Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
UKURAN tanah itu hanya dua kali luas lapangan sepak bola, 13.460 meter persegi. Tapi lahan kosong yang dilingkupi tembok setinggi empat meter di Jalan Gatot Subroto 24-25, Jakarta, itu memanaskan hubungan diplomatik Indonesia dan Kerajaan Arab Saudi selama lebih dari 20 tahun.
Bahkan sumber Tempo yang tahu persis persoalan ini mengatakan urusan tanah itu berdampak pada, antara lain, runyamnya urusan haji. Kerajaan Arab Saudi selalu menyoal pemerintah Indonesia yang tak bisa membereskan konflik sepetak tanah di Kelurahan Kuningan Timur itu.
Konflik itu terjadi hingga hari ini. Tiga pekan lalu Husin bin Abas, yang mengaku memiliki tanah itu, melaporkan Ali Muhammad, distributor mobil mewah yang populer dengan nama Ali Idung, ke polisi. "Kami tak tahu kalau sampai dilaporkan ke polisi," kata pengacara Ali Muhammad, Andi Simangunsong, pekan lalu.
Ali dilaporkan dengan tuduhan merampas dokumen tanah dari tangan Husin. Sedangkan Ali mengaku sudah mengantongi sertifikat karena telah membelinya dari Kerajaan Arab Saudi. Padahal Husin masih menyoal pembelian tanah oleh Arab Saudi dari PT Bogasari Flour Mills.
Syahdan, Kedutaan Arab di Jakarta membeli tanah itu dari Bogasari pada 7 Mei 1981 dengan sertifikat Nomor 78/Karet Semanggi. Adapun Bogasari memperolehnya dari CV Indonesia Trading & Construction Company pada 1975. Saat itu Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban mengambil alih tanah-tanah yang tak bersertifikat sebagai milik negara, menyusul berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria pada 1960.
Setelah Kerajaan Arab membelinya dari Bogasari dan bersiap membangun gedung untuk kantor kedutaan, muncul gugatan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, yang dilayangkan Abdurachman Djawas. Djawas mengaku sebagai pemilik tanah dengan menyorongkan sertifikat yang dikeluarkan Badan Pertanahan. Djawas menggugat, dan hakim mengabulkan gugatannya.
Gugatan Djawas terus dimenangkan hakim hingga tingkat kasasi di Mahkamah Agung. Badan peradilan tertinggi di Indonesia itu pada 25 November 1999 memerintahkan agar keputusan Menteri Dalam Negeri yang memberikan hak pakai tanah kepada Kedutaan dicabut. Keputusan itu juga membatalkan keabsahan sertifikat.
Situasi jadi runyam. Kedutaan, yang tak terima dengan semrawutnya data kepemilikan tanah, terus menyoal tiap kali bertemu dengan pemerintah Indonesia. Gerah dengan sengketa ini, Wakil Presiden Jusuf Kalla turun tangan. Pada 2007, Kalla mengumpulkan pihak yang bersengketa.
Setelah negosiasi, Kalla memerintahkan Bogasari membayar ganti rugi kepada Abdurachman Djawas dan tanah menjadi milik Kedutaan. Dasarnya: keputusan hakim yang mengabulkan gugatan Djawas. Maka, pada 26 November 2007, Bogasari mentransfer Rp 37,4 miliar ke rekening Djawas. "Dengan pembayaran itu, urusan tanah selesai," kata Muhammad Assegaf, pengacara Djawas.
Namun urusan ternyata belum selesai juga. Husin bin Abas, yang mengaku diajak bernegosiasi, menilai kompensasi itu salah alamat. Dia menyorongkan eigendom verponding (surat pajak) nomor 6242 atas tanah seluas 63.100 meter persegi. "Tanah Kedutaan ada di dalamnya," kata laki-laki 58 tahun ini. "Eigendom ini asli sebagai warisan ayah saya."
Menurut Husin, tanah itu dibeli ayahnya, Abas bin Abdullah, dari Nennga, tuan tanah Betawi, pada 17 Maret 1974. Abas tak sempat mengubah nama kepemilikan sehingga nama Nennga masih tercantum dalam surat pajak zaman Belanda itu. Ahli warisnya tak sempat mengkonversinya ketika pemerintah mengambil alih tanah-tanah tak bersertifikat pada saat reformasi agraria 1960.
Selain memiliki eigendom, Husin mengantongi bukti lain: putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat-Selatan yang memenangkan gugatan ayahnya atas kepemilikan tanah yang diklaim Hadi Suntoro pada 17 Mei 1974. Nah, saat pengadilan masih memproses gugatan Abdullah, Hadi Suntoro menjual sertifikat itu kepada Abdurachman Djawas. Sertifikat ini menjadi senjata Djawas menggugat Kedutaan dan Bogasari.
Dalam negosiasi di Sekretariat Wakil Presiden, kata Husin, disepakati pembagian ganti rugi 70 persen untuk keluarganya dan sisanya untuk Djawas, karena pengadilan mengakui kepemilikan atas tanah itu juga. "Tapi sampai sekarang kami tak pernah menerima uangnya," kata pengacara Husin, Carlos Sulaiman. Untuk menuntut ganti rugi itu, Husin menggugatnya secara perdata ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, setelah negosiasi dengan Kedutaan Arab juga buntu. Namun, belum lagi gugatan itu diproses, kini muncul Ali Muhammad.
Pada Oktober tahun lalu, Ali memanggil Husin dan sembilan kakak-adiknya yang menjadi ahli waris tanah itu. Kepada Husin, Ali Muhammad mengklaim memegang sertifikat nomor 78. Karena itu ia meminta Husin memberikan eigendom dan akan menggantinya dengan uang Rp 1,075 miliar. Husin diminta meneken surat penyerahan dokumen.
Surat diteken tapi dokumen tak ia serahkan. Pengacara Husin, Carlos Sulaiman, menyarankan agar tak memberikan dokumen itu kepada Ali karena ganti ruginya sangat kecil. Carlos menghitung setidaknya tanah itu kini bernilai Rp 300 miliar karena nilai jual obyek pajak untuk kawasan Âelite itu kini sudah mencapai Rp 30 juta per meter persegi.
Menurut Husin, Ali Muhammad marah dan membawanya ke Kepolisian Daerah Jakarta. Di sana ia diminta membuat laporan yang menuduh Carlos menggelapkan dokumen tanah. Carlos pun menjadi tersangka dan dicari polisi. Pada Desember silam, Carlos ditangkap di sebuah restoran ketika sedang makan malam. "Saya ditahan oleh laporan klien saya sendiri yang dipaksa oleh Ali Idung," katanya.
Husin mengaku takut karena ditekan Ali. Ia tak punya pilihan selain menuruti kemauannya. Carlos ditahan selama sebulan dan baru bisa bebas setelah Husin menunjuk pengacara lain, Amin Jar, untuk menjaminnya. Tapi, sebagai barang bukti, polisi pun merampas surat-surat tanah yang dipegang Carlos.
Ali menolak bersuara. Ia menyerahkan penjelasan kepada Andi Simangunsong. Menurut Andi, tanah itu sudah sepenuhnya milik kliennya setelah Husin meneken penyerahan dokumen pada 11 Oktober 2011 plus uang kompensasi. "Bagi kami, sengketa ini sudah selesai," kata Andi.
Husin menyangkal menerima Rp 1,075 miliar. Ia mengaku hanya menerima Rp 200 juta untuk sembilan ahli waris. Menurut dia, Ali akan memberikan sisanya jika sudah menerima eigendom. Husin kini balik menggugat Ali ke polisi. Tuduhannya, mengancam dengan kekerasan agar memberikan dokumen tanah, dan penggelapan benda tak bergerak.
Para pejabat Kedutaan Arab Saudi sangat hati-hati menjawab konfirmasi Tempo tentang asal-usul tanah itu. "Ini isu sangat sensitif," kata Nawaf Naif al-Kurnas, atase pers, melalui sekretarisnya, Senin tiga pekan lalu. "Kami harus rapat dulu untuk memberi penjelasan."
Seusai rapat, sekretaris yang menolak disebut namanya itu mengatakan, "Tak ada penjelasan apa pun yang bisa diberikan kepada media. Urusan tanah dengan pemerintah Indonesia sudah selesai karena kami sudah menjualnya." Dijual kepada siapa, Kedutaan tak bersedia memberi tahu.
Sengketa tanah Gatot Subroto ini tampaknya masih jauh dari selesai. Kini Husin sudah menyiapkan berkas-berkas untuk menggugat Ali Idung, Kedutaan Arab, dan Badan Pertanahan Nasional.
Bagja Hidayat, Ananda Wardhiati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo