Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Kelas Menengah, Subsidi, dan Pajak

5 Maret 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mohamad Ikhsan*)

Laporan utama majalah Tempo dua minggu lalu tentang kelas menengah sangat menarik dan dapat menjadi referensi penting bagi perumusan kebijakan pemerintah dan perusahaan swasta. Tulisan ini ingin memfokuskan perhatian pada fenomena kelas menengah di Indonesia dari sudut pandang lain, yaitu kontribusi ekspansi kelas menengah dari sisi fiskal pemerintah, yakni subsidi dan penerimaan pajak.

Topik tentang subsidi, pajak, dan keterkaitan keduanya sangat relevan dengan kondisi saat ini, ketika subsidi (terutama subsidi energi) dalam APBN membengkak secara dramatis dalam beberapa tahun terakhir. Pada saat yang sama, penerimaan pajak memang masih terus meningkat, tapi tidak secepat estimasi ekspansi kelas menengah.

Ekspansi kelas menengah Indonesia baru terbatas pada mendongkrak subsidi.

Salah satu bagian dari tulisan kelas menengah di Tempo mengaitkan ekspansi kelas menengah dengan peningkatan konsumsi. Teori ekonomi memprediksi bahwa peningkatan pendapatan per kapita ini akan lebih banyak mendorong peningkatan konsumsi barang bukan makanan, khususnya barang tahan lama seperti barang elektronik dan kendaraan bermotor, serta rekreasi. Perbaikan tingkat pendidikan, terutama wanita, dan perubahan "aspirasi" dalam keluarga juga mengakibatkan partisipasi angkatan kerja wanita meningkat dan menyebabkan konsumsi di luar rumah meningkat, seperti yang ditulis Tempo.

Prediksi tersebut dikonfirmasi pula oleh statistik. Salah satunya hasil survei yang dilakukan Roy Morgan Consultant dalam koran Jakarta Post edisi 28 Februari 2012. Dari sampel yang dikumpulkan, hasilnya menunjukkan, pada 2006 hanya 25 persen keluarga Indonesia yang memiliki televisi, kulkas, dan kendaraan bermotor (mobil atau sepeda motor). Lima tahun kemudian, persentase kelompok komoditas ini meningkat menjadi 42 persen. Peningkatan lebih dramatis terjadi pada porsi pemilikan kendaraan bermotor, yang naik dari 51 persen (2006) menjadi 73 persen (2011).

Perubahan dramatis ini menyebabkan permintaan energi meningkat pesat. Konsumsi listrik, misalnya, baru mencapai 112 ribu MWh pada 2006, tapi pada tahun lalu sudah menjadi 162 ribu MWh atau naik rata-rata 8 persen per tahun. Pada periode yang sama, konsumsi bahan bakar Premium naik dari 16,8 juta kiloliter menjadi 25,5 juta kiloliter atau naik 9 persen per tahun. Kenaikan keduanya lebih cepat daripada kenaikan pertumbuhan ekonomi.

Pada saat yang sama, harga biaya energi primer, seperti batu bara, meningkat tajam atau naik lebih dari dua kali lipat. Listrik yang sebelumnya bisa diproduksi pada harga keekonomian sekitar US$ 8 sen per kwh (atau Rp 720 per kwh) kini harus diproduksi minimal US$ 12 sen per kwh (Rp 1.080 per kwh). Lonjakan yang sama terjadi untuk bahan bakar minyak. Bensin tanpa subsidi, misalnya, pada 2006 hanya Rp 5.300 per liter. Kini harus dibeli pada harga Rp 8.500 per liter.

Karena harga jual BBM dan listrik yang diatur oleh pemerintah tidak mengikuti biaya produksinya, tidak mengherankan jika lonjakan permintaan konsumsi—terutama oleh kelas menengah ini (data Susenas mengkonfirmasi porsi kelas menengah ini)— kemudian menghasilkan lonjakan subsidi pemerintah yang dramatis pula. Subsidi energi pada 2006 sebetulnya sudah bisa ditekan menjadi Rp 95 triliun. Tapi trennya melonjak kembali, dan tahun lalu mencapai Rp 301 triliun.

... dan belum terlihat dalam lonjakan penerimaan pajak

Secara teoretis, ekspansi kelas menengah akan ditandai pula dengan ekspansi penerimaan pajak secara cepat, baik dari ekspansi kelas menengah itu sendiri maupun dari pertumbuhan ekonomi. Mengapa? Untuk pajak penghasilan, misalnya, kenaikan kelas menengah akan menyebabkan makin banyak jumlah pembayar yang penghasilannya di atas penghasilan tidak kena pajak (PTKP). Karena penghasilannya meningkat, mereka pun harus membayar pajak dengan tarif yang lebih tinggi.

Seorang sekretaris dengan penghasilan Rp 40 juta sebulan yang diceritakan Tempo dalam edisi tersebut sekarang harus membayar sebagian penghasilannya dengan tarif maksimum 30 persen; mungkin lima tahun lalu saat gajinya baru Rp 10 juta hanya membayar tarif 20 persen. Pola yang sama juga terjadi untuk pajak pertambahan nilai (PPN). Pada saat pendapatan per kapita rendah, sebagian besar dari pendapatan digunakan untuk barang kebutuhan pokok yang tidak terkena PPN. Begitu pendapatan per kapita naik, pola pengeluaran bergeser pada barang yang terkena PPN, bahkan kalau membeli kendaraan bermotor jenis tertentu atau parfum harus membayar tambahan PPN barang mewah.

Prediksi teoretis ini tampaknya belum sepenuhnya terjadi pada kasus kita di Indonesia. Penerimaan pajak secara total hingga kini belum beranjak dari 12 persen dari PDB sejak 2003. Disagregasi data penerimaan pun tidak banyak mengubah kesimpulan di atas. Rasio pajak penghasilan nonmigas terhadap PDB malah turun dari 5 persen pada 2006 menjadi 4,7 persen dari PDB. Hanya PPN yang naik dari 3,7 persen dari PDB (2006) menjadi 4 persen dari PDB (2011), dan ini jauh dari potensinya sekitar 7 persen dari PDB.

Angka agregat di atas lebih merupakan konfirmasi dari struktur pajak kita. Data yang tidak dipublikasikan oleh Ditjen Pajak yang saya gunakan dalam riset saya lima tahun lalu menunjukkan bahwa distribusi pembayar pajak pun sangat timpang. Bayangkan, 50 persen penerimaan pajak pribadi disumbang oleh 1 persen pembayar pajak yang membayar pajak lebih dari Rp 500 juta setahun. Perbandingan serupa terjadi pada pajak perusahaan.

Jumlah individu yang mempunyai NPWP pun sangat terbatas walau sudah ada upaya meningkatkannya belakangan ini. Berdasarkan data Ditjen Pajak 2009, tercatat 1,4 juta wajib pajak perusahaan dan 8,6 juta pajak pribadi. Kalau mengacu pada data rumah tangga di Indonesia sekitar 54 juta dan katakanlah 18,5 juta (30 persen rumah tangga dengan penghasilan terendah) penghasilannya di bawah PTKP, seharusnya ada 35 juta rumah tangga yang menjadi pembayar pajak pribadi. Data potensi ini menunjukkan pula bahwa lebih dari dua pertiga pembayar pajak potensial tidak terdaftar sebagai pembayar pajak. Mengaitkan data distribusi pembayar pajak aktual, sebagian besar kelompok yang tidak membayar pajak ini kemungkinan besar adalah kelompok kelas menengah.

Apa yang terjadi dan mengapa bisa terjadi? Jawabannya sederhana. Kesadaran membayar pajak di kalangan kelas menengah masih rendah. Kalaupun membayar, kebanyakan sudah dipotongkan oleh perusahaan dan umumnya tidak melaporkan pendapatan sampingan dalam SPT-nya. Padahal, kalau dilaporkan, mestinya yang harus dibayar akan lebih tinggi karena ada kemungkinan akan terkena tarif lebih tinggi. Masalah lain karena sistem informasi di Ditjen Pajak pun ketinggalan. Walaupun tidak sepenuhnya dapat mengatasi persoalan, modernisasi sistem informasi perpajakan akan mengurangi upaya menghindari pajak ini.

... Sintesis

Kalau dibuatkan neraca fiskal, jelas sekali kelas menengah kita sekarang ini secara neto masih menjadi beban daripada kontributor. Artinya, kelas menengah kita masih menjadi penerima subsidi daripada sebagai pembayar pajak.

Lalu apa yang harus dilakukan? Yang paling gampang sebetulnya, jika kelompok menengah mendukung pengurangan subsidi, posisi neraca fiskalnya akan berubah menuju ke positif. Memotong separuh saja dari subsidi energi akan menghasilkan unallocated spending Rp 150 triliun per tahun. Uang ini kemudian bisa dipakai untuk memenuhi permintaan kelas menengah seperti infrastruktur yang lebih baik, sarana transportasi publik yang nyaman dan andal, serta pendidikan dan kesehatan yang berkualitas. Jika mereka mendukung langkah ini, dampaknya akan kembali dinikmati oleh kelas menengah sendiri.

Kalau langkah ini diikuti pula dengan kesadaran membayar pajak (karena sistem pajak kita self-assessment), kenaikan pajak 2-3 poin persentase dari PDB akan menghasilkan tambahan Rp 150-210 triliun per tahun. Jumlah ini bisa kita gunakan sebagian untuk mengurangi beban generasi mendatang dengan mendorong anggaran menjadi seimbang atau surplus. Walhasil, kalau hal ini bisa terealisasi, utang yang harus dibayar anak-cucu kita bisa potong, dan kelas menengah kita pun berubah statusnya menjadi kelas pembaru.

*) Guru besar FEUI dan peneliti senior LPEM-FEUI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus