Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - I Wayan Suparta, 47 tahun, warga Klungkung, Bali, mengaku menjadi korban penculikan, penyiksaan, dan perampasan oleh anggota Polres Klungkung, selama tiga hari, dari 26 hingga 28 Mei 2024. Pengakuan Suparta itu menambah tumpukan kasus penyiksaan oleh anggota Polri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak kurang dari 10 anggota Reserse Mobile (Resmob) Satuan Reserse Kriminal (Sat Reskrim) Polres Klungkung tengah menjalani pemeriksaan oleh Divisi Propam Polda Bali. Pemeriksaan ini dilakukan setelah Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Polda Bali menerima laporan dari seorang warga Klungkung bernama I Wayan Suparta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kabid Humas Polda Bali, Kombe Jansen Avitus Panjaitan mengatakan pemeriksaan terhadap 10 anggota Polres Klungkung tersebut masih berlangsung. Menurutnya, selain dugaan pelanggaran etik, ada indikasi keterlibatan para anggota dalam kasus penggelapan mobil yang dilaporkan oleh pelapor. "Jika terbukti bersalah, mereka akan dijatuhi hukuman sesuai kesalahan yang dilakukan," kata Kombes Jansen, Ahad, 7 Juli 2024.
Berbagai kasus penyiksaan oleh polisi bukan isapan jempol semata. Data Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyebutkan hasil penelitiannya dalam setahun terakhir, tepatnya Juni 2023 hingga Mei 2024, sejumlah kasus penyiksaan yang dilakukan aparat.
“Tahun lalu terdapat total 54 peristiwa penyiksaan yang dilakukan oleh 3 lembaga negara, Polisi, TNI, dan Sipir. Angka tersebut naik tahun ini menjadi 60 peristiwa," kata Dimas selaku kordinator KontraS.
Dalam data yang diperlihatkan, 60 kasus penyiksaan tersebut 40 diantaranya dilakukan oleh pihak Kepolisian, 14 oleh TNI dan 6 kasus dari sipir.
Tempo telah merangkum sederet “kekejaman” polisi melakukan penyiksaan terhadap terduga tersangka, beberapa berujung tewas:
1. Sehat saat ditangkap, Oki Kristodiawan dipulangkan dalam keadaan tewas
Oki Kristodiawan atau OK, warga Banyumas, 26 tahun dituduh melakukan pencurian dan ditangkap oleh anggota Polres Banyumas pada 17 Mei 2023. Rekaman video penangkapan yang Tempo peroleh, Oki ditangkap dalam kondisi sehat. Dia ditangkap oleh aparat berpakaian sipil kemudian tangan diringkus menggunakan borgol kabel ties.
Keesokan harinya, 18 Mei 2023, tiba-tiba dia dirawat di IGD RSUD Margono Soekarjo, Purwokerto. Rekaman medis terakhir tercatat pada 19 Mei 2023, setelah itu keluarga tak menerima catatan kesehatan Oki. Keluarga curiga, Oki sebenarnya telah meninggal saat itu. Namun, polisi memberi tahu keluarga, bahwa Oki baru dirawat di RSUD Margono pada 2 Juni 2023.
Jasad Oki diautopsi pada 8 Juni 2023 atau enam hari setelah dimakamkan. Dokumentasi foto jasad Oi yang dimiliki keluarga memperlihatkan luka di badannya. Luka-luka itu seperti bekas sayatan dan benturan benda tajam. Antara lain terdapat di punggung, tangan, dan kaki. Kondisi ini menguatkan dugaan Oki tewas karena disiksa polisi .
Dalam perjalanan kasusnya, Oki terbukti tewas disiksa, pelakunya adalah polisi dan sesama tahanan. Total ada 4 polisi dan 10 tahanan yang terlibat. Pelaku dari pihak polisi yakni AAN (34), AAW (39), ALA (25), dan IMA (36). AAN divonis 7 tahun penjara dan tiga lainnya 6 tahun. Adapun 10 terdakwa lainnya divonis 18 bulan atau 1,5 tahun penjara.
Suasana penemuan mayat Dul Kosim, korban penganiayaan berujung maut oleh polisi yang dibuang ke jurang di wilayah Desa Sumur Bandung, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, pada 24 Juli 2023. Sumber: Istimewa
2. Disiksa polisi berujung tewas, mayat Dul Kosim dibuang
Dul Kosim, 38 tahun, warga Kelurahan Tugu Utara, Koja, Jakarta Utara, ditemukan tak bernyawa di pinggir jurang Jalan Raya Purwakarta wilayah Desa Sumur Bandung, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, pada 24 Juli 2023. Korban sebelumnya ditangkap personel Polda Metro Jaya pada Sabtu sore, 22 Juli 2023 sekitar pukul 16.30 WIB.
Berdasarkan sidang pembacaan dakwaan, kasus ini berawal saat anggota bernama Ahmad Jais menerima informasi peredaran narkoba di Koja dan melapor ke Abriansyah selaku kepala unit. Jais dan Abriansyah bersama anggota polisi narkoba lainnya, yakni Franz Enrico Sitorus, Jati Arya, Edwan Purwanda Heru Saputra, Yongki Pratama, Ripki Permana, dan Suhartono lalu menangkap Dul Kosim.
Saat penangkapan, ternyata polisi tidak menemukan adanya narkoba. Tanpa barang bukti tentu polisi tidak bisa melakukan penangkapan. Saat itu korban mengatakan narkoba yang dimaksud telah habis dibuang ke laut. Polisi lalu membawa korban ke salah satu rumah tak berpenghuni di Asrama Airud Cilincing, Jakarta Utara, untuk diinterogasi.
Di rumah itu, secara bergantian, Jati Arya, Abriansyah, Edwan Purwanda, Achmad Jais, Yongki Pratama, Ripki Permana, dan Franz Enrico Sitorus menyiksa Dul Kosim dengan cara ditampar, ditendang, dibekap, disiram, dibenturkan, dan disundut rokok. Meski mendapat penyiksaan, Dul Kosim tetap tutup mulut.
Menjelang tengah malam, para polisi itu mencoba mengubah pendekatannya dengan membelikan Dul Kosim makanan dan mengganti pakaiannya dengan harapan korban mau bekerja sama. Setelah merasa Dul Kosim akan bersikap kooperatif, para anggota polisi ini meminta diantarkan ke lokasi penyembunyian narkoba.
Hari berganti, para pelaku dan korban pergi ke daerah Cilincing dan Pasar Maja pada Ahad dini hari 23 Juli 2023 sekitar pukul 2.00 WIB. Namun, tak ada narkoba yang ditemukan. Para polisi merasa Dul Kosim mempermainkannya. Dul Kosim kembali disiksa.
Para terdakwa lalu membawa Dul Kosim ke sebuah posko di Jalan Cipinang Jaya Raya No.363, RT.02, RW.07, Jakarta Timur. Sesampainya di sana, korban dipukul menggunakan selang agar mau bergerak setelah keluar dari mobil untuk menuju sebuah kamar di dalam pos itu. Di kamar itu Dul Kosim dikunci hingga para pelaku menemukannya sudah tewas di pagi harinya.
Kemudian, dilakukan perencanaan pembuangan mayat korban. Suhartono disebut yang memiliki ide untuk membuang mayat Dul Kosim ke Pantura dengan direkayasa seolah-olah mengalami kecelakaan. Abriansyah selaku kepala unit menyetujui ide itu dan memberikan ongkos Rp2 juta kepada tujuh anak buahnya itu untuk membuang jasad Dul Kosim.
Di tengah perjalanan, Suhartono mengubah rutenya ke arah Jawa Barat hingga menemukan jurang di daerah Legok Totom, Kp. Cirangrang RT. 01, RW. 01, Desa Sumur Bandung, Kec. Cipatat, Kab. Bandung Barat. Di lokasi inilah mayat Dul Kosim dibuang para anggota kepolisian hingga ditemukan dua hari kemudian.
3. RF tewas babak belur, tapi disebut meninggal karena sesak napas
Dilansir dari icjr.or.id, RF, terduga pelaku pencurian di Ketapang, Kalimantan Barat, diantar pulang oleh petugas kepolisian ke rumah orangtuanya dalam keadaan meninggal dunia pada 25 Januari 2024. Sehari sebelumnya, RF dibawa oleh petugas kepolisian pukul 23.00 WIB tanpa sepengetahuan orangtua maupun kerabatnya.
Paman RF menduga pihak kepolisian menganiaya RF untuk mengejar pengakuan bersalahnya atas kasus pencurian. Kecurigaan itu timbul saat keluarga melihat jenazah RF banyak bekas luka lebam dan luka baru mirip tembakan peluru pistol, kening kanan atas terdapat luka menganga disertai lebam, lengan kiri terdapat luka lebam membiru.
Dalam keterangan tertulis pada 26 Januari 2024, Kepala Polisi Resor Ketapang AKBP Tommy Ferdian mengatakan RF mengalami sesak napas selang beberapa jam dilakukan pemeriksaan, lalu dibawa ke rumah sakit dan menjalani perawatan di Ruang IGD RSUD Agoes Djam Ketapang, sampai akhirnya dinyatakan meninggal dunia.
Pihak keluarga tidak percaya dengan keterangan polisi karena RF tidak punya riwayat sakit asma atau sesak napas. Meskipun dinyatakan sesak napas, AKBP Tommy Ferdian telah menonaktifkan anggota polisi yang terlibat dalam pemeriksaan RF atas perintah Kepala Polisi Daerah Kalimantan Barat Irjen Pol Pipit Rismanto.
Selanjutnya: Kasus kematian Afif Maulana dan dugaan penyiksaan I Wayan Suparta
Kuasa hukum Keluarga korban penyiksaan berujung kematian anak berstatus pelajar SMP (AM, 13) Direktur LBH Padang, Indira Suryani bersama YLBHI, KontraS, dan organisasi masyarakat sipil (tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Reformasi Kepolisian lainnya) saat menyampaikan update temuan dan proses advokasi kasus terkait di Gedung YLBHI Jakarta, Selasa 2 Juli 2024. LBH Padang memiliki banyak temuan, termasuk saksi-saksi yang sampai saat sekarang tidak/belum diperiksa oleh kepolisian. TEMPO/Subekti.
4. Afif Maulana, polisi sebut tewas karena jatuh dari jembatan tapi tubuhnya babak belur
Afif Maulana atau AM, 13 tahun, ditemukan tidak bernyawa di bawah Jembatan Kuranji, Padang, Sumatra Barat pada Ahad siang, 9 Juni 2024. Afif meninggal dengan kondisi babak belur: luka lebam di bagian pinggang, punggung, pergelangan tangan, dan siku. Selain itu, pipi kiri membiru dan luka berdarah di kepala.
Warga Kecamatan Lubuk Kilangan itu ditemukan tewas oleh seorang pegawai cafe. Temuan mayat bocah tersebut kemudian dilaporkan ke Polsek Kuranji. Setelah pengecekan di tempat kejadian perkara atau TKP, kemudian diketahui mayat tersebut adalah Afif .
Dari hasil penyelidikan, Afif disebut ikut dalam rombongan konvoi pada Ahad dini hari. Rombongan itu melintasi Jembatan Kuranji dan terlihat membawa berbagai macam senjata tajam. Tim Samapta Bhayangkara atau Sabhara Polda Sumbar, tim khusus pencegahan dan antisipasi aksi tawuran, kemudian mengamankan rombongan konvoi itu.
Tim Sabhara lalu mengamankan 18 orang ke Polsek Kuranji. Satu di antaranya ditahan sedangkan yang lainnya dipulangkan. Namun, Wakil Kepala Polres Kota Padang, AKBP Rully Indra Wijayanto, mengatakan tidak ada yang namanya Afif yang ikut diamankan. Nama Afif baru diketahui setelah penemuan mayat pada Ahad siang itu.
Kapolda Sumbar Irjen Suharyono mengatakan korban meninggal karena melompat dari Jembatan Kuranji. Bocah tersebut memutuskan terjun dari ketinggian 12 meter demi lolos dari penangkapan Tim Sabhara. Kesimpulan itu berdasarkan kesaksian rekan yang membonceng korban. Saksi mengaku sempat diajak korban untuk melompat ke bawah jembatan tersebut.
Sementara itu, Direktur LBH Padang, Indira Suryani menduga, berdasarkan investigasi pihaknya, Afif tewas karena mendapat penyiksaan polisi. Hasil investigasi tersebut kemudian diunggah di media sosial Instagram, @lbh_padang dan menjadi viral. Indira menjelaskan investigasi dilakukan dengan cara bertanya kepada saksi kunci yang merupakan teman korban.
Korban dan saksi yang tengah mengendarai motor tersebut lalu dihampiri polisi yang sedang melakukan patroli. Tiba-tiba polisi menendang kendaraan mereka dan membuat Afif terlempar ke pinggir jalan. Ketika itu, kata A kepada LBH Padang, jarak dirinya sekitar 2 meter dari Afif. Saksi diamankan ke Polsek Kuranji. Ia sempat melihat korban dikerumuni oleh polisi.P
Kemudian, sekitar pukul 11.55 pada 9 Juni 2024, Afif ditemukan meninggal dunia dengan luka lebam di bagian pinggang, punggung, pergelangan tangan, dan siku. Sementara itu, pipi kiri membiru dan luka yang mengeluarkan darah di bagian kepala.
LBH Padang juga menyatakan menerima laporan dari sejumlah korban lainnya yang mengalami penyiksaan dari anggota polisi. Korban, menurut hasil investigasi itu, mengaku mengalami penyiksaan seperti disundut rokok, dipukul, hingga disetrum.
Berdasarkan foto yang didapatkan Tempo, terdapat 15 titik sulutan rokok di salah satu tubuh korban. Sementara di tubuh korban lainnya terdapat bekas luka seperti pecutan sepanjang 20 sentimeter.
Tapi Suharyono membantah adanya penyiksaan yang dilakukan Anggota Sabhara Polda Sumbar. Dia menyatakan hal itu hanya pelanggaran prosedur. Menurutnya, tindakan anggotanya tersebut belum masuk kategori penyiksaan.
“Saya sudah tanya kepada anggota yang diperiksa, berapa kali dan apa yang mereka lakukan. Mereka menjawab satu kali memukul dan ada yang menjawab menendang. Semuanya sudah tanyai dan anggota kami menjawab dengan jujur,” kata Suharyono.
5. I Wayan Suparta disiksa hingga gendang telinga rusak, tapi disebut aniaya ringan
Terbaru, I Wayan Suparta melaporkan bahwa dirinya menjadi korban penculikan, penyiksaan, dan perampasan oleh anggota Polres Klungkung selama tiga hari, dari 26 hingga 28 Mei 2024. Rezky Pratiwi, Direktur LBH Bali yang mendampingi Suparta, menjelaskan kronologis kejadian dugaan penculikan dan penganiayaan tersebut.
Pada malam 26 Mei 2024, sekitar 10 anggota polisi dari Polres Klungkung mendatangi rumah Suparta di Jalan Waribang, Denpasar Timur. Anggota polisi yang berpakaian preman tersebut mendesak agar Suparta segera pulang, meskipun tidak dilengkapi surat tugas.
Setibanya di rumah, Suparta langsung disergap dan dibawa ke pos di depan rumahnya sembari ditanyai mengenai keberadaan mobil Pajero yang diduga digelapkan. Suparta mengaku tidak mengetahui apa-apa tentang mobil tersebut.
Suparta kemudian ditangkap dan disekap selama tiga hari di berbagai tempat non-kantor polisi, tangan diborgol, mata ditutup lakban, dan dianiaya hingga mengalami luka permanen pada gendang telinga sebelah kiri. Suparta juga dipaksa memberikan informasi tentang keberadaan mobil Pajero yang sebenarnya tidak diketahui korban.
Selama interogasi, Suparta mendapatkan tindakan penyiksaan fisik dengan pukulan menggunakan tangan kosong, botol minum berisi air, dan botol bir. “Korban juga diancam ditembak dan dipaksa mengakui perbuatan yang tidak pernah ia lakukan,” kata Rezky.
Soal kejadian yang ia alami itu, telah ia laporkan ke SPKT Polda Bali pada Rabu, 29 Mei 2024. Menurut Suparta, saat melapor ia tanpa didampingi penasihat hukum. Petugas SPKT mengarahkan laporan tersebut ke Pasal 352 KUHP tentang penganiayaan ringan, yang hanya mengancam pelaku dengan hukuman maksimal tiga bulan penjara.
Padahal, Suparta menderita luka pada gendang telinga sebelah kiri hingga cacat permanen dan trauma akibat penyiksaan yang dialaminya. Setelah merasa ada kejanggalan, Suparta meminta bantuan hukum ke Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI-LBH) Bali dan Kontras. Dia mengaku terus diteror oleh polisi pasca pembebasannya pada 28 Mei 2024.
Koalisi Masyarakat Sipil Anti Penyiksaan menilai telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia dalam kasus ini. Mereka mendesak Polda Bali untuk memastikan pertanggungjawaban pidana, etik, dan disiplin terhadap semua personel Polres Klungkung yang terlibat, serta mengembalikan barang-barang milik korban yang dirampas secara melawan hukum.
Sebanyak 10 anggota Reserse Mobile (Resmob) Satuan Reserse Kriminal (Sat Reskrim) Polres Klungkung tengah menjalani pemeriksaan oleh Divisi Propam Polda Bali. Pemeriksaan ini dilakukan setelah Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Polda Bali menerima laporan dari seorang warga Klungkung bernama I Wayan Suparta (47 tahun).
Kabid Humas Polda Bali, Kombe Jansen Avitus Panjaitan mengatakan pemeriksaan terhadap 10 anggota Polres Klungkung tersebut masih berlangsung. Menurutnya, selain dugaan pelanggaran etik, ada indikasi keterlibatan para anggota dalam kasus penggelapan mobil yang dilaporkan oleh pelapor.
“Jika terbukti bersalah, mereka akan dijatuhi hukuman sesuai kesalahan yang dilakukan,” kata Kombes Jansen, Ahad, 7 Juli 2024.
Rakyat Indonesia yang hidup di negara hukum ini dituntut untuk mengedepankan asas praduga tak bersalah. Artinya, dilarang menghakimi sebelum terbukti melakukan tindakan pidana. Hal ini bertujuan untuk menghargai hak asasi manusia alias HAM. Namun, dalam praktiknya, para penegak hukumlah yang justru abai terhadap hakikat sakral asas kemanusiaan.
HENDRIK KHOIRUL MUHID | EKA YUDHA SAPUTRA | BAGUS PRIBADI | FAUZI IBRAHIM | JAMAL ABDUN NASHR | AHMAD FAIZ | FAIZ ZAKI
Pilihan Editor: Polisi Terbanyak Melakukan Penyiksaan Disusul Tentara dan Sipir