SELAMA ini limbah pertambangan mineral (tailing) dicerca sebagai bencana. Tailing berbentuk pasir halus yang merupakan sisa dari penggerusan bebatuan setelah diambil logamnya. Biasanya, setelah dipisahkan dengan cairan, pasir halus itu diendapkan untuk kemudian dibuang sebagai limbah ke sungai atau ditimbun di palung laut.
Bagi kalangan penggiat lingkungan hidup, tailing tergolong limbah industri yang mengandung logam berat dan beracun. Alhasil, puluhan perusahaan tambang di Indonesia membuang atau membenamkan tailing ke palung laut 2,5 juta ton seharinya. Jumlah itu setara dengan 97 persen batuan tambang yang diolah industri pertambangan.
Jelas, perbandingan amat timpang antara limbah dan logam yang bisa dipanen itu (cuma 3 persen) merugikan. Di luar negeri, industri pertambangan mampu mengolah kembali limbah tersebut, sehingga mineralnya bisa dipanen lagi. Namun, di Indonesia proses daur ulang itu memakan biaya amat mahal.
Tapi kini PT Freeport Indonesia, perusahaan pertambangan terbesar di Indonesia yang beroperasi di Timika, Irianjaya, telah berhasil menyulap tailing menjadi bahan campuran beton. Bekerja sama dengan Institut Teknologi Bandung (ITB), bahan campuran beton dari tailing sekarang berwujud jalan dan tanggul sepanjang 405 meter, plus jembatan sepanjang 14 meter dengan lebar 6 meter.
Terobosan Freeport bukannya tak melalui proses panjang. Sejak akhir 1997, ide merekayasa tailing berangkat dari keyakinan bahwa tailing sebagai batuan halus masih mengandung aneka macam logam. Karena itu, sekitar 230 ribu ton tailing Freeport per hari yang dibuang ke Sungai Aijkwa pasti bisa diolah kembali sebagai campuran beton, semen, atau bahan bangunan lain. Dari situlah terjadi kerja sama pembuktian ilmiah dengan Lembaga Afiliasi Penelitian Industri ITB, yang dipimpin Warjono Soemodinoto.
Dari tahap penelitian awal, akhirnya diperoleh komposisi tailing untuk mengganti sebagian semen sebagai bahan campuran beton. Hasilnya, dibutuhkan tailing 70 persen, semen 30 persen, bahan polimer dan air masing-masing 15 dan 30 persen dari taling. Jadi, untuk menghasilkan beton diperlukan campuran 1.400 kilogram tailing, 600 kilogram semen biasa, 210 kilogram polimer, dan 420 kilogram air.
Ternyata, daya tahan beton dari bahan campuran tailing lebih tinggi daripada beton konvensional. Beton tailing bisa mempunyai kekuatan tekan lebih dari 40 megapascal. Sedangkan beton konvensional, yang dibuat dari campuran semen, kerikil, kerakal, pasir, dan air, cuma berkekuatan sekitar 30 megapascal.
Beton tailing juga tahan terhadap garam, asam, dan basa. "Beton ini bukan cuma berkekuatan tinggi, melainkan juga high performance concrete," kata Wajono. Singkat cerita, beton tailing memenuhi standar beton untuk bangunan tahan lama seperti jembatan, pelabuhan, bendungan, pemecah gelombang, atau jalan raya.
Rumah penduduk di sekitar Timika pun sudah membuktikan keandalan beton berbahan limbah itu sejak beberapa tahun lalu. Bahkan, penggunaan beton tailing telah dicoba pada dua proyek terpisah di sekitar areal Freeport, yakni jalan beton antara checkpoint di Mile 28 dan tanggul tailing bagian barat sepanjang 405 meter. Meski setiap hari dilalui puluhan truk bertonase di atas puluhan ton, hingga sekarang jalan itu belum rusak.
Selain di dua proyek itu, beton tailing juga digunakan untuk jembatan di atas Sungai Kaoga, dekat Timika. Jembatan yang menghubungkan dua daerah transmigrasi dengan panjang 14 meter dan lebar 6 meter itu dilalui kendaraan umum. Proyek terakhir ini baru mencapai 33 persen.
Penelitian panjang itu ternyata tak hanya menguji aspek teknis beton tailing. Faktor mutu tailing yang dituding sebagai limbah juga dikaji. Hasilnya, tailing bukanlah limbah yang mengandung bahan berbahaya dan beracun. Kandungan logam beratnya, menurut Warjono, masih di bawah ambang batas berbahaya yang ditetapkan pemerintah.
Persoalannya kini tinggal masalah ekonomi. Menurut Sidharta Moersjid dari Freeport, produksi beton tailing secara besar-besaran harus diperhitungkan secara hati-hati. Sebab, tailing acap diambil secara gratis oleh para pembuat batako. Jadi, produksi beton tailing bisa mengancam sumber kehidupan pembuat batako.
I G.G. Maha Adi, Rini Srihartini (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini