Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Giliran sudomo terkejut

Karyawan Depnaker, bachtiar luthan dibunuh oleh rekannya, ngiso adiwahono, bekas anggota PKI. kalut karena Depnaker akan dibersihkan dari oknum PKI. (krim)

20 Agustus 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUTAN bekas PKI ternyata masih dianggap momok. Menteri Tenaga Kerja Sudomo membuktikan hal itu, pekan lalu, ketika ia dihadapkan pada kenyataan: seorang karyawannya membunuh, hanya karena julukan itu. "Saya malu dan panas Pak, ejekan itu saya dengar di rumah dan di kantor," kata Ngiso Adiwahono, 47 tahun, kepada Sudomo sesaat ia "diamankan" karena menikam hingga tewas Bachtiar Luthan, kepala Sub Direktorat Pembinaan dan Penawasan Tenaga Kerja Depnaker, Senin lalu. Pengakuan terus terang itu -- dan agaknya merupakan kasus pertama dikemukakan seorang bekas anggota PKI yang bekerja di departemen tak urung membuat bekas Pangkopkamtib itu mengernyitkan dahinya. Didampingi stafnya, pagi itu Sudomo mendengar dengan tekun pengakuan karyawan yang kalap itu. Akhirnya nampak menyesalkan, Sudomo berkata: "Sebaiknya, kalau ada masalah dibicarakan dulu dengan atasan. Jangan bertindak sendiri." Betapa pun, laksamana yang pernah menangani pembebasan puluhan ribu tahanan G30S/PKI itu, kemudian mengabulkan juga pemintaan Ngiso untuk memperhatikan keluarganya. Hari itu juga, begitu Ngiso dibawa polisi, Sudomo memerintahkan stafnya menjenguk keluarga karyawan yang telah bekerja sejak 1960-an itu. 'Sayang, utusan Menteri yang membawa sejumlah uang bantuan itu, tak menemukan seorang pun di rumah Ngiso. Rumah mereka terkunci," kata seorang staf Sudomo. Rekonstruksi, dilakukan Jumat pekan lalu itu juga di kantor Depnaker di Jalan H. Agus Salim, Jakarta, di bawah pandangan ribuan pasang mata. Dalam kesempatan itu beberapa karyawan yang dekat dengan Ngiso mengatakan bahwa ayah lima anak itu sebenarnya orang yang pendiam. "Mungkin sakit hati kepada Bachtiar, ditambah cemas kehilangan pekerjaannya, dia jadi kalap," duga seorang karyawan. "Depnaker kan mau dibersihkan dari oknum PKI," tambahnya berterus terang. Kepada polisi Ngiso mengatakan bahwa dia memang pernah menjadi anggota PKI. Tapi belum pernah ditahan sejak G30S/PKI meletus. "Hanya pernah diperiksa, karena dia baru golongan C II," kata Mayor Bambang Sugiarto, wakil komandan Kepolisian Jakarta Pusat. Bulan lalu, Laksamana Sudomo memang pernah mengungkapkan pada wartawan, Depnaker akan dibersihkan dari oknum bekas anggota PKI. "Pada akhirnya golongan C I dan C II itu akan diberhentikan dengan berpedoman pada peraturan pemerintah" ucap Sudomo. Sudomo menambahkan bahwa soal pemberhentian itu pun sudah dibicarakan dengan Koordinator Opstibpus Mayor Jenderal E.Y. Kanter. Memang belum ada pembersihan di departemen-departemen. Tapi, pemindahan di Perum Astek, salah satu perusahaan yang bernaung di bawah Depnaker, telah mencopot 17 pejabat yang terlibat G30S/PKI. Bahkan Direktur Utama M. Iwan Stamboel memastikan, jumlah itu akan bertambah, karena masih ada penelitian terhadap sejumlah karyawan lainnya. Hal itu tentu menggelisahkan oknum lainnya. Antara lain Ngiso. Beberapa karyawan Depnaker mengakui hal itu. Bahkan istri Ngiso, Ny. Onah, yang tinggal bersama seorang anak dan adik iparnya di sebuah rumah di Jalan Kutilang III, Depok I, membenarkan bahwa Ngiso memang gelisah sebelum kejadian itu. "Dia pernah bilang begini: "sakit hati, Bu, saya sakit hati", tutur ibu lima orang anak itu kepada Yulia S. Madjid dari TEMPO. Sakit hati karena apa, tak pernah dijelaskan pria bertubuh kurus itu kepada istrinya. Dan sang istri, yang mengaku suka mengurung diri di rumah itu pun, tak pula merasa perlu bertanya, meskipun dia melihat suaminya mulai suka melamun. Wanita yang berusia 45 tahun itu menyangka, suaminya terkenang pada putri mereka yang dibunuh setelah diperkosa orang, dua tahun lalu. "Makanya, saya selalu bilang: sudahlah, Pak, sabar," ujar nyonya itu. Sedikit pun Nyonya Onah tak menyangka bahwa suaminya yang pendiam bisa sekalap itu. Ngiso sendiri, dalam rekonstruksi mengatakan, semula dia hanya ingin minta penjelasan Bachtiar tentang desas-desus mengenai dirinya. Tapi, karyawan yang baru naik pangkat dari golonan III C ke III D itu, menurut Ngiso, malah menunjukkan sikap bermusuhan. Bahkan, katanya, memperlihatkan gelagat mau memukul. Maka, langsung saja, Ngiso menghujamkan pisau sepanjang 20 cm yang dibawanya dari rumah itu ke leher Bachtiar. Korban mencoba melawan, tutur Ngiso, kemudian berusaha lari. Ngiso mengejarnya. Dan, ketika korban jatuh terjerembab di atas tangga, Ngiso yang mata gelap itu menusukkan lagi pisaunya. Bachtiar pun tewas seketika. Istrinya, Nyonya Rusmin, 35 tahun, yang juga karyawan Depnaker, nampak amat terpukul dengan kematian suaminya itu. "Setahu saya dia tak punya musuh," katanya dengan mata sembab di rumahnya di daerah Karet Tengsin, Jakarta. Nampak lesu, wanita yang selalu tampil sederhana itu teringat, hari kematian suaminya itu, persis pada hari kelahirannya yang ke-49.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus