Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Onomatope

15 Oktober 2007 | 00.00 WIB

Onomatope
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Seno Joko Suyono

  • Wartawan Tempo

    Gltak! Begitulah suara saat Gundala menggampar gundul bajingan. Bogem mentah lainnya berbunyi: Dug! Bleg! Jlag! Bila telapak tangannya menyemprot petir: Glarrrr!! Jeglerrr!! Entah lebih bertenaga mana kekuatan jagoan Yogya itu dibanding gaplokan superhero Amerika seperti Thor dan Batman. Bagi pembaca Indonesia, mungkin pukulan para superhero komik Marvel yang berbunyi Pow…Bammm…Bop…Crashhh… terasa kurang mantap.

    Bunyi yang sama, pendengaran berbeda. Itulah kekayaan bahasa yang dalam istilah linguistik disebut onomatope. Onomatope mungkin bisa dianggap sebagai dasar penciptaan bahasa. Kita sering geli melihat begitu berbedanya onomatope antarmasyarakat. Contoh paling terkenal misalnya bunyi letusan pistol. Di Amerika: Bang… bang… atau Pop pop pop, sementara di Indonesia: Door… door….

    Onomatope bukan hal remeh. Kebudayaan pop dipenuhi warna-warni onomatope. Perupa seperti Roy Lichtenstein sering memanfaatkannya. Selanjutnya dunia komik, novel grafis, dan periklanan adalah media utama. Balon-balon percakapan komik kadang hanya: Buzzz…atau Rrrrrr. Sebuah baliho raksasa bukan tak mungkin melukiskan gurihnya hamburger hanya menampilkan Nyam… nyam..

    Persoalannya muncul ketika kita sering memungut bunyi-bunyi itu secara mentah. Sebuah ”manga” kita misalnya melukiskan orang terlelap: Zzzzzz…. Bunyi sinyal sebuah radar: Biip… biip. Padahal kuping kita tentu pendengarannya lain. Atau memang karena globalisasi, kini kuping orang di mana pun menjadi seragam. Ini pertanyaan menggelitik, sebab ada yang untuk menyeruput kuah sup meminjam: Slurp… slurp, sementara Slurp… slurp di tempat lain untuk menjilat.

    Memang, sering karena kita kurang kreatif, onomatope ditempatkan tidak pas. Seorang wartawan pernah, saat menggambarkan seorang jagal dari Poso menebaskan pedangnya, menggunakan kata Sret… sret. Padahal sret-sret itu bagi saya lebih tepat untuk bunyi ritssluiting. Di negara Barat, tak mungkin Zip… zip… digunakan untuk menggambarkan adegan pemancungan. Tapi cocok bila itu dikenakan untuk menyebut sampul depan album piringan hitam Rolling Stones Sticky Finger ciptaan Andy Warhol yang menampilkan ritssluiting betulan.

    Belum lagi soal takar-menakar. Anak jatuh dari pohon sampai tulangnya patah ditulis Gedebum…. Menurut saya, gedebum lebih cocok untuk bunyi jatuhnya sekarung beras. Gedebuk? Kurang pas juga. Yang jelas, ketika pintu dibanting keras, yang cocok adalah Brakk…, bukan Derrr!!! Kalau kaca pecah, yang cocok adalah Pranggg…, bukan Tarrr…. Dan mandi pakai shower tentu saja tak cocok jika digambarkan Byur… byur.

    Saya pernah diajak komponis Sutanto Mendut menyusuri pedesaan lereng Merapi-Merbabu. Sutanto mengamati, pada 1980-an, anak-anak mampu menirukan berbagai macam bunyi binatang di hutan: bunyi landak yang masuk ke liangnya, gemeresak ular dan bunglon saat menyusup ke rerumputan, kadal saat merayap, dan kicau berbagai burung. Mulut anak-anak itu secara alami mampu menyajikan aneka variasi bunyi. Kini itu tak ada lagi. Padahal ia pernah ingin membuat paduan suara anak-anak menampilkan onomatope satwa hutan.

    Masyarakat agraris sesungguhnya kaya onomatope. Tapi kadang keragaman onomatope didominasi onomatope daerah tertentu. Kita menuliskan suara ayam jago pasti: Kukuruyukkkk. Padahal itu suara ayam di Jawa Tengah. Orang Sunda dahulu mendengarnya: Kongkorongokkk.

    Sebuah onomatope kadang juga hampir mirip tapi berbeda maknanya. Tertawa kita tulis Gerr…, sementara geram suara raksasa: Grrrrrrr. Saya ingat wawancara dengan Boengkoes. Mantan sersan mayor Cakrabirawa itu bercerita, setelah menembak M.T. Haryono, ia menuju Halim Perdanakusuma. Suasana kawasan itu sepi mencekam. Yang tertancap terus di benaknya adalah suara ranting bambu: Srrr… srrr. Padahal kata srrr bila ditambah e menjadi Serrr... serrr, banyak digunakan pada roman Anny Arrow untuk menggambarkan perasaan yang berdesir.

    Kisah-kisah silat seharusnya menyumbangkan banyak khazanah onomatope. Benturan beragam pedang bukan hanya Cring…. Kelebatan tubuh bukan hanya Wusss. Samplokan tangan bukan hanya Haitsss. Ginkang bukan hanya Ciattt. Iseng-iseng saya baca 7 Pendekar Thian San terjemahan Gan K.L. Deskripsi jurus-jurus begitu detail, tapi onomatopenya sangat miskin. Kayu penakluk naga (Hang-liong-bok) pun tak terdengar bagaimana bunyi bacokannya. Dunia resep masakan pun seharusnya bisa memperkaya vokabuler onomatope. Sebab, memotong kikil yang alot dan memarut kelapa tentu bunyinya tak sama.

    Para jurnalis majalah ini dahulu kreatif menemukan onomatope. Putu Wijaya-lah yang membuat kata dangdut menjadi populer. Sebelumnya, musik itu lebih disebut orkes Melayu. Ia menulis demikian karena mempertimbangkan bunyi pukulan ketipungnya: Dank… dankk... dutt. Juga ingat laporan utama nomor perdana majalah ini (1971) saat meliput pertandingan bulu tangkis Minarni di ASEAN Games di Bangkok tatkala menghadapi Hiroe Yuki, juara All England 1967. Yang diambil sebagai judul adalah bunyi saat ia terpeleset: Krakkkk. Juga pada waktu menulis demam break dance—lead diawali dengan: Tak dududuktak, Duk…, yang mungkin juga meleset sebab musik tari patah-patah itu rasanya lebih condong kepada musik rap.

    Demi memperkaya penulisan, memang kita butuh kreativitas menciptakan onomatope. Hingga ketika kita mendeskripsikan ponsel saja, kita masih kerap memakai ungkapan dering telepon yang klise: Kringgg… kringgg atau Tuttt… tuttt. Padahal ponsel masa kini sudah memiliki pelbagai nada, dari lagu yang sedang terkenal atau bunyi anak menangis hingga bunyi desah-desah segala: Shhh….

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    slot-iklan-300x100

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    slot-iklan-300x600
    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    close

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    slot-iklan-300x100
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus