HATI-HATI menjadi wanita kaya. Seorang wanita kaya di Majalengka, Jawa Barat, Ade Nurdjanah, 25 tahun, yang semula diduga tewas karena kecelakaan lalu-lintas, ternyata mati karena dibunuh suaminya, Ende S., 32 tahun. Hebatnya, untuk "proyek" itu, Ende tak hanya melibatkan seorang pembunuh bayaran, Narta, 30 tahun, tapi juga ayahnya sendiri, Udin, 50 tahun. Kisah mirip film Indonesia itu, yang terjadi pada Agustus tahun lalu, akhirnya diungkapkan Polda Jawa Barat. Pekan lalu, berkasnya dilimpahkan polisi ke Kejaksaan Majalengka. "Motif pembunuhan ini murni harta. Kalau soal kawin lagi, dari dulu Ende itu tukang kawin," kata Kaditserse Polda Jawa Barat, Kolonel Dasoeki. Memang, dua minggu setelah pembunuhan itu, penduduk Desa Brujul Kulon, Jatiwangi, Majalengka, menceraikan istri keduanya, Mimin, yang memberinya seorang anak -- dengan Ade, Ende dikaruniai 4 anak. Dua bulan setelah itu, Ende kembali menikah dengan seorang gadis Neneng, 16 tahun. Tersangka Ende -- yang kini meringkuk di Polda Jawa Barat bersama Udin dan Narta -- kepada polisi mengaku sudah punya niat jahat itu sejak Desember 1989. "Ende merasa segala tindakannya selalu dihalangi Ade. Sedang Udin ikut terlibat karena selama ini ia merasa tak dihargai mantunya," kata Dasoeki, yang baru dua bulan berdinas di Polda Jawa Barat. Tapi, bisa saja itu hanya alasan Ende. Yang pasti, Ade memang dari keluarga kaya. Berkat warisan ayahnya, Ade memiliki dua buah pabrik genting di Jatiwangi, truk, serta sembilan mobil lain. Total kekayaannya sekitar Rp 700 juta. Ia, entah mengapa, kawin dengan Ende pada 1978, yang hanya berpendidikan kelas IV SD dan dari keluarga petani biasa. Pada Kamis malam, 9 Agustus lalu, Ade diajak suaminya untuk membeli mobil bekas ke Tasikmalaya. Dengan mengendarai colt minibus butut warna kuning metalik, suami-istri ini menjemput ayah Ende, Udin, dan Narta -- bekas kernet yang diperkenalkan sebagai penjual mobil itu. Mobil melaju, disopiri Ende, sementara Ade di sampingnya. Narta duduk persis di belakang Ade, sedang Udin duduk di sebelah Narta. Sekitar pukul 22.00, syal merah yang melilit leher Ade ditarik Narta sekuat tenaga. Wanita berkulit kuning itu meronta-ronta dan berteriak. Percuma karena suaminya yang duduk di sampingnya justru merencanakan pembunuhan itu. Bahkan mertuanya, Udin malah ikut membekap mulut korban dengan kupluknya. Korban pun lemas tak berdaya. Begitu Ade tak bergerak, mereka berniat membuangnya ke kali Rentang yang berarus deras. Tapi usaha ini diurungkan. Ende merasa belum sip. Di tengah mereka memikirkan bagaimana membuang korban, tiba-tiba Ade kembali bergerak. Maka, dengan cepat, Narta yang berbadan gempal kembali menarik syal sekuat tenaga. Ade pun tewas. Setelah itu, Ende menghentikan mobilnya di sebuah jalan di Desa Citonjol, Ciamis. Di situ ada kali irigasi cukup dalam. Mereka pun turun dari mobil. Setelah itu, mobil berisi korban dengan mesin dan lampu masih menyala tersebut mereka dorong hingga mencebur ke kali. Posisi mobil terjungkal miring, sebagian air memasuki tempat duduk sopir. Kacanya pecah berantakan, dan bodi depannya penyok. Warga sekitar situ buru-buru menyelamatkan korban. Ende waktu itu -- yang pakaiannya tak basah secuil pun -- berpura-pura mengerang-erang di pinggir tanggul kali. Bersama Ade yang sudah tak bernyawa ia dibawa penduduk ke Puskesmas Talaga. Ketika itu Narta dan Udin telah menghilang, kembali ke Majalengka. Dari dokter di Puskesmas Talaga diperoleh surat kematian Ade. Di situ disebutkan korban tewas dengan bagian belakang kepala robek 13 sentimeter, dan telinga kanannya hilang. Kabarnya, surat itu dibuat mantri kesehatan setempat, dan dokter di situ tinggal menandatangani. Persisnya, "Kami akan mengusutnya setelah kasus ini terselesaikan." kata Dasoeki. Esok harinya korban dikuburkan di Jatiwangi. Sedang Ende, yang mengaku masih sakit, diopname di Rumah Sakit Umum Majalengka selama 14 hari. Serapi-rapinya membungkus barang busuk, toh tercium juga. Sewaktu mayat dimandikan, keluarga korban curiga. "Lehernya membiru seperti bekas lilitan," kata kakak kandung korban, Amroh. Kecurigaan semakin besar karena sepulang Ende dari rumah sakit, "ia tak tampak sedih," kata Amroh. Sebab itu, keluarga korban melapor ke Polsek Jatiwangi, Polres Majalengka, dan ke Polwil Cirebon. Tapi, pihak polisi kurang tanggap. Polisi hanya berpegang pada surat kematian resmi dari Puskesmas Talaga. Namun, semakin hari keluarga korban tambah tak puas karena Ende selalu menunjukkan sikap tak bersahabat terutama ketika membagi harta waris almarhum. Yang mencolok lagi, baru dua bulan kematian istrinya, Ende malah mengawini Neneng, yang pestanya besar-besaran. Kecurigaan itu terjawab ketika suami Amroh, Abdul Ajid, kedatangan Yayang dan Ruminta. "Saya pernah ditawari membunuh Ade," kata mereka berdua. Baik Yayang maupun Ruminta mengaku tak menyanggupi tawaran itu karena tak punya nyali. Di situ, mereka bercerita bahwa, meski tak bernyali, keduanya tetap "dihargai" masing-masing Rp 75 ribu per bulan, sebagai uang tutup mulut. Mereka menerima "berkah" ini Agustus-September. Tapi pada Oktober jatah itu tak datang hingga mereka membuka mulut. Mendengar pengakuan ini, Ajid kembali melaporkan kasus tersebut, kali ini, ke Polda Jawa Barat, Desember lalu. Polda pun menyidik. Pada 30 Januari, ketiga tersangka Ende, Udin, dan Narta, diringkus polisi. Mayat korban digali pada 9 Februari 1991. Dari hasil otopsi di RSHS, Bandung, diketahui bahwa korban meninggal bukan karena kecelakaan lalu lintas, melainkan karena dibunuh. Berkat alat bukti itu, polisi meringkus Ende bersama komplotannya. "Bapak sinting membunuh ibu. Dasar orang jahat," kata anak nomor dua Ende, Ida Farida, 11 tahun, yang sejak kejadian itu tak ingin melihat tampang bapaknya lagi. WY dan Achmad Novian (Biro Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini