RUANG pengadilan di Sibolga, Sumatera Utara, sepi-sepi saja.
Yang hadir hanya majelis hakim, panitera, jaksa, terdakwa,
pembela, saksi ditamhah dua orang wartawan. Semuanya cuma 13
orang! Orang Sibolga seperti lupa, bahwa acara awal bulan lalu,
adalah sidang pengadilan dari suatu peristiwa yang pernah
menghebohkan Zainal Abidin Tanjung, Kedua DPC PPP (Cabang Partai
Persatuan Pembangunan) Kabupaten Tapanuli Tengah, dituntut 6
tahun penjara karena dituduh mengerahkan anggotanya membunuh
Saidi Sihombing, Mei menjelang Pemilu 1977.
Jaksa D. Lase mengungkapkan peristiwanya -- begini. Dalam suatu
rapat DPC PPP, menjelang Pemilu 1977, Zainal Abidin Tanjung (60
tahun) berpendapat ada lawan politik yang dianggapnya
menghalang-halangi perkembangan partai. Orang yang dimaksudnya
ialah Saidi Sihombing, Komisaris Pedesaan Golkar Desa Masundung,
yang mengungkakan adanya kasus "suara palsu" di kalangan warga
PPP Kecamatan Lumut. Untuk itu, kata Jaksa Lase, sekitar April
atau Maret 1977, terdakwa memerintahkan 5 orang anggotanya untuk
membunuh Saidi Sihombing dengan imbalan uang. Dikatakan kepada
Abdul Rahim Panggabean (43 tahun), misalnya, tokoh PPP tersebut
menjanjikan uang jasa Rp 300 ribu ditambah kedudukan sebagai
anggota DPRD II di Tapanuli Tengah.
Cuka Getah
Bagaimana orang-orang PPP tersebut "menghabiskan" Saidi
Sihombing diceritakan jaksa dalam perkara yang terpisah -- di
mana 5 orang anggota PPP sebagai tertuduh -- seperti berikut.
Dipimpin Abdul Rahim Panggabean, Wakil Kepala Biro Hukum DPC PPP
Tapanuli Tengah, anggota yang terdiri dari para petani Jaga
Sitompul (43 tahun) dari Desa Pinang Sori dan Marataon Pasaribu
(26), Jotak Panggabean (29) serta Mara Usin Hutagalung (23)
masing-masing dari Desa Simansor, berembuk menentukan cara-cara
melenyapkan Saidi Sihombing.
Malam menjelang pemilihan umum, 1 Mei 1977, mereka menyusup ke
pondok aktivitas Golkar di Masundung itu Jotak dan Marataon naik
ke loteng. Mudah saja mereka menyergap Saidi yang sedang tidur.
Jotak menduduki perut korbannya sambil menuangkan cairan cuka
getah. Kawannya ikut memegangi kedua belah lengan dan menekankan
kepala korbannya di antara kedua lutut. Selanjutnya Jotak
menggorok leher Saidi dengan pisau lipat sampai kerongkongan
korbannya putus. Marataon kemudian mengambil pisau dari tangan
kawannya dan menambahkan sebuah tusukan ke perut Saidi.
Dari loteng tubuh Saidi dilempar ke bawah -- entah sudah tewas
atau hanya pingsan saja. Diterima oleh Rahim, Jaga dan Mara Usin
yang kemudian menyeretnya ke bawah pohon di halaman pondok. Di
situ, sebelum sosok Saidi dilempar ke Sungai Singali-ngali yang
tak jauh dari pondok, Jaga masih sempat "menyunat" kemaluan
Saidi.
Tuduhan demikian, mula-mula diungkapkan Jaksa PS Hutasoit SH
untuk menyeret ke 5 orang anggota PPP ke pengadilan. Tapi satu
persatu tuduhan jaksa dibantah. Tentang pisau lipat misalnya,
yang dibawa jaksa sebagai bukti alat pembunuhan, tak mereka akui
-- melihat pun mereka tak pernah, katanya. Lalu soal komplotan.
Jangankan berkomplot, kata mereka, mereka saling kenal baru di
kantor polisi -- setelah sama-sama menjadi tahanan.
Lalu pengakuan mereka dalam pemeriksaan pendahuluan yang
dilakukan polisi? Ternyata ada yang tak beres. Para tertuduh
mengungkapkannya ada pemaksaan, ancaman dan penganiayaan
dilakukan polisi untuk memperoleh pengakuan mereka. Seperti
cerita Rahim: "Mula-mula saya disuruh menanggalkan peci, membuka
baju dan celana, yang tinggal hanya kolor saja. Kepala saya
kemudian dipukul dengan pentungan kayu oleh seorang polisi
bermarga Siahaan. Kedua tangan ditarik kuat-kuat ke kiri dan
kanan. Setelah jatuh tergolek, saya diinjak-injak, agar mau
mengaku melaksanakan pembunuhan."
Ditambah dengan keterangan saksi, yang semuanya tidak pernah
menyaksikan para tertuduh menganiaya Saidi, pengadilan
berpendapat tak ada bukti sah yang mendukung tuduhan dan
tuntutan jaksa -- sebelumnya jaksa menuntut hukuman penjara 8
tahun. Tertuduh anggota-anggota PPP itupun 12 November lalu --
setelah ditahan lebih dua tahun, dibebaskan dari tuduhan dan
tuntutan hukum.
Dan sekarang sedang berlangsung perkara Zainal Abidin Tanjung.
Angin baginya tampaknya baik juga: mula-mula ia dilepas dari
tahanan karena yang berwenang menganggap tak ada alasan untuk
menahannya lebih lama. Lalu para saksi -- yang sebelumnya
dituduh pelaku pembunuhan atas perintahnya dan ternyata tak
terbukti -- tentu saja tak banyak menopang tuduhan jaksa. Tunggu
saja putusan pengadilan -- tak lama lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini