Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Peran teknologi dalam kehidupan sehari-hari memang tidak bisa dihindari, terutama dengan adanya ponsel pintar yang sangat dibutuhkan. Namun, di balik produksi ponsel pintar yang kita gunakan, terdapat dampak lingkungan yang serius.
Salah satu bahan utama dalam pembuatan ponsel pintar adalah timah, yang banyak ditambang secara ilegal di Indonesia. Hal ini memicu dampak ekologis yang tak terduga, seperti meningkatnya serangan buaya di beberapa wilayah, terutama di Kepulauan Bangka Belitung.
Logam Ponsel
Timah adalah komponen penting dalam pembuatan ponsel pintar, khususnya untuk menyolder berbagai komponen elektronik. Indonesia, terutama Kepulauan Bangka Belitung, adalah salah satu penghasil timah terbesar di dunia.
Hampir 90 persen timah di Indonesia berasal dari kepulauan ini, menjadikannya pusat penambangan timah global. Meskipun timah menjadi tulang punggung ekonomi setempat, sebagian besar penambangan dilakukan secara ilegal, yang mengakibatkan kerusakan ekosistem.
Sejak era demokratisasi Indonesia pada akhir 1990-an, kontrol atas penambangan timah beralih dari pemerintah pusat ke daerah, yang kemudian memicu lonjakan besar dalam aktivitas penambangan ilegal.
Dalam tiga tahun setelah kebijakan tersebut diterapkan, tambang timah ilegal meningkat empat kali lipat, menyebabkan kerusakan besar terhadap keanekaragaman hayati dan ekosistem lokal. Kerusakan ini tidak hanya memengaruhi ikan, tetapi juga mengancam satwa lain, seperti buaya, yang mulai mencari mangsa di luar habitat mereka.
Serangan Buaya
Salah satu dampak paling mencolok dari penambangan timah ilegal adalah peningkatan serangan buaya. Di Kepulauan Bangka Belitung, tambang-tambang ilegal yang ditinggalkan sering kali terisi air, menciptakan kolam yang disebut kulong.
Kolam-kolam ini menjadi habitat buaya yang lapar, terutama karena penurunan populasi ikan akibat kerusakan ekosistem. Buaya yang kelaparan mulai mencari mangsa alternatif seperti anjing, sapi, bahkan manusia.
Data menunjukkan bahwa dalam sepuluh tahun terakhir hingga 2023, tercatat lebih dari 1.000 serangan buaya di Indonesia, dengan 486 di antaranya berakibat fatal. Serangan buaya ini tidak tersebar merata, melainkan terkonsentrasi di wilayah dengan aktivitas penambangan timah, terutama di Bangka Belitung.
Hampir sepertiga serangan terjadi di tambang timah yang masih aktif atau yang sudah tidak digunakan lagi, menjadikan aktivitas penambangan sebagai salah satu faktor utama penyebab konflik antara manusia dan buaya.
Langka Sani, pendiri Alobi Foundation, organisasi konservasi satwa liar lokal, mengungkapkan bahwa peningkatan serangan buaya ini merupakan fenomena yang relatif baru. Pada masa lalu, serangan buaya mungkin hanya terdengar sekali setahun, tetapi kini laporan serangan bisa mencapai lusinan hanya dalam dua minggu.
Selain buaya menyerang manusia, masyarakat juga kerap membalas dengan menangkap dan membunuh buaya. Organisasi Alobi telah menampung puluhan buaya yang diserang manusia sebagai tindakan pembalasan, beberapa di antaranya bahkan sudah dimukimkan kembali.
Untuk mengurangi serangan buaya, salah satu langkah yang harus diambil adalah menghentikan penambangan timah ilegal yang merusak habitat buaya dan mendorong mereka semakin dekat dengan manusia. Namun, menghentikan penambangan ilegal bukanlah tugas yang mudah.
Perusahaan tambang milik negara, seperti PT Timah, telah menyediakan lingkungan kerja yang lebih aman dan berkelanjutan, tetapi mereka kesulitan bersaing dengan keuntungan finansial dari penambangan ilegal. Sementara itu, permintaan global akan timah tetap tinggi, terutama untuk memenuhi kebutuhan produksi ponsel pintar.
Dengan demikian, masyarakat perlu memahami bahwa keberadaan ponsel pintar yang mereka gunakan mungkin memiliki kaitan dengan konflik lingkungan yang terjadi di tempat lain, termasuk serangan buaya di Indonesia. Kelangsungan ekosistem sangat bergantung pada pengelolaan yang berkelanjutan, baik dalam hal penambangan timah maupun pelestarian habitat satwa liar.
PUTRI SAFIRA PITALOKA | BRANDON MICHAEL SIDELAU | ANTARA
Pilihan Editor: Baru Ditangkap 5 Ekor, Jumlah Buaya Lepas dari Penangkaran Cianjur Belum Dipastikan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini