Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Obituari

Sang Purnama dari Langitan

Ia berperan penting di balik terpilihnya Gus Dur sebagai presiden. Dijuluki Gus Mus sebagai salah satu penyangga tanah Jawa.

5 Maret 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAHLIL dan Yasin yang dibaca pelayat terdengar seperti dengung lebah di rumah duka di Pesantren Langitan, Widang, Kabupaten Tuban, Jawa Timur. Gelombang petakziah bergantian menunaikan salat jenazah di depan jasad kiai berpengaruh yang baru saja berpulang: Abdullah Faqih. Mbah Faqih, 80 tahun, wafat tatkala matahari baru saja terbenam, Rabu pekan lalu, karena sakit.

Mengiring jenazahnya ke pemakaman umum, ribuan orang memacetkan lalu lintas jalanan Pantai Utara hingga tiga kilometer. Mereka berebut menggotong atau sekadar menyentuh keranda ulama yang bersama Kiai Abdullah Salam dari Kajen, Jawa Tengah (meninggal pada 2001), dan Kiai Abdullah Abbas dari Buntet, Cirebon, Jawa Barat (wafat pada 2007), disebut-sebut Kiai Mustofa Bisri dari Rembang, Wakil Rais Am Nahdlatul Ulama, sebagai "tiga penyangga tanah Jawa".

Kiai Faqih meninggalkan seorang istri dan 11 anak. Ia juga mewariskan sikap berpolitik yang terekam singkat pada awal reformasi. Bersama Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dan sejumlah kiai sepuh, Faqih menjadi deklarator berdirinya Partai Kebangkitan Bangsa. Setelah kecewa karena PKB terbelah, dan tak cocok dengan Gus Dur, dia menjadi figur utama pendiri Partai Kebangkitan Nasional Ulama.

Ia menjadi buah bibir menjelang pemilihan presiden pengganti B.J. Habibie, yang menolak dicalonkan lagi setelah pidatonya ditolak di Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat pada 1998. Muncullah gerakan Poros Tengah yang dipelopori Ketua MPR Amien Rais. Kelompok ini membangun kekuatan politik untuk menghadapi kubu Megawati. Poros Tengah, yang dimotori partai-partai Islam, akhirnya mendukung Gus Dur yang maju setelah mendapat lampu hijau dari para kiai yang kerap berkumpul di Pesantren Langitan—belakangan dikenal dengan Forum Langitan.

Kiai Faqih tak hanya sebagai tuan rumah pertemuan para kiai terkemuka di Nahdlatul Ulama yang ramai disebut sebagai "kiai khos" itu. Ia sekaligus merupakan tokoh yang dianggap paling berpengaruh, terutama untuk menasihati Gus Dur. Menurut Gus Mus, para kiai cenderung mendukung Abdurrahman Wahid sebagai kiai bangsa ketimbang menjadi presiden. Ketika Gus Dur berkukuh maju, diusung Amien Rais cs yang rajin melobi Kiai Faqih, akhirnya Forum Langitan hanya bisa mengirim doa keselamatan.

Nama kiai khos melambung ketika Gus Dur akhirnya terpilih sebagai presiden. Kiai Faqih tetap saja dengan gayanya yang kalem, murah senyum, bicara perlahan. Ini bertolak belakang dengan Mustasyar Am NU Kiai As'ad Syamsul Arifin dari Situbondo, yang meledak-ledak ketika memutuskan mufarraqah atau memisahkan diri dari kepemimpinan Gus Dur yang ketika itu menjadi Ketua Umum PB NU. Kiai Syamsul Arifin, ayah kiai As'ad, dulu mondok di Langitan.

Kiai Faqih tak suka berkonfrontasi. Karena itulah dia pernah meminta Gus Dur mencium tangan pamannya, Yusuf Hasyim, yang saat itu kerap berselisih paham—dan Gus Dur pun patuh. Saat Gus Dur berseteru dengan Kiai Hasyim Muzadi, maka Kiai Faqih turun tangan mendamaikan. Meski berilmu matang serta dipuji kesalehannya, Mbah Faqih bahkan tak pernah terlihat menutupi kepalanya dengan sorban sebagai simbol kiai karismatik.

Kiai Faqih lahir di Dusun Mandungan, Desa Widang, Tuban. Semasa kanak-kanak, ia belajar mengaji kepada ayahandanya, Kiai Rofi`i Zahid. Ketika beranjak remaja, dia nyantri pada Mbah Abdurrochim dari Lasem, Jawa Tengah. Ia pernah tinggal di Mekah, Arab Saudi, untuk belajar tafsir dan hadis kepada Sayid Alwi bin Abbas al-Maliki, ayah Sayid Muhammad bin Alwi al-Maliki, yang punya ribuan murid kiai terkemuka di Indonesia.

Setelah ilmunya matang, Kiai Faqih kembali ke Pesantren Langitan, yang didirikan pada l852 oleh Kiai Muhammad Nur, asal Desa Tuyuban, Rembang, Jawa Tengah. Pesantren Langitan yang terletak di tepi Bengawan Solo yang melintasi Desa Widang itu dikenal sebagai pesantren ilmu alat, syarat utama yang harus dikuasai kiai, seperti nahwu (gramatika), sharaf, balaghah, dan mantiq. Ciri khas mengajar kitab kuning secara tradisional nonklasikal inilah yang masih dipertahankan di Langitan.

Faktor Langitan ikut pula melambungkan nama Kiai Faqih. Di sinilah generasi pendiri NU pernah belajar, di antaranya Kiai Muhammad Cholil dari Bangkalan, Kiai Hasyim Asy`ari, Kiai Wahab Hasbullah, dan Kiai Shiddiq, ayah Kiai Ahmad Shiddiq, Rais Am NU. Faqih adalah generasi kelima yang memimpin Langitan sejak 1971, menggantikan Abdul Hadi Zahid, yang berpulang karena usia lanjut. "Setelah sang purnama pergi, majelis kiai akan memutuskan segera penggantinya," kata Kiai Ihya Ulumuddin, muridnya yang menjadi wakil keluarga.

Wahyu Muryadi, Sujatmiko (Tuban)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus