Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Karyawan PT Timah, Abdullah Umar Baswedan, dihadirkan sebagai saksi dalam sidang lanjutan tindak pidana korupsi (tipikor) pengelolaan tambang timah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Umar, yang pernah menjabat sebagai Coporate Secretary dan kepala divisi keuangan, mengungkapkan PT Timah pernah mengalami gangguan cashflow pada 2018-2019 akibat menggelontorkan kurang lebih Rp 1 triliun untuk membeli bijih timah dari penambang ilegal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Totalnya Rp 1 triliun untuk proses pembelian secara langsung,” kata Umar di ruang sidang Kusuma Hatmaja Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu, 25 September 2024.
Dia mengatakan semua pembelian bijih timah itu tercatat dalam dokumen akuntansi. Umar menjelaskan dana Rp 1 triliun sengaja diminta oleh direksi untuk melanjutkan program jemput bola.
Sebagai kepala divisi keuangan, saat itu ia hanya mendapatkan tugas untuk melakukan transfer ke Unit Tambang Darat Bangka.
“Pada saat kita transfer ke unit, itu sekali lagi tercatat prosesnya selalu melalui akuntansi. Jadi di akuntansi dicatat, kemudian sebenarnya dari unit ke akuntasi, nanti akuntansi memberikan NPP (nota permintaan pembayaran) pada keuangan. Lalu keuangan transfer. Proses selanjutnya pada saat dana itu ditransfer ke unit, unit yang melaporkan realisasi penggunaan dana ke akuntansi,” katanya.
Diketahui, program jemput bola merupakan cara yang dilakukan PT. Timah untuk melakukan pengamanan aset. Caranya, mereka melakukan pembelian bijih timah dari masyarakat yang melakukan penambangan ilegal, meski hal itu tidak dibolehkan.
Pada pratiknya, perusahaan tetap membelinya dari para penambang ilegal dengan dalih sebagai pengamanan aset seperti yang dilakukan PT. Timah.
Saksi Ungkap Ada Instruksi 030 untuk Pembelian Timah Ilegal
Dalam persidangan sebelumnya, Kepala Divisi Akuntansi PT Timah periode 2017-2019, Ayup Safe’I, bersaksi soal adanya instruksi 030 yang sebelumnya pernah diungkap Ali Syamsuri selaku Kepala Bagian Unit Produksi PT Timah di persidangan Senin 26 Agustus 2024.
Instruksi 030 merupakan kode untuk program pengamanan aset oleh PT Timah. "Tahun 2018 itu jemput bola ada pembayaran langsung ke masyarakat untuk setiap pembelian bijih timah. Itu ada instruksi 030,” kata Ayup di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) PN Jakarta Pusat, pada Kamis, 29 Agustus 2024.
Dia menyebut pada 2018, PT Timah pernah membeli bijih timah secara langsung kepada masyarakat yang melakukan penambangan ilegal di wilayah izin usaha penambangan (IUP) milik PT Timah. Pembelian dilakukan sesuai dengan instruksi direksi 030 sebagai betuk pengamanan aset PT Timah.
Pengamanan aset PT Timah dilakukan melalui program jemput bola, yakni produk Sisa Hasil Pengolahan (SHP). Secara hukum, kata dia, pembelian bijih timah dari masyarakat yang melakukan penambangan ilegal tidak dibolehkan meskipun penambangan dilakukan di wilayah IUP PT Timah. Namun pada pratiknya di lapangan, perusahan membelinya dari para penambang ilegal dengan dalih sebagai pengamanan aset.
Ayup menjelaskan PT Timah hanya diperbolehkan untuk membeli dan membayarkan bijih timah ke perusahaan PT dan/atau CV yang terafiliasi. "Intinya tentang pelaksanaan pengamanan aset, PT Timah kesulitan mengamankan aset saking luasnya,” ujarnya.
Tidak hanya itu, dia menyebut PT Timah menjalin kemitraan dengan PT Refined Bangka Tin (RBT) sejak 2018 untuk menyewa smelter dan gudang. Dalam kerja sama perusahaan, PT RBT membentuk tiga CV yang terafiliasi untuk pembelian bijih timah dari masyarakat.
Ketiga CV tersebut terdaftar dalam surat perjanjian kerja sama atau SPK. PT Timah mengeluarkan uang sewa ke PT RBT Rp 1.099.071.000.000 untuk periode kerja sama 2018-2020. Uang tersebut sudah dibayarkan dan terverifikasi masuk ke rekening PT RBT.
Mutia Yuantisya berkontribusi dalam penulisan artikel ini