Pertamina harus membuktikan bahwa rekening Thahir-Kartika di Bank Sumitomo Singapura berasal dari korupsi. Tapi, usaha itu agaknya melalui jalan panjang. KOMISI hampir selalu menghampiri para pejabat di Indonesia. Dari hal yang remeh-temeh sampai soal-soal besar, misalnya, penentuan pemenang tender, uang komisi senantiasa ada. Warisan Haji Achmad Thahir berupa rekening (bersama istri keduanya, Kartika Ratna) di Bank Sumitomo Singapura, tidak lepas dari komisi yang diberikan perusahaan-perusahaan multinasional. "Menerima komisi sudah menjadi kebiasaan buruk di Indonesia. Mentalnya mental maling," kata Profesor Muladi guru besar hukum pidana Universitas Diponegoro, Semarang. Kebiasaan buruk para pejabat itulah yang dijadikan pembelaan Kartika untuk menghadapi gugatan Pertamina di Pengadilan Tinggi Singapura. Menurut pihak Kartika, karena sudah menjadi makanan sehari-hari para pejabat, menerima komisi bukanlah pelanggaran hukum. Namun, Muladi tetap beranggapan, "Komisi itu haram, karena berkaitan dengan kedudukan dan jabatannya." (Lihat Kolom). Begitu pula menurut Oemar Seno Adji, bekas Ketua Mahkamah Agung yang kini membuka kantor pengacara. Perjanjian dagang yang dilakukan pemerintah, kata Oemar Seno Adji, tidak mengenal komisi sebagai milik pribadi. "Keputusan Presiden 1984 menyebutkan, uang komisi adalah uang negara. Pemilikan komisi oleh pribadi dikategorikan korupsi," kata Oemar. Sayangnya, untuk membuktikan bahwa harta karun Thahir-Kartika itu memang hasil korupsi tampaknya harus melewati pemeriksaan panjang. Itu yang membuat Nono Anwar Makarim, ahli hukum perdata internasional, meragukan keberhasilan Pertamina merengkuh rekening bekas asisten umum direktur utamanya itu melalui pengadilan. "Hukum kita yang terkodifikasi terlalu generalistis, banyak lubangnya, tidak terperinci, terlalu luwes sehingga penafsirannya bisa bermacam-macam," ujarnya. Makarim pun sependapat bahwa secara etis uang komisi itu haram. Sebagai pimpinan Pertamina, semestinya Thahir bertugas menguntungkan perusahaannya. Namun, sebaliknya, selain menerima komisi, Thahir menggembungkan nilai proyek Krakatau Steel yang ditanganinya itu sehingga sangat merugikan Pertamina. "Tanpa UU Antikorupsi pun, dari hukum perseroan saja Thahir sudah kena. Sayangnya, masalah duty of loyalty ini tidak tertulis dalam hukum perseroan," kata Makarim. Karenanya, agar pembuktian Pertamina kuat, "Perlu bukti hitam di atas putih bahwa pada tanggal-tanggal tertentu Thahir menerima uang sejumlah tertentu dari kontraktor Pertamina tertentu," begitu Makarim menganjurkan. Di samping itu, kontraktor tersebut harus mengakui bahwa benar jumlah tadi telah diberikan kepada Thahir. Muladi dan Makarim mengusulkan agar kasus korupsi Thahir diadili di Indonesia terlebih dahulu. Hasilnya nanti adalah putusan pengadilan mengenai penyalahgunaan jabatan yang dilakukan Thahir, walaupun kesulitannya adalah, konon, kasus ini akan melibatkan sejumlah nama penting di sini. Namun, kata Makarim, inilah yang disebut orang sebagai uphill battle (pertempuran berat). Adapun menurut Oemar Seno Adji, kalau hanya ditinjau dari hukum yang berlaku di Indonesia, kasus rebutan harta antara Pertamina, Kartika, dan ahli waris Thahir dari istri pertama ini sudah lama selesai. Soalnya, di Indonesia korupsi sudah didefinisikan secara luas: pokoknya komisi itu berhubungan dengan jabatan si penerima komisi. Akibatnya, putusan pengadilan di Indonesia akan jelas, "Pertamina, sebagai perusahaan negara, berhak atas uang warisan itu bukan Thahir," kata Oemar. Masalahnya, Oemar mengingatkan, perkara ini diadili di Singapura, negara yang mempunyai landasan hukum Inggris, Anglo Saxon. Di sana bisa jadi perbuatan almarhum Thahir tidak dinilai sebagai korupsi. Soalnya, definisi korupsinya masih sempit: terbatas pada komisi yang mengandung unsur penyuapan (bribery). Namun, Komar Kantaatmadja ahli hukum internasional yang dalam kasus ini diajukan sebagai saksi ahli oleh Pertamina, yakin Pertamina tetap di atas angin. Meskipun ia belum mau mengungkapkan jurus-jurusnya di pengadilan nanti secara mendetail, Komar menyebutkan, "Proses hukumnya saja yang mengikuti hukum Singapura. Tapi substansinya, hak siapa harta itu, ditentukan menurut hukum Indonesia." Sebab, seperti pernah disebut Makarim, hukum yang berlaku dalam kontrak kerja Thahir dan Pertamina adalah hukum Indonesia. Setiap pelanggaran terhadap kontrak kerja itu mesti ditentukan apakah benar itu merupakan pelanggaran atas dasar hukum Indonesia. Kesulitannya adalah lagi-lagi dalam menelusuri asal-usul harta karun itu. Untuk itu, Pertamina perlu membongkar semua dokumen di seputar kasus Thahir-Kartika yang ada di Bank Sumitomo Singapura. Yakni transaksi-transaksi apa saja yang pernah dilakukan selama Thahir hidup. Padahal, pihak Kartika mati-matian menjegal usaha itu dengan cara meminta pembuktian terlebih dulu apa hak Pertamina atas uang itu, dan apa yang sebenarnya sudah dilanggar Thahir. Sesudah hak Pertamina menjadi jelas, baru pengadilan bisa diminta membongkar dokumen-dokumen itu. Sementara Pertamina sibuk mempersiapkan dalil-dalil hukumnya, masih ada yang menunggu cipratannya. Yakni, masalah perdata waris. Selain Kartika, anak-anak Thahir dari istri pertama pun merasa berhak atas rekening itu. Pertempuran di pengadilan masih akan seru seandainya Pertamina tidak mampu membuktikan haknya atas uang senilai Rp 153 milyar itu. Sebelum itu terjadi, tentunya Pertamina harus membuktikan terjadinya money laundering dengan disimpannya uang hasil korupsi di bank milik konglomerat Jepang itu. Bila itu terbukti, baik Kartika maupun anak-anak Thahir dari istri pertama tidak punya hak lagi atas uang itu. Soalnya, yang namanya money laundering secara hukum tidak dibenarkan jatuh ke tangan perorangan. Lalu Pertamina tinggal mengupayakan lagi kembalinya rekening di bank lainnya yang sudah diambil Kartika. Memang itu baru harapan, yang boleh jadi amat muluk. Di ruang sidang Pengadilan Tinggi Singapura, bisa dibayangkan bagaimana serunya "perang pasal" hukum perdata internasional itu. Bagaimana kans Pertamina untuk memenangkan perkara yang sudah bergulir selama 14 tahun itu? Oemar memberi lampu kuning, bahwa sistematika peradilan Singapura bisa menyandung Pertamina. Ia menunjuk kekuasaan hakim yang tiada taranya dalam sistem hukum Inggris itu. Jadi, menurut Oemar, "Tergantung bagaimana para pihak bisa meyakinkan hakim supaya memenangkan kasusnya. Bisa nggak para pengacara Pertamina melakukan itu?" Kalau toh nantinya Pertamina kalah, Makarim punya resep mujarab untuk menjaring uang itu. Caranya, Pemerintah mengenakan pajak atas simpanan Thahir-Kartika dengan hitungan zaman itu. Nah bila perhitungan pajak progresif -- semakin tinggi penghasilan si wajib pajak, maka semakin besar persentase pajaknya -- dikenakan, Pemerintah bisa memperoleh 50% lebih dari simpanan itu. Belum lagi penaltinya (maksimum 48%), karena menunggak bayar. "Ini saya rasa yang paling efektif," kata Makarim. Apa pun langkah-langkah yang ditempuh, jalan itu masih teramat panjang. Ardian Taufik, Ivan Haris (Jakarta), dan Heddy Lugito (Semarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini