PERSAINGAN sudah dimulai. Di Mount Sinai Medical Center di New York City, di Duke University, dan di Stanford University, para peneliti kini berlomba merebut sebuah pasar, yang tahun ini saja dinilai 500 juta dolar. Fokus penyelidikan ahli kedokteran itu adalah teknologi baru dalam prosedur memperbaiki penyumbatan pembuluh darah. Angioplasty -- teknik yang selama ini dipakai -- dianggap sudah kuno. Ketika pertama Dr. Andreas Gruentzig pada 1977 di Swiss sukses menggunakannya, angioplasty banyak dipakai untuk membuka pembuluh darah yang tersumbat di kaki dan ginjal. Dan khusus dalam bedah koroner teknik ini alternatif murah dan aman ketimbang operasi bypass, di mana pembuluh dicangkokkan ke bagian yang tersumbat untuk mengalirkan darah. Dalam angioplasty, dokter menyusupkan alat berupa balon kecil melalui pipa tipis ke dalam arteri kaki pasien. Dengan mengikuti geraknya melalui sinar-X, ahli bedah mengarahkan balon ke bagian tersumbat. Balon lalu dipompa, menghancurkan gumpalan kolestrol, mineral, kotoran-kotoran sel, yang melekat pada dinding pembuluh dan menjadi penyebab penyempitan. Berkat angioplasty, darah dari jantung yang tadi tersumbat (kalau gangguannya pada jantung dan serangan jantung) bisa mengalir kembali dengan baik. Belakangan, para ahli menemukan kelemahan pada prosedur ini. Dalam kasus seperti penyumbatan pada pembuluh sudah terlalu berat, atau gumpalan-gumpalan kolesterol dan kotoran telanjur mengeras akibat klasifikasi, teknik balon dinilai tidak lagi efektif. Risiko lain, menutupnya dinding pembuluh darah akibat bongkah-bongkah kotoran yang "ambruk" oleh desakan balon pompa. Maka, dalam prosedur angioplasty, tim bedah selalu disiapkan untuk menghadapi kemungkinan ini. Yang paling berbahaya kalau terjadi restenosis: menggumpalnya kembali kotoran yang sudah dipecah dan dihancurkan. Restenosis terjadi pada 30% kasus arteri koroner dan 40% pasien pembuluh darah kaki, yang hanya enam bulan setelah pemecahan oleh balon. Penyebabnya, kata para ahli, adalah gesekan pipa dan tekanan balon pompa yang mengakibatkan lecet pada dinding pembuluh. "Fungsi balon di dalam arteri cukup primitif," kata Dr. Timothy A. Sanborn. Menurut direktur program penelitian kardiovaskuler pada Mount Sinai Medical Center itu, selain melukai dan memberi tekanan pada pembuluh, balon sebetulnya hanya bisa meratakan gumpalan-gumpalan tanpa mampu menghilangkannya. "Harus ditemukan prosedur yang lebih lembut dan lebih halus daripada angioplasty," tambah Sanborn. Sementara itu, peneliti di Duke University yang bekerja sama dengan Interventional Technologies Inc., California, saat ini menguji pipa yang dilengkapi mata pisau kecil di ujungnya, untuk mencukur gumpalan pada dinding pembuluh. Alat pengisapnya lalu menyedot ke luar sisa-sisa kotoran. Alat pencukur serupa juga dikembangkan oleh tim bapak-anak Dr. Robert Fischel dari John Hopkins University dan Dr Timothy Fischell, kardiolog di Universitas Stanford. Penemuan mereka -- khusus untuk gumpalan yang sudah mengeras berbentuk peluru dengan gigi pemotong di buntutnya. Tapi bukan semua penelitian ditujukan untuk menggantikan peran angioplasty. Kini, Johnson & Johnson Interventional Systems of Warren, misalnya, merancang perancah yang dapat dilipat dan dipakai sebagai pelengkap balon. Ketika balon mengembang dan meratakan bongkah-bongkah kotoran, perancah yang berupa pagar besi itu turut mengembang dan membentuk semacam kerangka yang menyanggah dinding pembuluh. Pengujian terhadap "ratusan" pasien menunjukkan, perancah yang dinamai Palmaz-Schatz stent itu bisa mencegah "ambruk"-nya dinding pembuluh. Penelitian lain bahkan berusaha menggabungkan angioplasty dengan teknologi laser, seperti dilakukan Dr. J. Richard Spears dari Wayne State University di Detroit. Laser yang diletakkan pada ujung saluran berfungsi "memanaskan" dinding pembuluh, sementara balon yang mengembang membesarkan saluran pembuluh dengan meratakan bongkah-bongkah kotorannya. Advanced Interventional Systems di Irvine, California, juga memanfaatkan teknologi laser. Mereka menamakannya excimer, laser dingin. Sistem excimer yang dipasang pada ujung pipa melepaskan getaran energi cahaya ultraviolet yang menghancurkan bongkah, tanpa mengakibatkan panas berarti. Dengan sistem yang sedang diuji di beberapa rumah sakit itu, konon, restenosis bisa dicegah. Belum dipastikan kapan teknologi baru tadi digunakan. Bahkan tidak sedikit tabib meragukan penemuan baru itu. "Saya belum melihat adanya sistem yang mampu menggantikan angioplasty," tutur Dr. Donald S. Baim dari Harvard Medical School. Kata Baim kepada The New York Times tengah Maret lalu, dibutuhkan suatu teknologi yang benar-benar mantap untuk mengganti prosedur yang sudah diuji berkali-kali dan dinilai serba guna. Lainnya menganggap, yang dikembangkan saat ini tak sekaligus membuat angioplasty usang. "Sebaliknya, tidak satu pun dari alat-alat itu cocok untuk semua kondisi dan semua pasien," ujar Dr. Robert Ginsburg. Dalam kaca mata kepala pusat terapi vaskuler di Standford Medical Center ini, tampak seorang ahli bedah dengan peralatannya seperti pemain golf yang dilengkapi bermacam tongkat pemukul bola. "Berdasarkan kasusnya, kami bisa memilih alat mana yang paling layak dipakai," katanya. Namun, yang jelas, siapa yang mampu mempersembahkan teknologi yang lebih akurat bakal mengeruk untung besar. Yudhi Soerjoatmodjo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini