SEBUTAN bekas PKI ternyata masih dianggap momok. Menteri Tenaga
Kerja Sudomo membuktikan hal itu, pekan lalu, ketika ia
dihadapkan pada kenyataan: seorang karyawannya membunuh, hanya
karena julukan itu. "Saya malu dan panas Pak, ejekan itu saya
dengar di rumah dan di kantor," kata Ngiso Adiwahono, 47 tahun,
kepada Sudomo sesaat ia "diamankan" karena menikam hingga tewas
Bachtiar Luthan, kepala Sub Direktorat Pembinaan dan Penawasan
Tenaga Kerja Depnaker, Senin lalu.
Pengakuan terus terang itu -- dan agaknya merupakan kasus
pertama dikemukakan seorang bekas anggota PKI yang bekerja di
departemen tak urung membuat bekas Pangkopkamtib itu
mengernyitkan dahinya. Didampingi stafnya, pagi itu Sudomo
mendengar dengan tekun pengakuan karyawan yang kalap itu.
Akhirnya nampak menyesalkan, Sudomo berkata: "Sebaiknya, kalau
ada masalah dibicarakan dulu dengan atasan. Jangan bertindak
sendiri."
Betapa pun, laksamana yang pernah menangani pembebasan puluhan
ribu tahanan G30S/PKI itu, kemudian mengabulkan juga pemintaan
Ngiso untuk memperhatikan keluarganya. Hari itu juga, begitu
Ngiso dibawa polisi, Sudomo memerintahkan stafnya menjenguk
keluarga karyawan yang telah bekerja sejak 1960-an itu. 'Sayang,
utusan Menteri yang membawa sejumlah uang bantuan itu, tak
menemukan seorang pun di rumah Ngiso. Rumah mereka terkunci,"
kata seorang staf Sudomo.
Rekonstruksi, dilakukan Jumat pekan lalu itu juga di kantor
Depnaker di Jalan H. Agus Salim, Jakarta, di bawah pandangan
ribuan pasang mata. Dalam kesempatan itu beberapa karyawan yang
dekat dengan Ngiso mengatakan bahwa ayah lima anak itu
sebenarnya orang yang pendiam. "Mungkin sakit hati kepada
Bachtiar, ditambah cemas kehilangan pekerjaannya, dia jadi
kalap," duga seorang karyawan. "Depnaker kan mau dibersihkan
dari oknum PKI," tambahnya berterus terang.
Kepada polisi Ngiso mengatakan bahwa dia memang pernah menjadi
anggota PKI. Tapi belum pernah ditahan sejak G30S/PKI meletus.
"Hanya pernah diperiksa, karena dia baru golongan C II," kata
Mayor Bambang Sugiarto, wakil komandan Kepolisian Jakarta Pusat.
Bulan lalu, Laksamana Sudomo memang pernah mengungkapkan pada
wartawan, Depnaker akan dibersihkan dari oknum bekas anggota
PKI. "Pada akhirnya golongan C I dan C II itu akan diberhentikan
dengan berpedoman pada peraturan pemerintah" ucap Sudomo.
Sudomo menambahkan bahwa soal pemberhentian itu pun sudah
dibicarakan dengan Koordinator Opstibpus Mayor Jenderal E.Y.
Kanter.
Memang belum ada pembersihan di departemen-departemen. Tapi,
pemindahan di Perum Astek, salah satu perusahaan yang bernaung
di bawah Depnaker, telah mencopot 17 pejabat yang terlibat
G30S/PKI. Bahkan Direktur Utama M. Iwan Stamboel memastikan,
jumlah itu akan bertambah, karena masih ada penelitian terhadap
sejumlah karyawan lainnya. Hal itu tentu menggelisahkan oknum
lainnya. Antara lain Ngiso.
Beberapa karyawan Depnaker mengakui hal itu. Bahkan istri Ngiso,
Ny. Onah, yang tinggal bersama seorang anak dan adik iparnya di
sebuah rumah di Jalan Kutilang III, Depok I, membenarkan bahwa
Ngiso memang gelisah sebelum kejadian itu. "Dia pernah bilang
begini: "sakit hati, Bu, saya sakit hati", tutur ibu lima orang
anak itu kepada Yulia S. Madjid dari TEMPO.
Sakit hati karena apa, tak pernah dijelaskan pria bertubuh kurus
itu kepada istrinya. Dan sang istri, yang mengaku suka mengurung
diri di rumah itu pun, tak pula merasa perlu bertanya, meskipun
dia melihat suaminya mulai suka melamun. Wanita yang berusia 45
tahun itu menyangka, suaminya terkenang pada putri mereka yang
dibunuh setelah diperkosa orang, dua tahun lalu. "Makanya, saya
selalu bilang: sudahlah, Pak, sabar," ujar nyonya itu.
Sedikit pun Nyonya Onah tak menyangka bahwa suaminya yang
pendiam bisa sekalap itu.
Ngiso sendiri, dalam rekonstruksi mengatakan, semula dia hanya
ingin minta penjelasan Bachtiar tentang desas-desus mengenai
dirinya. Tapi, karyawan yang baru naik pangkat dari golonan III
C ke III D itu, menurut Ngiso, malah menunjukkan sikap
bermusuhan. Bahkan, katanya, memperlihatkan gelagat mau memukul.
Maka, langsung saja, Ngiso menghujamkan pisau sepanjang 20 cm
yang dibawanya dari rumah itu ke leher Bachtiar.
Korban mencoba melawan, tutur Ngiso, kemudian berusaha lari.
Ngiso mengejarnya. Dan, ketika korban jatuh terjerembab di atas
tangga, Ngiso yang mata gelap itu menusukkan lagi pisaunya.
Bachtiar pun tewas seketika.
Istrinya, Nyonya Rusmin, 35 tahun, yang juga karyawan Depnaker,
nampak amat terpukul dengan kematian suaminya itu. "Setahu saya
dia tak punya musuh," katanya dengan mata sembab di rumahnya di
daerah Karet Tengsin, Jakarta. Nampak lesu, wanita yang selalu
tampil sederhana itu teringat, hari kematian suaminya itu,
persis pada hari kelahirannya yang ke-49.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini