Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Eks Sekretaris Utama Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan atau Sestama Basarnas Max Ruland Boseke mengaku membeli ikan arwana super red senilai Rp 40 juta dari uang hasil korupsi. Uang tersebut diberi kode dana komando yang berasal dari perusahan yang memenangkan tender pengadaan barang dan jasa di Basarnas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengakuan itu terungkap setelah anggota Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat Alfis Setiawan menanyakan berita acara pemeriksaan (BAP) Max perihal adanya bukti transaksi pembelian ikan. Max pun mengakuinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Iya, Pak. saya mengaku bersalah," kata dia saat memberikan keterangan sebagai saksi mahkota pada sidang perkara korupsi pengadaan truk angkut personel 4WD dan rescue carrier vehicle (RCV) di Pengadilan Tipikor PN Jakarta Pusat, Kamis, 27 Februari 2025.
Pada kesempatan yang sama, Max menyebut tidak membeli sendiri melainkan menyuruh pegawai kantor SAR Pontianak bernama Deni Irsan yang mencarikan ikan arwana super red tersebut.
Jaksa penuntut umum dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendakwa Max Ruland Boseke merugikan negara hingga miliaran rupiah. Hal ini terungkap dalam sidang dakwaan terhadap tiga terdakwa kasus korupsi pengadaan truk di Basarnas.
Selain Max Ruland, terdakwa lainnya adalah Anjar Sulistiyono selaku Kepala Sub Direktorat Pengawakan & Perbekalan Direktorat Sarana dan Prasarana Basarnas dan pejabat pembuat komitmen dan William Widarta selaku Direktur CV Delima Mandiri sekaligus penerima manfaat PT Trijaya Abadi Prima.
Jaksa KPK, Richard Marpaung, mengatakan Max Ruland Boseke bersama-sama dengan William Widarta dan Anjar Sulistiyono pada Maret 2013 sampai 2014 telah melakukan perbuatan melawan hukum. Sehingga memperkaya Max sebesar 2.500.000.000 atau Rp 2,5 miliar, serta William sebesar Rp 17.944.580.000 atau Rp 17,9 miliar.
Angka kerugian keuangan negara atau perekonomian negara sebesar Rp 20,4 miliar itu dihitung oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Audit tersebut dilakukan pada 26 Februari 2024.