Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ekonomi

Menelusuri Jejak Bisnis Penyelundupan Pasir Timah di Pulau Belitung

Penelusuran Tempo menemukan fakta bahwa ribuan ton pasir timah keluar dari Pulau Belitung setiap pekannya.

8 Oktober 2024 | 08.59 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Penyelundupan pasir timah dari Pulau Belitung ke Pulau Bangka diduga makin marak dengan memanfaatkan celah lemahnya pengawasan dan koordinasi dengan aparat setempat. Smelter-smelter timah di Pulau Bangka diduga kuat menjadi penampung karena tidak satu pun smelter di Belitung yang beroperasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penelusuran Tempo menemukan fakta bahwa ribuan ton pasir timah keluar dari Pulau Belitung setiap pekannya. Pasir timah tersebut diselipkan diantara muatan yang dibawa truk-truk ekspedisi kemudian menyeberang ke Pulau Bangka menggunakan kapal jenis roro.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penyelundupan dilakukan dengan dua cara yakni melalui pelabuhan resmi yakni Pelabuhan Tanjung Ru yang berada di Pegantungan Kecamatan Badau dan dua pelabuhan kecil atau pelabuhan tikus di wilayah Tanjung Binga dan Tanjung Kelayang.

Di Pelabuhan Tanjung Ru, Tempo melihat bagaimana proses penyeberangan dari Pulau Belitung ke Pulau Bangka. Pelabuhan ini dilayani tiga kapal yakni KMP Menumbing Raya dengan rute pelayaran Tanjung Ru - Sadai Bangka, KMP Gorare rute Tanjung Ru - Sadai Bangka dan KMP Puteri Leanpuri dengan rute Tanjung Ru - Tanjung Nyato Kecamatan Selat Nasik Belitung.

Di pelabuhan ini tidak terlihat adanya penjagaan ketat karena kendaraan begitu bebas keluar masuk area pelabuhan tanpa ada penjaga atau aparat penegak hukum. Yang tampak hanya puluhan truk ekspedisi menunggu antrian untuk masuk ke dalam kapal.

Petugas instansi yang terlibat dalam otoritas Pelabuhan Tanjung Ru saat dikonfirmasi soal adanya penyelundupan pasir timah di Tanjung Ru saling lempar tanggung jawab.

"Kami tidak punya kewenangan untuk memeriksa apa yang dibawa oleh truk-truk yang menyeberang. Kami hanya menyiapkan fasilitas pelabuhan saja," ujar Wakil Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pelabuhan Tanjung Ru yang bernama Suhadak.

Suhadak sempat menyebutkan tanggung jawab pemeriksaan barang ada pada PT Angkutan, Sungai, Danau dan Penyeberangan (ASDP). Namun dia meralat keterangannya setelah Supervisor ASDP Tanjung Ru Sukisman datang menemaninya wawancara dan menyebut pemeriksaan barang tanggung jawab aparat penegak hukum.

"Soal muatan tidak tahu karena bukan kewenangan kami. Setiap keberangkatan kita hanya mengecek dokumen. Kita tidak bisa menuduh atau mencurigai kendaraan membawa pasir timah ilegal karena orang bisa marah," ujar dia.

Supervisor ASDP Tanjung Ru Sukisman pun enggan berkomentar terkait dugaan penyelundupan pasir timah tersebut. Dia berdalih tidak bisa menyampaikan keterangan dari perusahaan. "Saya tidak berwenang berkomentar karena ada GM (ASDP) yang saat ini sedang ada di Bangka," ujar dia.

Sementara itu BT kolektor timah asal Bangka yang ditemui di Pelabuhan Tanjung Ru mengatakan transaksi jual beli timah dilakukan dengan sistem Cash On Delivery (COD). Dia mengaku langsung membeli pasir timah dari pengepul kecil kemudian ditampung ke dalam gudang.

"Jika sudah banyak saya kirim ke Bangka selanjutnya dijual lagi ke smelter. Ini saya antri mengirimkan barang ke Bangka. Didepan saya ada 19 mobil. Nomor antrian saya 20," ujar dia.

BT menyebutkan pengiriman pasir timah ke Bangka dengan menggunakan jasa truk ekspedisi yang memuat barang lain. Setiap mobil, kata dia, bisa ada 5 ton sampai 10 ton pasir timah. "Jika kapal berangkat, saya tinggal memastikan barang saya tiba di Bangka tepatnya di Pelabuhan Sadai. Selanjutnya dibawa ke Pangkalpinang dan dijual lagi ke smelter," ujar dia.

Penyelundupan pasir timah via pelabuhan tikus di wilayah Tanjung Binga dan Tanjung Kelayang pun diduga kuat terjadi. Hanya saja proses penyelundupan dilakukan malam hari dengan menggunakan kapal-kapal nelayan.

Kondisi pelabuhan yang sepi tidak ada penjagaan membuat proses pengiriman begitu leluasa dilakukan. Bahkan untuk menuju pelabuhan yang tidak jauh dari Jalan Raya Sijuk ini hanya melewati jalan sempit dengan lebar dua meter saja.

"Kami sering mendengar soal penyelundupan ini. Kalau siang, di wilayah ini aktivitasnya biasa saja karena memang wilayah pelabuhan nelayan. Kalau pengiriman malam, itu mungkin saja," ujar salah satu nelayan Tanjung Binga saat berbincang dengan Tempo.

Selanjutnya baca: Praktik tambang liar timah masih merajalela

Di pelabuhan tikus Tanjung Kelayang, informasi adanya penyelundupan juga terdengar oleh nelayan setempat. Bahkan di sekitar area pelabuhan tikus Tanjung Kelayang ini terdapat gudang timah yang berada tidak jauh dari pelabuhan dan puluhan jerigen - jerigen yang diduga berisi BBM.

"Kalau saya tidak pernah melihat langsung. Hanya dengar saja dari teman-teman yang mengatakan ada orang kirim pasir menuju tengah laut. Di tengah laut nanti ada kapal yang lebih besar menunggu muatan dipindahkan," ujar F nelayan Tanjung Kelayang.

Pelabuhan nelayan di Perairan Tanjung Kelayang Kabupaten Belitung yang diduga menjadi salah satu lokasi penyelundupan pasir timah. TEMPO/Servio maranda

Jejak penyelundupan pasir timah dari Pulau Belitung ke Pulau Bangka juga terungkap dalam investigasi yang dilakukan Bangka Belitung Resource Institute (BRINST) dan para jurnalis yang tergabung dalam Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Pangkalpinang.

Direktur BRINST Teddy Marbinanda mengatakan hasil investigasi menemukan bahwa pemicu penyelundupan pasir timah dari Pulau Belitung disebabkan masih masifnya penambangan di wilayah tersebut. Sementara disisi lain, kata dia, tidak ada smelter timah di Pulau Belitung yang beroperasi.

"Pasir timahnya sebagian besar dikirimkan ke Pulau Bangka. Pasir timah berasal dari tambang rakyat yang menjual hasilnya ke para pengusaha meja goyang untuk dipisahkan yang kemudian menjualnya lagi ke kolektor timah," ujar Teddy, Senin, 7 Oktober 2024.

Menurut Teddy, para pengusaha meja goyang menjadi target kolektor karena memiliki keahlian untuk memisahkan bijih timah sesuai kadar Organic Carbon (OC) yang merupakan metode pengukuran kadar timah. Transaksi timah illegal di Pulau Belitung pun, kata dia, makin menggeliat seiring masuknya kolektor timah dari Pulau Bangka periode Juni - September 2024.

"Kepentingan para kolektor timah asal Bangka adalah menyerap produksi timah dari Belitung untuk ditampung smelter timah di Bangka. Sempat terjadi perebutan mendapatkan pasir timah antara pemain di Belitung dengan di Bangka yang berdampak melonjaknya harga timah dari Rp125 ribu menjadi Rp170 ribu per kilogram dengan kadar OC 72," ujar dia.

Teddy menuturkan praktik penyelundupan timah dari Pulau Belitung seharusnya menjadi perhatian semua pihak karena menyebabkan pendapatan daerah yang diperoleh dari dana bagi hasil timah tidak bisa dinikmati Belitung sebagai daerah penghasil.

"Jika dalam satu mobil yang melintas ada 10 ton, berapa kerugian daerah. Rata-rata produksi timah Belitung di kisaran 1.000 ton per bulan sehingga penyelundupan membuat Belitung sangat dirugikan. Sidang korupsi timah di Jakarta ternyata tidak berpengaruh di Bangka Belitung. Praktik liar tambang timah masih merajalela," ujar dia.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Bangka Belitung Achmad Subhan Hafiz memperingatkan bahwa praktik penyelundupan timah yang terjadi di Belitung semakin membebani lingkungan dan negara.

"Tata kelola penambangan timah tidak terkendali. Penyelundupan ini menambah beban setelah skandal korupsi Rp 300 triliun. Bahkan situasinya semakin buruk dari sebelumnya. Praktik penambangan timah masih terus berlangsung di kawasan ekosistem esensial," ujar dia.

Aparat penegak hukum seperti Kejaksaan Agung (Kejagung), kata Hafiz, harus mengidentifikasi aspek ekonomi politik dari penambangan timah dengan mengaudit bisnis pertambangan mulai dari level perusahaan hingga kolektor.

"Investigasi mendalam diperlukan untuk memahami persoalan lingkungan dalam konteks ekonomi politik. Aparat penegak hukum seharusnya menindak tegas segala bentuk pelanggaran hukum dalam industri ini," ujar dia.

Hafiz menambahkan laporan-laporan warga tentang kerusakan lingkungan yang kian masif seharusnya segera ditindaklanjuti. Ketika perusahaan timah ditutup, kata dia, harus ada langkah hukum yang jelas. "Penegak hukum harus menindak aktor-aktor di balik kerusakan ini, mulai dari operator, konsolidator hingga pengusahanya. Kalau kita lihat ini hanya terkesan mengganti aktornya saja," ujar dia.

Kapolres Belitung Ajun Komisaris Besar Deddy Dwitya Putra belum menanggapi konfirmasi Tempo terkait pengamanan atas maraknya aktivitas penyelundupan di wilayah yang dipimpinnya. Upaya konfirmasi melalui telepon dan pesan WhatsApp belum ditanggapi.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus