Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Sengketa Bisnis Berebut Gula Impor

Goro dituding mengambil secara paksa gula impor milik mitra bisnisnya dari Arab. Tapi Goro berdalih sudah membayar lunas.

20 Mei 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NAMA Indonesia bisa menjadi gunjingan di mata dunia internasional. Setidaknya begitulah ancaman dari Al-Khaleej Sugar, perusahaan gula di Dubai, Uni Emirat Arab, gara-gara puluhan ribu ton gulanya diambil secara paksa oleh PT Goro Batara Sakti selaku importir. Pengacara Al-Khaleej, T. Mulya Lubis, malah akan mengajukan kasus 100 ribu ton gula impor seharga US$ 23 juta atau senilai Rp 253 miliar berdasarkan kurs Rp 11 ribu per dolar AS itu ke arbitrase internasional di London, pekan ini. Perkara yang akan menjadi taruhan mahal bagi nama baik Indonesia ini berawal dari rencana pemerintahan?waktu itu?Presiden B.J. Habibie untuk mengendalikan harga gula di dalam negeri yang terus melambung tinggi. Rupanya, Nurdin Halid, Direktur Induk Koperasi Unit Desa dan Komisaris Utama Goro, yang dekat dengan Presiden, mengusulkan agar mengimpor gula. Lobi Nurdin, yang juga bos klub sepak bola Makassar, berhasil. Bahkan Goro ditunjuk sebagai importir gula sebanyak 100 ribu ton bernilai US$ 23 juta. Tentu saja impor berembel-embel kepentingan nasional itu mendapat privilese, yakni tanpa bea masuk. Sebelumnya, Goro pernah berbinis serupa dengan Al- Khaleej. Tak mengherankan bila penandatanganan kontrak impor itu, pada 16 September 1999, disaksikan langsung oleh Presiden Habibie di Istana Negara. Kontrak disepakati akan tunduk pada perangkat hukum asosiasi gula di London. Jadi, tak menggunakan hukum Indonesia. Sebab itu, Al-Khaleej merasa yakin bahwa Nurdin tak akan mengemplang. Bila itu terjadi, ancaman arbitrase internasional bisa berlaku dan Indonesia akan masuk daftar hitam sehingga tak boleh lagi mengimpor gula. Toh, bisnis tak ada urusan dengan nama baik negara. Yang penting bisa cepat memperoleh untung besar, kalau perlu dengan ongkos rendah. Buktinya, menurut Al-Khaleej, sampai gula impor datang ke Indonesia pada Januari 2000, Goro baru membayar US$ 2,4 juta. Bahkan sampai Mei 2000, jumlah yang bisa dibayar Goro hanya US$ 3,2 juta. Karena itu, Al-Khaleej pun menahan gula dimaksud. Akibatnya, gula menumpuk di gudang di kawasan Sunter, Jakarta Utara. Karena Goro tak kunjung melunasi pembayaran, perusahaan gula dari Dubai itu pun menganggap Goro ingkar janji. Al-Khaleej segera menjual gula ke perusahaan lain. Mendengar aksi sepihak itu, giliran Goro berang. Pada pertengahan Desember 2000, kata seorang satuan pengaman di gudang penyimpanan gula tadi, Goro mengambil gula tersebut secara paksa. Sejumlah aparat keamanan dan preman juga dibawa Goro. Gerbang pagar gudang yang tertutup didobrak. Para penjaga gudang jeri karena diancam dengan pistol. "Siapa yang berani menghalangi saya tembak," teriak aparat yang dibawa Goro, sebagaimana diutarakan satuan pengaman gudang di atas. Gudang pun dibongkar. Gula dipindah ke truk-truk kontainer milik Goro. Namun, pengacara Goro, Togar M. Nero, membantah tuduhan bahwa kliennya merampok gula Al-Khaleej. "Kami hanya mengambil gula milik sendiri," kata Togar. Menurut dia, Goro sudah membayar US$ 16 juta. Jadi, Goro berhak atas 71 ribu ton gula, tapi yang diperoleh Goro baru 56,4 ribu ton. Karena itu, Goro mengambil lagi 14,7 ribu ton dari gudang tadi. Dengan demikian, tutur Togar, sudah tak ada masalah lagi antara Goro dan Al-Khaleej. Apalagi, sejak Maret 2001, kepolisian Indonesia telah menghentikan pengusutan kasus rebutan gula itu. Bahkan B.N. Shaik, yang mewakili Al-Khaleej, sudah membuat surat resmi yang menyatakan bahwa urusan dengan Goro selesai. Goro, yang sebaliknya menuduh Shaik telah menipu dan menggelapkan gula milik Goro, juga telah mencabut laporannya ke polisi. Tapi, itu menurut Goro. Bagi Al-Khaleej, urusan masih panjang. Sebab, Shaik, yang sudah dipecat dari perusahaan gula di Dubai itu sejak Januari 2001, dianggap tak berhak mewakili Al-Khaleej. Lagi pula, saat menandatangani surat perjanjian pada 20 Maret 2001, Shaik diancam Goro akan dipenjarakan. Shaik sendiri sejak itu langsung terbang ke Singapura. Berdasarkan itulah Al-Khaleej tetap menuntut kerugian dari Goro. Untuk itu pula, sejak awal April 2001, Al-Khaleej menunjuk Mulya Lubis untuk menangani kasus tersebut. "Kalau kasus ini diproses di arbitrase internasional di London, nama Indonesia bisa tercemar," kata Mulya Lubis. Ahmad Taufik, Iwan Setiawan, dan Adi Prasetya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus