Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Dua dunia

Indonesia adalah kebudayaan 2 dunia, seperti yang diungkapkan dalam diskusi panel, agt, di tim. india, contoh ekonomi 2 dunia dan budaya 2 dunia. dikhawatirkan indonesia seperti india. perlu ditanggulangi.

17 Oktober 1987 | 00.00 WIB

Dua dunia
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
SEKARANG orang lazim bicara tentang adanya dua macam ekonomi di Indonesia. Pertama, ekonomi yang dikelola para teknokrat pemerintah. Kedua, ekonomi yang banyak bergantung pada sikap perorangan yang mengeduk keuntungan pribadi. Yang satu berfungsi secara mekanis dan dipercayai oleh Bank Dunia, Dana Moneter Internasional, dan donor asing. Yang lain makin tenggelam ke dalam rawa-rawa korupsi dan utang. Dulu, sarjana Belanda Dr. H.J. van Boeke juga bicara tentang dua macam ekonomi di Hindia Belanda. Yaitu ekonomi modern perkotaan dan ekonomi nonmoneter, tradisional, pedesaan. Seorang sarjana Amerika mengungkapkan bahwa Indonesia adalah a two-world economy, ekonomi dua dunia. Tatkala Dewan Kesenian Jakarta menyelenggarakan diskusi panel "Diplomasi Kebudayaan" di Taman Ismail Maruki, akhir Agustus lalu dengan menampilkan pembicara utama Menlu Mochtar Kusumaatmadja, Menteri P & K Fuad Hassan, Rektor Universitas Gadjah Mada Koesnadi Harjasoemantri, mantan Diplomat Ilen Suryanegara, saya ikut serta sebagai pembanding bersama Mochtar Lubis, Juwono Sudarsono, dan Umar Kayam. Saya setuju dengan maksud Indonesia hendak melaksanakan diplomasi kebudayaan, dan mendukung pikiran-pikiran Menlu serta Menteri P & K. Saya minta perhatian peserta diskusi panel, supaya kita jangan lupa melihat keadaan dalam negeri, perkembangan kebudayaan yang perlu dibenahi. Analog dengan ungkapan Indonesia adalah suatu ekonomi dua dunia dapat pula dikatakan bahwa Indonesia adalah kebudayaan dua dunia, a two-world culture. Yang satu kebudayaan perkotaan, yang lain kebudayaan pedesaan. Yang satu modern, merupakan bagian dari budaya global, yang lain tradisional, mempunyai bentuk dan isi sebagaimana diwariskan dan dilestarikan turun-temurun. Di kota-kota sudah timbul sebuah kelas menengah komersial dan birokratik yang mempunyai akses langsung terhadap dunia maju dan modern lewat alat-alat telekomunikasi internasional dan media. Karena itu, persepsi mereka juga dipengaruhi oleh hubungan tersebut. Di Indonesia sudah ada kaum eksekutif dan pengusaha yang berada dalam garis edaran perusahaan-perusahaan multinasional, yang sikap dan kecenderungannya mirip dengan sikap rekan-rekan mereka di Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang, yang dikenal dengan sebutan yuppies, yaitu kaum profesional urban dan muda. Yuppies Jerman Barat, misalnya, memalingkan diri dari protes-protes sosial, dan sebagai gantinya berusaha mengejar uang. Karena penghasilan para pengusaha muda itu tinggi maka selera mereka pun tinggi. Mereka menyukai mobil Porsche 924-S atau mobil sport 944, memakai arloji Rolex emas, mempunyai credit cards, dan suka bepergian ke luar negeri kapan saja dan ke mana saja. Di India, yang mempunyai mixed economy, ada sektor swasta, ada sektor negara, juga kini sudah timbul suatu kelas menengah yang kuat. Jika dulu dikenal kaum bermodal, seperti Tata, Birla, sekarang golongan berduit sudah lebih banyak jumlahnya. Diperkirakan ada 100 juta orang kelas menengah di antara 700 juta penduduk India. Yang menarik untuk diamati bahwa pada umumnya kelas menengah itu hidup dalam dunia sendiri, asyik dengan urusannya sendiri, tiada (atau juga tidak mampu) memperhatikan dan memperbaiki nasib jutaan rakyat yang miskin. Kelas menengah itu tidak mempunyai kepekaan sosial. Egoisme dan materialisme menguasai peri laku mereka. India juga sebuah contoh ekonomi dua dunia budaya dua dunia. Saya paparkan contoh-contoh itu, sebab bukan mustahil perkembangan di Indonesia juga bisa menjurus ke arah seperti di India. Inilah yang perlu kita perhatikan dan tanggulangi. Diplomasi kebudayaan, oke saja. Tapi membenahi keadaan dan kebudayaan di dalam negeri jangan diabaikan. Tidak banyak reaksi dari hadirin setelah saya bicara. Hanya Sejarawan Onghokham yang menyempatkan diri berkata kepada saya: "Bagus". Yang selebihnya diam. Apakah hal-hal yang saya kemukakan dianggap tidak relevan oleh hadirin? Atau mungkinkah ungkapan Indonesia adalah suatu budaya dua dunia dinilai terlalu dicari-cari? Ketua Majelis Ulama Indonesia K.H. Hasan Basri pada suatu hari menceritakan kepada saya sebuah Hadis Baihathi yang berbunyi Al-iman nasfani. Artinya, iman itu dua paruhan. Yang satu nisfun syukri, yang lain nisfun sabri. Kalau kita mendapat suatu nikmat, kita bersyukur. Kalau belum memperolehnya, bersabar. Dua paruhan itu adalah sama dengan dua dunia. Tapi di dalamnya terangkum satu pengertian, ibarat dua sisi dari satu mau uang. Agaknya terpengaruh oleh Hadis Baihathi itu, maka saya sampai bicara tentang Indonesia adalah suatu ekonomi dua dunia, atau dua dunia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus