Komisi dan Sikap Nasionalisme MULADI * CUKUP menarik perhatian mengikuti kisah perayahan (perebutan) uang yang diduga merupakan hasil komisi almarhum A. Thahir di Bank Sumitomo, Singapura. Rebutan itu antara Pertamina, Nyonya Kartika, dan anak-anak A. Thahir. Terkait di sini aspek-aspek yang multidimensional, baik yang bersifat hukum, sosial budaya, maupun politik, khususnya nasionalisme. Aspek hukum tampak jelas di sini karena hakikat komisi secara yuridis normatif mempunyai konotasi yang berbeda-beda, bergantung dari sudut jenis hukum yang kita jadikan pangkal tolak. Dari lapangan hukum perdata (private law), kita mengenal istilah commissionair yang artinya perwakilan dagang yang melaksanakan pekerjaannya atas nama sendiri atau atas nama orang lain, atas perintah atau atas beban orang lain (committent atau commissiegiever), dengan memungut upah atau provisi. Upah atau komisi atau provisi ini sah (lawful) dalam hukum dagang dalam kerangka hubungan perdata. Masalahnya akan menjadi lain apabila kita memandangnya dari sudut hukum pidana (criminal law). Di sini, kita dihadapkan pada produk perundang-undangan yang sangat ditakuti oleh para koruptor, yaitu Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam undang-undang ini ditegaskan bahwa "seorang pejabat atau pegawai negeri yang menerima hadiah atau janji dalam kaitannya dengan kekuasaan atau jabatannya" merupakan tindak pidana korupsi. Selanjutnya dalam Pasal 1 ayat (1) huruf d undang-undang itu dinyatakan bahwa pegawai negeri tersebut dalam waktu yang sesingkat-singkatnya setelah menerima pemberian atau janji tersebut harus melaporkannya kepada yang berwajib. Bahkan, percobaan atau permufakatan untuk melakukan perbuatan-perbuatan di atas dianggap pula merupakan tindak pidana korupsi yang diancam dengan pidana selama-lamanya seumur hidup dan atau denda sebanyak-banyaknya 30 juta rupiah serta dapat dikenai pidana tambahan berupa uang pengganti sebesar uang yang dikorupsi. Ketentuan tersebut, di samping untuk memberantas penerima suap (passieve omkoping), juga untuk memberantas retour commissie, yang sebenarnya dapat dijadikan sarana untuk mengurangi pengeluaran negara apabila dipotongkan dari biaya pembelian. Jadi, pejabat bukanlah "commissionair". Apabila informasi yang menyatakan bahwa uang Rp 156 milyar yang sedang dijadikan rayahan di atas benar-benar diperoleh oleh almarhum A. Thahir dengan cara meninggikan nilai pembangunan Krakatau Steel di Cilegon (10%-11%), jelas bahwa uang tersebut adalah hasil korupsi (unlawful money), dan harus kembali ke pemerintah RI melalui Pertamina. Dengan demikian, baik Nyonya Kartika maupun anak-anak A. Thahir tidak berhak atas "uang haram" tersebut. Atas dasar kebiasaan dalam hukum internasional dan semangat ASEAN, sudah sepantasnya pemerintah Singapura diharapkan membantu pengembalian uang tersebut kepada pemerintah Indonesia. Dari aspek sosial budaya, masalahnya cukup memprihatinkan. Tampaknya, ada kecenderungan untuk mencampuradukkan kepentingan publik (kepentingan negara) dengan kepentingan pribadi. Hubungan perdata (lihat pengertian commissionair) dengan hubungan publik. Harta negara dianggap common heritage of mankind, yang dapat dijarah setiap saat untuk kepentingan pribadi. Mentalitas double standard yang di satu pihak menganggap penerimaan komisi oleh seorang pejabat sebagai tindak pidana, tetapi di lain pihak dapat menerimanya atas dasar hukum kebiasaan dan merupakan hal yang legal harus segera dihentikan. Kasihan republik yang kita cintai ini, yang saat ini sedang menderita. Budaya anomie of success yang menghalalkan segala cara untuk kaya dalam kerangka subkultur yang immoralitiesnot responsible harus segera diberantas dengan total law enforcement yang tinggal ditarik picunya atas dasar hukum positif di atas. Sayang, A. Thahir sudah almarhum. Apabila dia masih hidup dan dapat diadili sebagai koruptor, masalahnya tidak akan sesulit ini. Kewenangan untuk menuntut dan menjalani pidana hapus dengan matinya terdakwa. Masalahnya masih mending apabila sebelum meninggal, proses peradilan sudah berjalan sehingga harta benda yang disita bisa dirampas. Saat ini sangat sulit pembuktiannya. Saksi-saksi tidak akan berani nongol, sebab biasanya sepanjang menyangkut white collar crime atau economic crime pasti ada kolusi (sekongkol) antara pelaku dan orang-orang lain (termasuk saksi) sehingga saksi- saksi tersebut takut dituntut. Daluwarsa penuntutan tindak pidana korupsi adalah setelah lewat 18 tahun. Di sinilah "sikap nasionalisme dan cinta tanah air" dituntut. Saksi-saksi yang tahu dan merasa tidak melakukan kolusi diharapkan tampil untuk memperkuat alat-alat bukti yang sudah dikumpulkan Tim Penasihat Hukum Pertamina. Sikap patriotik semacam itu juga dituntut terhadap anak-anak almarhum A. Thahir, yakni Abu Bakar dan Ibrahim. Mereka ini diharapkan segera melepaskan klaimnya atas harta tersebut jauh-jauh hari apabila isyarat-isyarat bahwa uang di atas benar-benar hasil korupsi telah semakin jelas. Semoga Albert Hasibuan dan Pertamina dapat memenangkan perkara tersebut. Amin. * Prof. Dr. Muladi, S.H. adalah guru besar Fakultas Hukum Undip, Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Pidana Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini