MENTARI masih menyipit di ujung langit. Namun, suasana di terminal keberangkatan ke luar negeri di Bandar Udara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Jumat pagi pekan lalu, tampak heboh. Puluhan orang berlarian mengiringi seorang lelaki berberewok ubanan tak terurus yang disorong di kereta dorong. Di pergelangan tangan lelaki itu kelihatan luka baru yang masih dibalut perban. "Ia berusaha bunuh diri pada pukul tiga dini hari tadi," tutur pengacara pria itu, Fransisca.
Rupanya, lelaki itu, Dennis Austin Standefer, 55 tahun, kelahiran Los Angeles, Amerika Serikat, harus diekstradisi ke Filipina. Tak aneh bila Standefer, yang sudah merasa kerasan tinggal di Indonesia setidaknya sejak Agusus 1999, enggan diusir. Apalagi, dari perkawinannya dengan seorang wanita Indonesia, Andi Natalia, 21 tahun, ia sudah dikaruniai seorang anak.
Itu pula sebabnya Natalia terus memeluk Standefer sembari menangis sesenggukan pada detik-detik menjelang pengusiran sang suami di Cengkareng. "Saya bingung dan sedih. Standefer diperlakukan secara tidak adil," ujar Lia.
Toh, Standefer akhirnya diterbangkan ke Filipina. Inilah ekstradisi pertama bagi tersangka warga asing dari Indonesia, setidaknya sejak perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Filipina diteken pada 1976. Sesuai dengan perjanjian itu, Standefer termasuk orang yang diprioritaskan untuk diekstradisi karena ia tersangkut kasus pemerkosaan gadis di bawah umur di Filipina.
Kasusnya sendiri, sebagaimana dikutip The Philippine Daily Inquirer edisi 23 November 1999, berawal dari perkenalan Standefer dengan gadis korban, yang berusia 14 tahun, pada 12 September 1993. Nama sang gadis diperoleh Standefer melalui iklan sahabat pena di sebuah surat kabar di Filipina. Standefer memperkenalkan diri sebagai pencari harta karun.
Hubungan pun berlangsung terus lewat surat. Terkadang Standefer mengirim uang kepada si gadis. Setahun kemudian, sekitar November 1994, akhirnya pria Amerika itu bersua dengan perempuan Mindanao tadi di sebuah resor di Surigao del Norte. Di situlah Standefer, yang berbobot badan sekitar 130 kilogram, memaksa sang gadis berhubungan seks.
Anehnya, kasus pemerkosaan itu baru diberkas polisi Surigao del Norte pada Agustus 1999. Itu pun setelah Standefer ditangkap di Jakarta karena visa turisnya di Indonesia kedaluwarsa (overstay). Di Filipina, kabarnya, Standefer juga tersangkut kasus penipuan dalam bisnis pengangkatan harta karun.
Namun, Standefer membantah tuduhan pemerkosaan. "Saya tidak berada di Filipina selama dua minggu pada November 1994. Saya punya bukti paspor. Saya juga belum pernah ke Surigao del Norte pada tahun itu," demikian kesaksian tertulis Standefer yang disampaikan kepada pengacaranya di Jakarta.
Menurut Standefer, tuduhan pemerkosaan dan penipuan itu tak lepas dari rekayasa sekelompok mitra bisnisnya yang berniat mengambil alih proyek pengangkatan harta karun dari laut senilai US$ 100 juta di Filipina. "Mereka membayar polisi untuk menuduh dan menangkap saya,'' kata Standefer.
Benar-tidaknya pleidoi Standefer, tentu, pengadilan Filipina akan membuktikannya. Yang pasti, Standefer bisa menikmati manfaat perjanjian ekstradisi tahun 1976. Sebab, berdasarkan perjanjian itu, ekstradisi hanya dilakukan bila kasus pemerkosaan anak di bawah umur di Indonesia juga dikenai ancaman hukuman mati seperti di Filipina. Di Indonesia, pelaku kasus semacam itu tak sampai diancam hukuman mati. Karena itu, Standefer hanya boleh diekstradisi bila ada jaminan dari Filipina bahwa ia tak akan dihukum mati.
Pada Desember 2000, Presiden Filipina Joseph Ejercito Estrada sudah mengirimkan surat jaminan tersebut kepada Presiden Abdurrahman Wahid. Jadi, "Hukuman mati dalam kasus Standefer tak akan diterapkan oleh hakim Filipina," kata Menteri dan Konsul Jenderal di Kedutaan Besar Filipina di Jakarta, Narciso T. Castañeda.
Karena itu, Kedutaan Besar Filipina di Indonesia merasa senang dengan ekstradisi Standefer dari Indonesia ke Filipina. "Kisah sukses ini bisa meredam kecenderungan pelaku kriminal di Filipina untuk kabur ke Indonesia," ujar Narciso.
Tinggallah kini Lia yang bersedih. Dia berjanji akan menyusul Standefer ke Filipina. Dengan begitu, dia bisa bertemu dengan sang suami, sekalipun cuma beberapa saat, sebagaimana dulu dia mengunjungi Standefer di sel tahanan kepolisian Indonesia ataupun di Rumah Tahanan Salemba, Jakarta.
Ahmad Taufik, Gita W. Laksmini, Hendriko L. Wiremmer
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini