RANCANGAN Undang-Undang Pendidikan Nasional yang diserahkan pemerintah akhir Juni lalu akhirnya disahkan DPR untuk disetujui menjadi UU Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN). Peristiwa bersejarah di bidang pendidikan ini berlangsung dalam rapat paripurna DPR Senin pekan ini, yang dipimpin Wakil Ketua DPR Sukardi. Semua fraksi sepakat kecuali Fraksi PDI, yang "setuju dengan catatan". Melalui juru bicara Subagyo, F-PDI menyetujui disahkannya UU ini dengan catatan, "Penjelasan Pasal 28 ayat 2 dihapus." Alasannya, pasal itu sudah cukup jelas. Bahkan dengan adanya penjelasan, justru timbul kerancuan tafsir dan membuka peluang untuk terjadinya kerawanan sosial. Lagi pula, penjelasan itu tak relevan dengan pasalnya. Pasal 28 termasuk mengatur Tenaga Kependidikan. Ayat 2 pasal itu berbunyi: "Untuk dapat diangkat sebagai tenaga pengajar, tenaga pendidik yang bersangkutan harus beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berwawasan Pancasila dan UUD 45, serta memiliki kualifikasi sebagai tenaga pengajar." F-PDI sependapat dengan pemerintah maksudnya RUU -- bahwa pasal ini sudah cukup jelas. Namun, pada rapat tim kecil Panitia Khusus (Pansus) 21 Februari lalu, F-PP mengusulkan penjelasan dengan bunyi selengkapnya: "Tenaga pengajar pendidikan agama harus beragama sesuai dengan agama yang diajarkan dan agama peserta didik yang bersangkutan." Ketua Pansus, Bawadiman dari F-KP, menyetujui tambahan itu. Menteri P dan K Fuad Hassan akhirnya juga menyetujuinya. A. Tyas Satijo dari Fraksi PDI, ya berhalangan hadir dalam rapat tim kecil itu esoknya protes. Karena tidak ditanggapi, keberatan F-PDI itu diulangi Subagyo dalam kata akhir fraksi di rapat Pansus yang diadakan 28 Februari. Malah, F-PDI minta diadakan rapat konsultasi antara pimpinan DPR dan fraksi-fraksi, sebelum sidang, paripurna. Rapat itu berlangsung tertutup Sabtu pekan lalu, dihadiri Menteri Fuad Hassan. Kabarnya, di situ Fuad memberi jaminan, pemerintah akan menjaga dampak yang timbul dari pelaksanaan penjelasan pasal 28 ayat 2 itu. Namun, F-PDI tetap mencantumkan "catatannya" ketika sidang pleno Senin ini. Penjelasan pasal ini memang menimbulkan kegelisahan bagi beberapa sekolah swasta, khususnya sekolah-sekolah Katolik. Namun, belum ada yang berkomentar. Kalau dilaksanakan sesuai dengan bunyinya, dampak penjelasan ini pun menyulitkan pemerintah, karena berarti mengangkat guru agama dalam jumlah yang besar (lihat Murid Hindu di Muhammadiyah). Di luar catatan tadi, UUSPN menggelinding tanpa ketegangan. Soal kurikulum, misalnya, yang pernah ramai diprotes ketika masih berupa RUU, dalam pembahasan berlangsung aman. Kurikulum itu kini dirinci sehingga secara jelas tersirat adanya pendidikan agama. Risikonya, pendidikan lain pun dicantumkan: kewarganegaraan, bahasa Indonesia, matematika, ilmu bumi, dan lain-lain, termasuk bahasa Inggris. Dengan perincian itu, Lukman Harun, Wakil Ketua PP Muhamadiyah yang dulu dibuat sibuk, misalnya, kini bisa lega. "Saya puas sekali," katanya. Begitu pula soal denda bagi sekolah yang tak punya perpustakaan. Ini hapus dalam UUSPN. Sanksi pidana itu kini hanya dikenakan pada penyalahgunaan gelar akademik. Misalnya pemakaian gelar palsu. Atau semestinya bergelar Drs. tapi mencantumkan Ir. Bab yang mengatur Pendidikan Tinggi pun terinci dengan rapi. Satuan pendidikan tinggi itu masing-masing diuraikan namanya, kekhususannya, bedanya dengan yang lain, hak dan wewenangnya. Yang menarik, dalam undang-undang ini sekolah tinggi berhak memberikan gelar sarjana sebagaimana halnya institut dan universitas. Hanya saja, sekolah tinggi tidak bisa memberikan gelar doktor kehormatan. Doktor honoris causa ini diberikan oleh institut dan universitas yang memenuhi persyaratan. Sekolah kedinasan pun mendapat tempat yang sejajar dengan sekolah lainnya, baik negeri maupun swasta. Pada Bab XV tentang Pengelolaan, disebutkan yang menjadi tanggungjawab Menteri P dan K adalah pengelolaan sistem pendidikan nasional. Sedang pengelolaan satuan dan kegiatan pendidikan yang diselenggarakan pemerintah bisa pula dilakukan menteri lain dan lembaga pemerintah lain yang menyelenggarakan pendidikan itu. Ini yang dikatakan oleh Fuad Hassan sebagai "menuju satu sistem pendidikan nasional sesuai dengan yang diamanatkan UUD 45". Undang-undang ini terdiri dari 20 bab dengan 59 pasal, sementara rancangan semula terdiri dari 18 bab dengan 60 pasal. Jumlah pasal menciut karena pasal-pasal tentang Pendidikan Menengah di RUU hanya menjadi satu pasal dengan ayat-ayat dalam UUSPN. Tapi dua bab yang bertambah itu? Ini betul-betul bab baru. Yakni tentang Hari Belajar dan Libur Sekolah (Bab X) dan Badan Petimbangan Pendidikan Nasional (Bab XIV). Bab X menegaskan, jumlah hari belajar minimum dalam setahun diatur Menteri P dan K. Hari libur untuk sekolah negeri diatur oleh Menteri P dan K, namun sekolah swasta dapat mengatur hari liburnya sendiri dengan mengingat ketentuan hari raya nasional, kepentingan pendidikan, kepentingan agama, dan faktor musim. Ini memberi peluang bagi sekolah swasta yang berciri khas agama menentukan hari libur penuh pada bulan-bulan suci. Misalnya, libur penuh pada bulan puasa untuk sekolah berciri khas Islam, tanpa khawatir lagi "ditegur" P dan K. Sekolah-sekolah PGRI, karena bukan sekolah berciri khas agama, menurut Ketua Umum PGRI Basyuni Suriamihardja, akan mengikuti ketentuan libur sekolah pemerintah seperti sekarang ini. "Pada bulan Puasa itu, awalnya libur seminggu, kemudian menjelang Lebaran juga libur. Tetapi kegiatannya disesuaikan dengan orang yang sedang berpuasa," kata Basyuni. Bab XIV terdiri dari satu pasal dengan 2 ayat. Ayat pertama tentang keikutsertaan masyarakat dalam menentukan kebijaksanaan Menteri P dan K melalui Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (BPPN) yang beranggotakan tokoh-tokoh masyarakat, dan ayat 2 tentang anggota ini yang diangkat oleh Presiden. Walau tak persis benar, bab ini pernah muncul ketika RUU dirancang di masa kepemimpinan Menteri Daoed Joesoef dan Nugroho. Ketika itu namanya Dewan Pendidikan Nasional. Namun, RUU yang diserahkan Fuad Hassan ke DPR mencabut bab itu. Munculnya lagi bab itu -- dengan mengganti Dewan menjadi Badan -- menurut Harsja Bachtiar, "karena semuanya setuju, Pak Fuad juga setuju." Kepala Badan Litbang P dan K ini memang sejak awal terlibat dengan RUU. Harsja adalah Ketua Tim Naskah Akademik, yang tugasnya membuat konsep pra-RUU, berdasarkan hasil Komisi Pembaharuan Pendidikan Nasional yang dibentuk di masa jabatan Daoed Joesoef. Badan ini nanti, menurut Harsja, akan dipilih Presiden berdasarkan usulan Menteri P dan K. "Yang diangkat betul-betul mewakili masyarakat dari berbagai profesi," katanya. "Badan ini hanya memberi pertimbangan, yang memutuskan kebijaksanaan tetap saja menteri." Pembentukan badan ini akan dijadikan prioritas yang dikerjakan P dan K. Penting pula dicatat bahwa undang-undang ini, selain menyejajarkan pendidikan swasta dan negeri, juga menghormati eksistensi pendidikan luar sekolah. Seperti yang diatur pada pasal-pasal awal, penyelenggaraan pendidikan dilaksanakan melalui 2 jalur, sekolah dan luar sekolah. Pendidikan luar sekolah termasuk pendidikan keluarga, kelompok belajar, kursus. Lalu, apa yang diharapkan setelah ini? "Dalam waktu 6 bulan saya harapkan pemerintah sudah mengeluarkan peraturan pemerintah yang akan melaksanakan undang-undang ini," kata Bawadiman, Ketua Pansus yang menghasilkan UUSPN.Sri Indrayati, Diah Purnomowati, Tommy Tamtomo (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini