IA tak kelihatan gentar. Ia sendiri mungkin juga tidak merasakan rasa waswas dalam hatinya. Tetapi, di hari yang menentukan itu, ia datang sangat terlambat untuk wawancara, yang akan menentukan promosi bagi dirinya. Maka, wawancara itu kacau, dan promosi itu pun dibatalkan. Kisah itu hanyalah sebuah contoh. Ada cerita lain, tentang seorang eksekutif yang baru saja dinaikkan pangkatnya untuk sebuah jabatan prestisius di sebuah perusahaan baru. Ia tampak gembira. Ia juga merasa senang. Tetapi begitu menjabat, ia langsung punya "affair" dengan resepsionis kantornya, secara terang-terangan. Akibatnya, ia pun dipecat. Kariernya ambrol. Apa sebenarnya yang terjadi pada kedua kasus itu? Jika Anda percaya kepada pendapat sejumlah ahli peri laku di Amerika Serikat, yang baru-baru ini mengadakan kongres tahunannya, Jawabnya kurang-lebih begini: kedua orang itu menyabot suksesnya sendiri. Tindakan menyabot sukses diri ini umumnya dilakukan, demi menghindarkan diri dari kegagalan yang lebih parah. Si pelaku lebih baik dianggap gagal karena kesalahan kecil ketimbang jatuh pada saat yang menentukan. "Keuntungan seseorang melakukan hal ini adalah mendapatkan ilusi tentang sukses, tanpa harus menghadapi risiko yang terdapat pada sukses yang sebenarnya," kata Dr. Steven Berglas, seorang psikolog klinik di Universitas Harvard. Hasil penelitian Berglas, yang dikemukakannya dalam kongres itu, segera menarik perhatian orang di masa ketika kata "sukses" kembali mendorong-dorong generasi muda Amerika dan dunia dalam zaman yang kembali menyenangi harta ini. Berglas menyimpulkan, tindakan menyabot diri itu sering dilakukan pada saat seseorang berada di ambang sukses yang, di dalam hatinya, dianggap tak layak berlaku bagi dirinya. Tindakan menyabot diri ini, menurut Berglas, "melindungi gengsi seseorang dari kemungkinan disalahkan karena kegagalan." Dengan kata lain, si penyabot diri tadi sebenarnya berupaya mempertahankan citranya sebagai orang yang mampu pada bidang penting, dengan menunjukkan ketidakmampuannya pada hal sepele. Sikap ini, tampaknya, berakar ke masa kecil seseorang. "Umumnya mereka memiliki orangtua yang berharap terlalu banyak dari anaknya," kata Berglas. Dan orangtua tipe ini sering kali memuji anak-anak mereka terlalu dini dan berlebihan. Akibatnya, si anak tumbuh menjadi orang dewasa yang citra tentang diri sendiri kelewat gede, hingga merasa perlu melindungi gambaran itu dari kenyataan sebenarnya. Cara yang digunakan adalah dengan mencari alasan untuk tidak menjawab tantangan hidup yang nyata. "Seorang anak yang terbiasa dipuji sebelum berprestasi biasanya terbiasa mencari alasan untuk menghindar dari tantangan -- jadi terlindung dari kemungkinan gagal," kata Berglas. Ada juga gerak hati untuk tidak sukses itu timbul dengan pola lain. Seorang yang kekurangan, cacat, atau punya handikap bisa menggunakan faktor itu sebagai alibi untuk kegagalan. Itu salah satu taktik yang biasa digunakan oleh para penderita waham "kalah diri" (self defeat). Para ahli peri laku juga mempelajari taktik lain yang umumnya digunakan. Misalnya taktik "acuh tak acuh", yang biasanya digunakan orang pemalu, dengan mengorbankan keakraban dan kehangatan persahabatan demi melindungi diri dari perasaan "ditolak". Orang yang seperti ini sebenarnya juga mundur sebelum maju. Dalam banyak hal, untuk memilih kalah sebelum bertanding itu orang memakai alasan yang dibuat-buat. Roy Baumeister dari Case Western Reserve University dan Steven Scher dari Universitas Princeton adalah dua ahli yang memfokuskan penelitiannya pada mereka yang terlalu banyak menggunakan alasan semacam ini. Kecenderungan ini, menurut mereka, menjadi "kelainan jiwa" jika dilakukan berulang-ulang. "Banyak penderita saraf dimulai karena terlalu banyak menggunakan alasan yang dibuat-buat, hingga akhirnya hal ini menjadi bagian hidup sehari-hari," kata C. R. Snyder, psikolog dari Universitas Kansas. "Jika Anda mengandalkan alasan yang sama terus-menerus, lama-lama kehidupan Anda berada di bawah bayang-bayang alasan itu, dan akhirnya Anda akan berusaha membuat alasan itu menjadi hal yang nyata," tambahnya. Hal ini jelas terlihat pada para penderita hipokondriak, yakni mereka yang selalu cemas akan sakit dan gemar menelan obat. Mereka ini, menurut penelitian Snyder, cenderung menggunakan "penyakit" mereka sebagai alasan untuk hampir semua hal. Padahal, sebetulnya alasan yang jauh lebih sederhana sudah memadai. Snyder merumuskan perbedaan antara alasan yang dianggap wajar dan alasan yang tidak wajar. Alasan yang wajar, katanya, memindahkan tanggung jawab dari pribadi ke situasi, jadi memperkecil pusat perhatian pada si pembuat alasan. Sebaliknya, seorang pengalah diri biasanya menggunakan alasan yang justru memusatkan perhatian pada pribadinya, dan dengan demikian membuat citra dirinya semakin negatif di mata orang lain. Tingkah seperti ini, menurut Psikolog Rebecca Curtis dari Universitas Adelphi, disebabkan karena orang tipe pengalah diri menganggap dirinya identik sebagai korban. Jadi, jika dia berhenti menjadi korban, ia khawatir akan kehilangan identitas dirinya. "Karena itu, pribadi seperti ini akan menyabot segala upaya yang akan memperbaiki dirinya," kata Curtis. Yang agaknya penting bagi kebanyakan orang ialah bahwa kecenderungan untuk menggergaji jenjang kenaikan sendiri itu bukan terbatas pada sejumlah manusia aneh. Gejala itu dianggap ada pada setiap orang dengan derajat yang berbeda-beda. Sayangnya, tidak dijelaskan benar bagaimana seseorang dapat mengatasi hal itu tanpa bantuan seorang ahli psikologi. Tetapi siapa tahu, dengan mendengarkan pembicaraan seperti dalam kongres para ahli peri laku Amerika itu, kita bisa tahu kenapa kita suatu kali tidak berhasil -- dan takut mencoba menemui tantangan. Bambang Harymurti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini