Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Satu dasawarsa vonis subversi

Pengadilan negeri ujung pandang memvonis 15 tahun robby mandolang, 30, karena terbukti menyelundupkan rotan. kejahatan penyelundupan diancam uu antisubversi. kejaksaan leluasa menggunakan uu.

11 Maret 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEJARAH peradilan pidana berulang di Ujungpandang. Senin pekan ini, Pengadilan Negeri Ujungpandang "memakai" kembali senjata "usang", Undang-Undang Antisubversi. untuk penyelundup rotan kelas kakap, Robby Mandolang. Berdasar itu, majelis hakim yang diketuai Riyanto memvonis Robby 15 tahun penjara. Dalam perkara ekonomi majelis memvonis pengusaha itu 5 tahun penjara dan denda Rp 30 juta. Menurut majelis hakim, Robby, 30 tahun, terbukti menyelundupkan 5.100 ton rotan setengah jadi, sehingga merugikan negara Rp 4,4 milyar. "Dia melakukan kejahatan penyelundupan di saat-saat pemerintah sedang giat memberantasnya," kata Hakim Riyanto di sidang yang dipenuhi pengunjung dan diliput TVRI itu. Perkara itu memang menarik perhatian masyarakat. Sebab, ketika kasus penyelundupan itu terbongkar, Robby sudah berada di Hong Kong. "Berkat" pancingan kepala Kejaksaan Tini Sulawesi Selatan. Bob Nasution, tersangka itu bersedia pulang. Tak disangkanya, di Bandara Soekarno-Hatta Agustus silam, ia dibekuk petugas kejaksaan. Bagi kalangan pengamat hukum, kasus itu sangat menarik. Sebab, untuk pertama kalinya kejaksaan "berani" memakai lagi senjata "usang" itu untuk pidana penyelundupan. Selama 10 tahun terakhir ini "senjata" itu seakan "digudangkan" setelah belasan penyelundup hasil Operasi 902 dibebaskan hakim dari tuduhan tersebut. Adalah Jaksa Agung Ali Said, pada 1976, yang pertama kali mencoba menerapkan Undang-Undang Antisubversi tak hanya untuk kasus politik. Berdasarkan pasal-pasal yang mengancam pelaku dengan hukuman mati itu, Ali Said mengirim belasan penyelundup yang terjaring Operasi 902 ke tahanan di Nusakambangan. Hampir semua penyelundup kelas kakap, ketika itu, digiring ke pengadilan dengan tuduhan subversi dan korupsi. Salah seorang di antara mereka adalah mendiang Lim Keng Eng, yang dijuluki "Dirjen Bea Cukai Bayangan". Berdasarkan undang-undang itu, Keng Eng divonis 11 tahun penjara karena terbukti menyelundupkan tekstil 3.001 kali, sehingga merugikan negara Rp 7,6 milyar. Upaya Ali Said itu mengundang kritik tajam dari para ahli hukum. Sebab, mereka menganggap Undang-Undang Antisubversi hanya bisa diterapkan bila perbuatan terdakwa mempunyai latar belakang politik. Belakangan, kritik para pakar itu ternyata cukup menggoyahkan sikap pengadilan. Akibatnya, sebagian besar perkara penyelundupan yang telanjur divonis subversi dibebaskan peradilan banding dan kasasi, termasuk Liem Keng Eng. Ternyata, Jaksa Agung Sukarton Marmosudjono berani menggali senjata itu untuk kejahatan penyelundupan. "Ini sudah political will dari Presiden," kata Sukarton sehabis menghadap Presiden di Bina Graha, Jakarta. Menurut Sukarton, perbuatan Robby menyelundupkan 5.100 ton rotan setengah jadi ke Hong Kong, pada Maret sampai Juni 1988, sudah terhitung subversi di bidang ekonomi (TEMPO, 22 Oktober 1988). Kepala Kejaksaan Tinggi, Bob Nasution, tak kalah optimistis. Kendati banyak tuduhan subversi yang mental di meja hijau, menurut Bob, yurisprudensi Mahkamah Agung terakhir dalam kasus Mohanlal Kanchand ternyata mengukuhkan tuduhan subversi untuk penyelundupan. "Robby telah melakukan sabotase ekonomi. Tindakannya bisa mengacaukan tata niaga rotan," ujar Bob. Majelis hakim yang diketuai Riyanto ternyata sependapat. Kendati memvonis 10 tahun lebih rendah dari tuntutan Jaksa Yahya Siregar, yang menuntut Robby 30 tahun penjara. "Itu bukti bahwa kejaksaan konsisten memberantas penyelundupan," kata Bob. Atas vonis itu, Robby dan tim pembelanya, yang diketuai Abu Ayub Saleh, langsung menyatakan banding. Namun, Robby berkata, "Jangankan di-Nusakambangan-kan, ditembak mati pun saya sudah pasrah. Semua yang saya katakan tak ada lagi yang percaya." Penampilan Robby kini memang tidak lagi "tak acuh" seperti di persidangan awal, yang sering tak mengindahkan perintah majelis hakim. "Yang saya inginkan, janganlah segala peralatan di kantor saya diganggu sebelum putusan itu berkekuatan pasti," kata lelaki itu. Agaknya, dengan keberhasilan itu, kini terbuka peluang bagi kejaksaan untuk menggunakan kembali "senjata tua" itu bagi kasus-kasus penyelundupan lainnya. Entah, kalau waktu kembali mengubah sejarah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus