya -- yang dikontrak
Pertamina itulah, yang sedang dalam perjalanan dari Singapura
menuju Balikpapan.
Beberapa lokasi di perairan Selat Malaka memang boleh dibilang
agak rawan. Perairan paling rawan, menurut Dan Sattama Polisi
Laut, Kolonel Polisi Hamdan, adalah seputar Selat Phillip. Yaitu
perairan antara Singapura dan beberapa pulau kecil Indonesia,
seperti Batam. Di perairan tadi, menurut Hamdan banyak kapal
tanker atau kapal niaga buang jangkar. Dan perompakan,
biasanya, terjadi pada saat para awak kapal turun ke darat.
Sebab itu, "mereka berani merompak dengan 5-6 orang hanya
bersenjata golok," tutur Hamdan.
Atau, seperti dilakukan kawanan Rozy terhadap kapal Pranedya,
mereka muncul di kala subuh. Sebab di saat seperti itu, menurut
Kadapol Sudadi, semua awak kapal -- kecuali yang sedang
bertugas -- masih lelap tertidur. Tambahan lagi, kapal tanker
itu sendln memang berjalan perlahan, karena sedang melewati
selat sempit. Maka, bila kapal melewati daerah yang diangap
rawan atau di saat-saat rawan seperti waktu subuh, Brigadir
Jenderal Sudadi menyarankan agar para awaknya berjaga-jaga.
Semacam siskamling di kapal, begitulah. "Laut kan luas, tak
mungkin bisa diawasi polisi terus menerus," katanya kepada
TEMPO.
Di Selat Phillip itu pulalah pada sekitar 1981, dikabarkan
banyak kapal Jepang sering diganggu perompak amatir yang hanya
bersenjata parang telanjang. Menurut Malacca Strait Council
(MSC) ketika itu, 80% dari sekitar 5.000 kapal yang melewati
Selat Malaka memang kapal Jepang atau yang disewa pihak Jepang.
Kapal-kapal ukuran besar yang mengangkut minyak bumi dari
Indonesia dan peti kemas berisi hasil industri Jepang, memang
hanya bisa melaju dengan kecepatan sekitar 12 knot per jam,
berhubung jalur Selat Phillip hanya selebar 1 kilometer saja
(TEMPO 18 Desember 1982). Dan di saat itulah perompak menyerbu
menggondol tape recorder, radio, pakaian atau selimut. Tak
jelas, mengapa orang Jepang yang terkenal jago bela diri itu
tidak mengadakan perlawanan. Bisa jadi mereka terkesima, atau
meski merasa terggangu, kurang merasa perlu bertindak, sebab
barang yang diambil boleh dibilang tak seberapa nilainya.
Belum jelas, warga negara mana yang begitu berani merompak kapal
besar -- atau tepatnya menggarong kekayaan milik awak kapal --
hanya bersenjata parang dan kelewang. Namun, menurut laporan
asosiasi pemilik kapal Jepang dan serikat sekerja pelautnya,
antara Mei 1981 sampai pertengahan 1982, sudah terjadi 20 kali
kasus perompakan.
Untuk menanggulangi kerawanan itu, telah dijalin kerja sama
Polri dengan Kepolisian Malaysia dan Singapura. Tapi, menurut
Duta Besar Malaysia untuk Indonesia, Datuk Mohamad bin Rachmat,
kasus perompak di Selat Malaka boleh dibilang tak begitu
menonjol. Yang banyak, katanya kepada TEMPO, "justru perkara
penyelundupan dan pencurian ikan yang dilakukan nelayan
Malaysia."
Pencurian ikan, menurut Datuk Mohamad, karena nelayan Malaysia
diizinkan memakai pukat harimau, sementara yang banyak ikannya
justru perairan yang masuk wilayah Indonesia Akan halnya daerah
rawan penyelundupan ialah perairan antara Penang dengan Belawan
dan antara Pulau Ketam dengan Bagan Siapi-api. Dan yang
dikhawatirkan Datuk Mohamad ialah digunakannya Selat Malaka
untuk jalur penyelundupan narkotika.
Kolonel Polisi Hamdan, tak kalah khawatir pula. Bukan hanya
terhadap kemungkinan penyelundupan narkotik, melainkan: "Dari
dua puluh kapal patroli yang kita miliki, delapan belas di
antaranya kapal tua buatan 1963," katanya dengan nada
prihatin. Meski persenjataannya cukup memadai, namun kapal-kapal
tersebut paling banter berkecepatan 27 knot. Padahal, kata
Hamdan, kawanan perompak atau penyelundup biasanya menggunakan
kapal yang bisa melaju di atas 30 knot per jam.
Walhasil, meski petugas cukup tangkas dan berani, bila harus
mengejar kapal penyelundup, mau tak mau kedodoran juga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini