KASUS korupsi Rp 824 juta di kantor Gubernur Sumatera Utara kembali menelan korban. Setelah bendaharawan kantor gubernuran itu, Machmud Siregar, pada Juni 1986, divonis 9 tahun penjara, Sabtu pekan lalu giliran bekas atasannya, Bachrun Ilmin utasuhut diganjar enam tahun penjara. Menurut majelis hakim, yang diketuai Simanjuntak, Bachrun terbukti turut serta "mengutip" dana lima proyek nonfisik di kantor itu. Kecuali dijatuhi hukuman badan, Bachrun diharuskan membayar denda Rp 15 juta -- subsider lima bulan kurungan. Majelis hakim di Pengadilan Negeri Medan juga menyatakan sebuah mobil station wagon Chevrolet -- atas nama istri Bachrun -- dirampas untuk negara. Sedangkan sebuah rumah permanen seluas 70 m2 dan tanah seluas 480 m2 di Medan dikembalikan kepada ayah enam anak yang sudah 25 tahun bekerja di Pemda Sumatera Utara (Sum-Ut) itu. Bachrun, 56 tahun, diajukan ke pengadilan akibat buntut kasus korupsi Rp 824 juta di kantor gubernuran Sum-Ut. Namanya, ketika menjabat Kepala Biro Mental pada 1984 -- juga penggantinya, Bachrum Siregar -- disebut-disebut sewaktu bekas bawahannya Machmud Siregar diadili. Sebagai atasan langsung Machmud, Bachrun dituduh juga ikut menggunakan rekening No. 4426 di Bank Pembangunan Daerah Sum-Ut (BPDSU) sebagai tempat mangkal dan lalu lintas lima proyek nonfisik. Padahal, rekening itu hanya boleh digunakan untuk proyek Bina Mental. Dengan prosedur begitu, sejak 1 April hingga 4 September 1984, mereka berhasil mencairkan 44 lembar cek senilai Rp 1.197 milyar dari rekening tersebut. Kesemua cek yang ditandatangani Machmud itu bisa cair setelah mendapat contrasign dari Bachrun. Nah, dari dana sebanyak itu, ternyata Rp 824 juta di antaranya menguap dan tak sampai ke tangan yang berhak. Namun, yang dianggap tanggung jawab Bachrun sendiri hanya Rp 535 juta. Setelah "nyanyian" Machmud itu, Bachrun pun diperiksa kejaksaan. Begitu pula penggantinya, Bachrum -- kini lagi diadili -- dan Kepala Subbag Rekening Koran di BPDSU Medan, Tumpang Panghadean. Penyidikan berjalan alot karena sulit membuktikan keabsahan tanda tangan Bachrun di cek-cek tadi. Apalagi Bachrun membantah keras. "Saya tidak pernah menandatangani 44 cek itu," katanya. Belakangan, setelah Labkrim Mabes Polri memastikan tanda tangan itu asli, barulah kasus Bachrun naik ke meja hijau. Di persidangan, ternyata majelis hakim yakin sekali bahwa Bachrun terlibat kasus itu. Cuma saja, majelis tak bisa memastikan berapa bagian dari dana yang dikorupsi itu masuk ke kantung Bachrun dan berapa yang sampai ke tangan Machmud. Yang agaknya jelas, majelis menganggap dakwaan kedua Jaksa Sentosa Sinulingga juga terbukti. Yakni, pemalsuan Buku Kas Umum Proyek yang dipimpin Bachrun itu. Kepada TEMPO, Bachrun tetap membantah tuduhan itu. "Tidak, tanda tangan itu seluruhnya palsu," kata Bachrun, yang puasa di sidang terakhir itu. Menurut Bachrun, dibandingkan dengan tanda tangan aslinya, setidaknya ada tujuh perbedaan pada tanda tangannya di cek-cek tersebut. Misalnya saja, katanya, ciri khas huruf "s" dengan kaki menghadap ke belakang di tanda tangannya. Pada 44 cek itu, kaki huruf tersebut menghadap ke depan, mirip huruf "t". Yang juga membuat Bachrun berang adalah keyakinan majelis hakim bahwa untuk setiap cek yang di-contrasign itu, Bachrun mendapat 10% dari nilai nominalnya. "Apa-apaan, kok saya dikatakan seperti itu," kata biduan orkes keroncong tahun 1950-an yang sudah tiga kali naik haji itu. Pengacara Bachrun, Mardyono, tetap menganggap Machmud yang paling bertanggung jawab atas penyelewengan itu. Tapi itu tadi si anak buah, Machmud, ketika diadili, menunjuk atasannya juga terlibat. Hp. S., Affan Bey Hutasuhut (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini