PERSAINGAN memang mengandung risiko. Untuk bisnis bisa berarti hidup atau mati. Karena itu, kita takut pada persaingan dan, kalau bisa, menghindarinya. Karena itu, banyak kebijaksanaan ekonomi yang dirumuskan berasal dari rasa takut bersaing. Sekalipun banyak politikus di negara maju yang mengatakan bahwa persaingan itu ada baiknya, pernyataan mereka itu sulit dipercaya. Apalagi kalau persaingan yang mereka maksudkan adalah persaingan bebas. Di mana-mana masih banyak pihak yang anti pada persaingan bebas. Argumen yang mereka kemukakan biasanya persaingan bebas itu tidak adil, karena bermula dari posisi yang tidak sama. Yang sudah telanjur besar dan kuat tak bisa dikejar lagi oleh yang kecil dan lemah. Seperti dalam perlombaan maraton, tidak semua peserta berangkat dari garis start yang sama. Argumen itu kuat dan sulit dibantah. Cuma kesulitan argumen seperti itu adalah bagaimana mendefinisikan pemerataan start. Atau, itukah yang diinginkan? Kalau pabrik Tohir cuma sanggup memproduksi tempe 100 kilo sehari, dan pabrik tempe Bob Chandra bisa memproduksi 10.000 kilo sehari, supaya bisa terjadi persaingan yang wajar, apakah ini berarti bahwa pemerintah harus membantu agar pabrik tempe Tohir menjadi besar? Atau pemerintah harus menggemboskan pabrik tempe Bob Chandra? Di sinilah kita menemui kesulitan mendefinisikan sebuah pemerataan. Selama ini belum jelas, mana yang mesti didahulukan: pemerataan hasil atau pemerataan kesempatan. Kalau pemerataan hasil yang dianut, berarti pabrik tempe Tohir harus didongkrak lewat berbagai fasilitas pemerintah -- agar dia dan Bob memperoleh pasar dan keuntungan yang sama. Tapi, pemecahan seperti ini tak akan menjawab tuntutan Bob Chandra: kenapa dia tak punya hak untuk memperoleh hasil yang lebih besar? Pemerataan kesempatan berarti mereka mendapat perlakuan yang sama. Dalam membeli kacang kedelai (dari Bulog, misalnya), keduanya akan dikenai harga dan jangka waktu pembayaran yang sama. Keduanya akan mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh KIK atau KMKP pada suku bunga yang sama. Keduanya tak boleh membayar upah di bawah upah minimum yang ditetapkan Depnaker. Dari sinilah sebuah model ideal -- persaingan yang adil -- bisa dimulai. Dengan kesempatan yang serba sama, pertandingan kedua pengusaha tempe itu akan terpusat pada kalkulasi harga. Keduanya akan berusaha agar pemborosan kacang kedelai dalam proses produksi bisa ditekan sekecil mungkin. Keduanya dipaksa mencari teknik manajemen yang merangsang kegairahan buruh, yang berarti produktivitas. Keduanya akan dipaksa menemukan teknik produksi yang lebih murah. Keduanya akan dipaksa terus memperbaiki mutu tempenya. Keduanya mendapat tekanan untuk mencari ide dan inovasi agar biaya bisa lebih rendah dari saingannya. Keduanya harus melakukan "peningkatan efisiensi". Tohir dan Bob Chandra mungkin menggerutu dalam hati: Mengapa mesti ada persaingan? Mengapa, buat sekadar mencari untung, mereka harus memeras pikiran dan tenaga? Apakah persaingan itu perlu? Perlu, kata Ronald Reagan. Selama masa kepresidenannya, Reagan menunjukkan bahwa persaingan baginya adalah sebuah pandangan hidup. Dia tak percaya bahwa pembangunan industri bisa berhasil hanya lewat fasilitas dan proteksi. "Saya akan memveto setiap undang-undang yang proteksionistis yang diajukan Kongres," katanya di tengah gemuruh tepuk tangan delegasi ke sidang IMF dan Bank Dunia di Washington, dua pekan lalu. Bagi Reagan, fasilitas dan proteksi adalah bak buah kuldi yang tak boleh dimakan oleh industri Amerika. Karena itu, di Amerika Serikat segala cara diambil untuk memastikan bahwa persaingan berlangsung adil dan wajar. Di sana, sebuah undang-undang, yang dikenal dengan Sherman Anti-Trust Act, selama hampir satu abad telah menjaga dan siap bertindak bila persaingan mulai mengarah pada konsentrasi kekuasaan beberapa kelompok bisnis. Betapapun orang sering berbicara tentang manfaat sebuah monopoli, hadirnya monopoli tetap dianggap perusak pasar dan persaingan. Betapapun liberalnya negeri itu, tak ada individu (apa pun dalihnya) yang punya hak untuk punya monopoli. Persaingan akan berlangsung adil dari wajar bila setiap orang punya hak yang sama untuk memasuki sebuah bisnis. Adanya keharusan di banyak negara bahwa diperlukan izin untuk memasuki sebuah industri, dan izin produksi itu tidak otomatis diberikan, menunjukkan bahwa tak semua orang punya hak berusaha di bidang yang menjadi keinginannya. Alasan yang diberikan samar-samar, misalnya kelebihan kapasitas. Padahal, bila pembatasan kapasitas dilepas, dan setiap orang bisa bersaing tanpa melalui lembaga perizinan, pasar dan persaingan itu sendiri akan melakukan seleksi alamiah, yang akan menentukan sendiri siapa yang benar-benar profesional dan berhak hidup. Mungkin, seleksi seperti ini tidak seideal yang diinginkan. Tapi seleksi ini setidaknya masih lebih baik dari seleksi yang ditandatangani seorang birokrat. Mikhail Gorbachev dan Deng Xiao-ping sekarang ini juga sedang bergairah dengan ide persaingan. Padahal, di Uni Soviet dan Cina tempat BUMN merupakan tulang punggung sistem perekonomian -- pasar, persaingan, dan swasta merupakan kegiatan ekonomi bawah tanah. Sekarang, dalam reformasi yang mereka lakukan, BUMN harus berkenalan dengan persaingan dan harus beroperasi seperti sebuah perusahaan swasta. Maka, sebagian transaksi di antara mereka mulai menggunakan harga pasar, bukan harga administratif. Mereka diberi kebebasan menentukan tingkat upah. Karena Gorbachev dan Deng percaya bahwa hanya dengan menggunakan cara kapitalis, BUMN bisa lebih bergairah dan efisien. Mereka, seperti juga Reagan, percaya bahwa persaingan yang bisa memperkuat satuan-satuan ekonomi di negeri masing-masing. Sebuah teologi baru di bidang ekonomi tampaknya telah lahir. Berbagai guncangan yang menimpa ekonomi dunia beberapa tahun terakhir ini membuat orang memerlukan sebuah pegangan. Seperti ditulis John Galbraith dalam bukunya American Capitalism, "Dalam hidup ini, kita memerlukan sebuah teologi ekonomi."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini