Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Penyidik Kejaksaan Agung belum memanggil Brigadir Jenderal Mukti Juharsa untuk diperiksa dalam kasus korupsi timah. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Harli Siregar, mengatakan Mukti tidak dipanggil dalam persidangan kasus tersebut yang masih berjalan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Karena yang bersangkutan tidak sebagai saksi dalam berkas perkara, penuntut umum tidak memiliki kewenangan memanggil yang bersangkutan," kata Harli saat ditemui di Kejaksaan Agung, Senin, 30 September 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam fakta persidangan, Mukti Juharsa disebut sebagai admin grup WhatsApp 'New Smelter' dalam persidangan kasus korupsi timah pada Kamis, 22 Agustus 2024. Grup itu diduga dibuat untuk memudahkan PT Timah Tbk. berkoordinasi dengan perusahaan smelter swasta yang terafiliasi.
Nama Mukti Juharsa pertama kali disebut oleh General Manager PT Timah Tbk Ahmad Samhadi sebagai saksi dalam persidangan pada Kamis, 22 Agustus 2024. Sejumlah kesaksian di sidang korupsi timah menyebutkan bahwa jenderal polisi bintang satu itu disebut menjadi admin grup saat masih berpangkat komisaris besar pada 2016.
Ketika itu dia menjabat sebagai Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Kepulauan Bangka Belitung periode 2016-2019. Mukti mengundang sejumlah kontak pengusaha ke dalam grup tersebut dan mengundang para pengusaha untuk hadir dalam suatu pertemuan.
Harli Siregar mengatakan Mukti tetap bisa dihadirkan dalam persidangan untuk bersaksi. "Kecuali, hukum acara mengatur hakim yang memerintahkan. Ikutilah persidangan itu," ucapnya.
Tempo telah berupaya meminta konfirmasi kepada Mukti soal fakta persidangan yang menyebut namanya. Tapi Direktur Tindak Pidana Narkoba Badan Reserse Kriminal Polri itu, tidak ingin menanggapi.
"Nanti, nanti ya," katanya saat ditemui di Lapangan Bhayangkara Markas Besar Polri setelah konferensi pers, Rabu, 18 September 2024.
Dalam kasus korupsi timah, jumlah kerugian negara yang ditimbulkan sekitar Rp 300 triliun. Sejumlah nama dari kalangan korporasi dan pemerintah daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung ikut terseret.