AGAK mengejutkan, ketika Ibrahim Thahir, 43 tahun, tiba-tiba muncul di persidangan sengketa deposito ayahnya di Pengadilan Tinggi Singapura. Kendati keluarga Thahir termasuk pihak yang berperkara di Pengadilan Tinggi Singapura, selama ini tak seorang pun anggota keluarga yang muncul. Tak hanya itu. Selama 11 tahun, keluarga Haji Thahir tutup mulut atas sengketa deposito almarhum di Bank Sumitomo Singapura. Tak sepatah pun jawaban datang dari istri pertama almarhum, Nyonya Rukiah Thahir, dan juga delapan anak almarhum. Pagar rumah mereka -- yang terdiri dari tiga rumah -- di Jalan Mangunsarkoro dan beberapa rumah berbentuk Joglo di Jalan Kemang Raya, Jakarta Selatan, seakan-akan tertutup rapat bagi pers. Di Singapura pun Ibrahim berusaha menjauh dari pers. Putra ketiga Haji Thahir itu, dengan jas cokelat, masuk ruangan sidang dikawal dua pengacaranya Rudy Lontoh dan Denny Kailimang. Begitu sidang ditunda, ia buru-buru kembali ke hotelnya, Royal Holiday Inn. Untuk mencari Ibrahim di hotel itu tidak gampang. Ia menginap di Executive Floor, lantai yang hanya bisa dimasuki oleh penghuni. Liftnya hanya bisa dibuka dengan kunci kamar penghuni. Beruntung TEMPO bisa diterimanya di kamar khususnya itu. Ayah dua anak yang berpenampilan bagai anak muda itu mengaku, kini tak punya usaha yang dikelolanya sendiri. Ia katanya hanya membantu-bantu di berbagai perusahaan, di antaranya perusahaan trading company, perusahaan perjalanan, dan sebuah perusahaan penerbangan. "Sejak ada kasus ini, saya hanya menjadi the man behind the screen," kata Ibrahim, yang pernah mengenyam pendidikan bisnis di Universitas Trisakti itu. Didampingi pengacaranya, Rudy Lontoh dan Denny Kailimang, ia memaparkan almarhum ayahnya kepada Karni Ilyas dari TEMPO. Berikut ini petikan wawancaranya. Apakah Anda cukup akrab dengan almarhum. Bagaimana perhatiannya terhadap anak? Cukup, sebagaimana layaknya ayah terhadap anak. Tapi belakangan kami sama-sama sibuk. Saya sibuk belajar, dia dengan bisnisnya. Apa saja kesenangannya? Dulu golf. Tapi belakangan ia berhenti dan hanya membaca. Bagaimana perhatiannya terhadap agama? Ia beribadah, tapi tidak bisa dikatakan taat. (Ibrahim tertawa). Kapan ia kawin dengan Ibu Rukiah? Maaf, benarkah ia punya istri kedua sebelum Kartika dan berapa anaknya? Ia kawin dengan ibu saya pada 1930-an. Benar ia punya istri kedua. Sekarang bekas istrinya ada di Jakarta. Dari kedua istri itu ia dapat delapan anak, dari Kartika tidak ada. Kami semua anak-anak almarhum kompak dalam hal ini. Apakah Anda sudah kenal Kartika ketika almarhum masih hidup. Dan tahukah Anda bahwa ia ibu tiri Anda? Saya kenal dia, tapi tidak dekat. Saya tahu ia istri Bapak. Selama ini, berita media massa hanya sisi gelap tentang almarhum. Bagaimana pandangan Anda? Kalau kita lihat sekarang, kayaknya berita-berita memang lebih banyak yang memojokkan almarhum. Selama ini tidak pernah diketahui apa yang pernah dikerjakan beliau. Background beliau tak pernah dibicarakan. Apa saja yang pernah dikerjakan almarhum sebelumnya? Dalam pernyataan di affidavit untuk pengadilan saya telah sebutkan semuanya. Pada awal kemerdekaan, semula Bapak bergerilya di Sumatera Selatan bersama-sama Pak Ibnu. Bapak ditugasi mendapatkan dana guna pengadaan peralatan. la ditugasi menjual hasil bumi, dan uangnya digunakan untuk membeli senjata. (Ibrahim memperlihatkan surat tugas Almarhum untuk mendirikan badan import-eksport di Departemen Pertahanan yang ditandatangani Menteri Kemakmuran A.K. Gani dan Menteri Pertahanan Amir Syarifuddin pada 28 Oktober 1946). Pada 1948 beliau bertugas sebagai perwira di Intendans di Bukittinggi. Beliau juga pernah bertugas di Penang bersama Laksamana John Lie untuk menyelundupkan senjata ke lndonesia. Karena itu, ia mendapat bintang gerilya. Bagaimana setelah penyerahan kedaulatan? Ia mengundurkan diri dari militer dengan pangkat mayor. Perusahaan yang sudah dirintisnya sejak revolusi, 1948, diubahnya menjadi CTC (Central Trading Company) di Jalan Kramat Raya. Pendirinya Bapak, Hamid Azwar, dan Tengku Daud. Belakangan perusahaan itu menjadi PT Pantja Niaga. Setelah keluar dari CTC, Bapak membuka usaha sendiri di bidang ekspor-impor. Pada tahun 1958, kami pindah ke Medan, Bapak mendirikan perusahaan veem (EMKL), dan menjadi ketua asosiasi EMKL di Sumatera Utara. Ketika itu Bapak banyak berhubungan dengan Pak Ibnu Sutowo. Pada tahun l962, perusahaan bapak itu digabung dengan beberapa perusahaan lain menjadi PT Samudera Indonesia. Bapak dengan Pak Soedarpo menjadi pendiri dan perusahaan itu masih ada sampai sekarang. Kapan almarhum masuk Pertamina? Pada 1964, Bapak diminta Pak Ibnu untuk membantu Permina (sekarang Pertamina) di Medan. Pada 1965 kami pindah ke Jakarta. Bapak meneruskan kariernya di Pertamina dan kemudian menjadi direktur keuangan. Kapan Anda tahu bahwa almarhum punya simpanan di Bank Sumitomo? Bapak meninggal pada 23 Juli 1976. Ketika itu kami belum tahu karena sibuk mengurus pemakaman dan sebagainya. Baru beberapa hari kemudian setelah membongkar-bongkar arsip, kami menemukan dokumen tentang deposito joint account itu. Kami minta bank memblock uang itu. Apa Kartika datang melayat? Tidak. Sampai hari ini juga tidak. Karena itulah, kalau ia benar-benar seorang istri, ia harus datang Jakarta bukan langsung ke bank. Kalau memang ada uang, seharusnya memberi tahu keluarga. Tapi ia malah datang ke Singapura dan memindahkan rekening bapak di Chase Manhattan dan The Hongkong & Shanghai Banking Corporation. Dari mana Anda tahu itu? Dari pernyataan dia sendiri, ketika terjadi perundingan. Kalanya pernah tercapai perdamaian antara Anda dan Kartika sebelum Pemerintah tahu tentang uang itu? Ya, tapi ia ingin segera menarik sesegera mungkin. Tapi kan tidak mungkin. Di sini ada ketentuan bahwa warisan itu harus kena pajak. Setelah berlarut-larut akhirnya Pemerintah mengklaim bahwa uang itu milik negara. Siapa pemilik uang itu menurut Anda? Itu yang saya tak bisa ungkapkan karena saya salah satu pihak yang berperkara (Rudy Lontoh menambahkan: di sini, sebelum keterangan yang kita masukkan di pengadilan, go public, belum bisa diungkapkan). Baiklah, kini apa yang diharapkan pihak keluarga dari perkara ini? Keluarga ingin perkara ini bisa cepat selesai, dan nama Bapak tidak lagi teraniaya. Sampai saat ini perkara ini menjadi beban psikologis bagi anak-anak. Anak-anak saya misalnya sangat terpukul bila kakeknya masih saja disebut-sebut dalam perkara itu. Dari segi uang, memang masih ada keluarga yang berharap walau kecil masih ada yang kembali dari deposito itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini