Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Sengketa tak kunjung usai

Istri pertama h achmad thahir, ny rukiah diwakili putranya ibrahim thahir akan menuntut uang simpa- nan almarhum lewat jalur hukum waris islam. namun, harta itu dianggap tidak sah.

17 Agustus 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Istri pertama Thahir bersiap menempuh jalur hukum waris Islam. Apakah uang komisi harta waris yang sah? INILAH harta peninggalan yang tak tuntas-tuntas diperkarakan: warisan almarhum H. Achmad Thahir, Asisten Umum Direktur Utama Pertamina pada masa kepemimpinan Ibnu Sutowo. Sudah sekitar lima tahun perkara peninggalan almarhum sebesar US$ 78 juta itu digelar di Pengadilan Tinggi Singapura toh hakim masih belum juga menjatuhkan vonis. Soalnya, ketiga pihak yang mengincar peninggalan yang disimpan di bank-bank negara jiran itu masing- masing punya dalih untuk menguasainya. Mereka adalah Kartika Ratna, Pertamina, dan keluarga Nyonya Rukiah. Senin pekan ini, perkara harta peninggalan itu digelar lagi di Pengadilan Tinggi Singapura, dan ketiganya sudah menyiapkan senjata untuk memenangkannya. Nyonya Rukiah, diwakili oleh Ibrahim, putra Thahir dengan istri pertamanya itu, misalnya, akan menuntut uang simpanan almarhum lewat jalur hukum waris Islam. "Kami memang sudah menyiapkan jurus itu untuk berjaga- jaga," kata Pengacara Rudy Lontoh, kuasa hukum Ibrahim Thahir. Sementara itu, Kartika, istri muda Thahir, dan Pertamina mengaku punya kartu pula untuk memenangkan perkara. Dilihat dari sisi hukum waris Islam, peluang Ibrahim memenangkan perkara dan bagian paling banyak, memang terbuka lebar. Mengingat almarhum Thahir beragama Islam, yang tentunya dalam hal waris tunduk pada hukum waris Islam. Konsekuensinya, Ibrahim harus membagi pula Kartika karena hukum Islam tidak menganut asas monogami. Namun, masalahnya bisa jadi lain kalau Nyonya Rukiah mempersoalkan keabsahan perkawinan suaminya dengan Kartika. Apalagi kalau ia tak memberi izin pada suaminya untuk menikahi Kartika. Menurut UU Perkawinan Tahun 1974, seorang suami yang masih terikat perkawinan tidak boleh beristri lagi, kecuali seizin istri pertama. Artinya, jika tak ada izin, keluarga bisa menggugat pembatalan perkawinan itu lewat pengadilan agama. Jika itu berhasil, praktis posisi Kartika amat lemah, pintu waris tertutup baginya. Kecuali secara diam-diam, Thahir memberi hibah atau surat wasiat pada istri mudanya tersebut. Seperti diketahui, Thahir menikahi Kartika secara Islam pada 19 Juli 1974, di kediaman Mr. Iskaq Tjokrohadisurjo di daerah Menteng, Jakarta Pusat. Perkawinan itu baru terungkap setelah Thahir meninggal. Lepas perkawinan Thahir-Kartika sah atau tidak menurut UU Perkawinan, yang jelas masa berlaku UU itu hingga kini masih jadi perdebatan kalangan ahli hukum. Satu pihak beranggapan sebuah UU mulai berlaku sejak tanggal diundangkan. Sementara itu, pendapat lain menyebut, UU baru bisa berlaku setelah disahkan presiden. UU Perkawinan itu sendiri diundangkan pada 2 Januari 1974, tapi baru disahkan presiden pada 2 Januari 1975. Sedangkan perkawinan Thahir-Kartika berlangsung 19 Juli 1974. Anggaplah perkawinan itu sah, karena tak ada gugatan dari Nyonya Rukiah, ditinjau dari hukum waris Islam, Kartika tidak bisa begitu saja mengklaim harta simpanan suaminya tersebut mutlak miliknya. Prof. Dr. Hazairin, S.H., dalam bukunya, Hukum Kewarisan Bilateral, menyebut bagian istri hanya 1/8. Karena Thahir punya dua istri sah, masing-masing memperoleh 1/16 bagian. isanya adalah milik anak-anak Thahir, yang pembagian antara anak laki-laki dan perempuan juga tak sama, dua banding satu. Total anak Thahir dari empat kali perkawinannya delapan orang: lima anak dari Rukiah, dan tiga orang lagi dari hasil perkawinannya dengan seorang wanita asal Cianjur (sudah dicerai). Dari istri ketiga, asal Aceh, yang juga dicerai, dan dari Kartika, Thahir tidak memperoleh keturunan. Dengan kondisi itu, Rukiah dan Kartika akan menerima bagian masing-masing 1/16 dari US$ 78 juta -- sekitar Rp 9,5 milyar. Sisanya, hak delapan anak almarhum. Persoalannya, apakah Pengadilan Tinggi Singapura bersedia mengadopsi hukum waris Islam. Kemungkinan itu, menurut Ichtijanto SA, S.H., dosen Hukum Islam pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia bisa saja terjadi. Alasannya: negara- negara bekas jajahan Inggris (persemakmuran) umumnya lebih menghormati hukum Islam, daripada Belanda. "Saya kira Pengadilan Singapura yang memakai hukum Inggris akan respek pada hukum Islam," tambah Ichtijanto. Kalau dasar itu dapat diterima Pengadilan Singapura, belum tentu ahli waris Thahir pula bisa memperoleh harta simpanan tersebut. Ganjalannya adalah karena uang itu diduga hasil korupsi dari perolehan komisi sewaktu Thahir bekerja di Pertamina. "Menurut tuntunan Islam, jika benar itu uang komisi, harus dikembalikan pada negara," ujar Ichtijanto. Ia menunjuk contoh pada zaman Khalifah Umar bin Khatab. Ketika itu Umar menginstruksikan para gubernurnya upeti yang diperoleh karena jabatan harus diserahkan pada negara. Senada dengan Ichtijanto adalah H. Ahmad Azhar Basjir, Ketua Jurusan Filsafat Islam pada Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Jika harta itu diperoleh dengan cara tidak sah, katanya, uang tersebut tak bisa dipandang sebagai harta waris sah. "Harta itu harus dikembalikan pada pemerintah, ahli warisnya tak berhak lagi menuntut," kata Ketua PP Muhammadiyah itu. "Kalau keluarga tetap menuntut uang 'haram' itu, berarti mereka tak percaya pada akhirat." Apakah Rukiah dan Kartika serta ahli waris lain peduli dengan pendapat para ahli hukum Islam itu? Entahlah. Yang jelas, Kartika, menurut pengakuannya, masih menyimpan kartu truf untuk memenangkan perkara. Janda cantik itu, seperti yang disebutkan dalam gugatannya terhadap Pertamina, pernah membuat kesepakatan dengan anak tirinya, Ibrahim pada 29 Agustus 1977. Isinya: membagi rata harta peninggalan jadi dua bagian -- untuk Kartika dan Ibrahim serta adik-adiknya. Aries Margono, Wahyu Muryadi, Ivan Haris (Jakarta), R. Fadjri (Yogyakarta).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus