SI Amat tak jelas lagi alamatnya. Ya, statusnya memang masih dalam kejaran polisi alias buron. Tapi, dari tempat persembunyiannya, ternyata ia dapat melayani gugatan lawannya di pengadilan. Ia bahkan berusaha "mencegat" putusan. Caranya dengan memberi surat kuasa kepada pengacaranya. Dan kuasa itu, pekan ini, bisa membawa perkara Amat ke tingkat banding. Kuasa untuk naik kasasi, jika kelak dianggap perlu, konon juga sudah siap di tangan pengacaranya. Amat,40, pemilik perusahaan kayu Galuh Jaya Perbaungan di Deli Serdang, Sumatera Utara, memborong 53 ton berbagai jenis kayu dari Parman. Janjinya akan membayar kontan. Ternyata bohong: ia hanya membayarnya dengan sepucuk surat bon sebesar Rp 2,3 juta dan empat giro bilyet senilai Rp 7 juta yang jatuh tempo antara pertengahan dan akhir Maret. Parman kecewa. Lebih kecewa lagi ketika ia gagal mencairkan giro bilyet pada waktunya, karena Amat, rupanya, sudah lebih dulu menutup rekening banknya. Apa bukan penipuan itu namanya? Parman lalu lapor polisi. Bersama-sama mereka mengejar Amat ke Perbaungan. Di tempat itu -- yang jauhnya 48 km dari Medan -- mereka cuma bertemu rumah kosong. Menurut para tetangga, Amat, istri, dan tiga anaknya sudah kabur. Konon ke Hong Kong. Usut punya usut, ternyata, bukan hanya kepada Parman saja Amat berbuat begitu. Sebuah sumber di Poltabes Medan menyatakan kepada wartawan TEMPO, Bersihar Lubis, bahwa "Tidak kurang dari 25 pengusaha kayu yang ditipu Amat dengan modus operandi yang sama, hingga total pempuannya bernilai Rp 500 juta." Malah, pada pedagang nasi -- tempat para buruh Amat makan saudagar itu masih berutang Rp 700.000. Dengan seabrek tuduhan itu, mau tak mau, polisi harus menyatakan Amat sebagai "tersangka yang dicari" -- entah buron atau apa namanya. Sementara itu, namanya juga usaha, Parman menggugat ke Pengadilan Negeri Lubukpakam. Namun, ikhtiarnya itu tak berhasil juga memancing lawannya ke permukaan. Tapi bukan berarti perkaranya tak dilayani. Lawannya yang buron itu, rupanya, diam-diam menghubungi Pengacara Syafrin Malizar. "Dia datang ke kantor kami," tutur Syafrin. Dan karena itu, sampai perkara diputus Juli lalu, cuma pengacaranya Itulah yang menghadiri sidang-sidang. Memang, akhirnya kalah juga Amat diharuskan membayar utangnya ditambah bunga. Tetapi Simbolon, kuasa hukum Parman, tetap gregetan. Ia menganggap Amat masih bisa diperkarakan secara pidana karena menipu banyak orang. Maka, berkali-kali ia meminta pada majelis hakim memanggil Amat agar menghadiri sidang -- tidak cukup diwakili. Sebaliknya, Hakim M. Siahaan menganggap kehadiran Amat tidak mutlak untuk suatu perkara perdata. Siapa tak gregetan, coba? Setelah hakim memenangkan penggugat, Amat -- melalui kuasanya -- minta naik banding. "Bagaimana kuasanya bisa menyatakan banding kalau tidak ketemu kliennya untuk konsultasi setelah putusan jatuh?" kata Simbolon ketus. Pengacara Syafrin mengaku tak tahu-menahu bahwa kliennya dicari-cari polisi. "Kami hanya tahu perkara Amat itu perdata. Habis perkara," katanya kepada TEMPO. Polisi, katanya, juga tak pernah menghubungi mereka. Ia juga membantah pernah ketemu Amat setelah perkaranya diputus. Katanya, sejak menghubungi mereka pertama kali, Amat telah mengambil ancang-ancang. Karena yakin kasusnya akan kalah katanya, "Dia mempersiapkan surat untuk banding." Bahkan, menurut sumber TEMPO, Amat telah siap dengan surat untuk kasasi. Menurut hukum, meski si tergugat tak muncul, persidangan di tingkat pengadilan negeri dianggap sah. "Ini 'kan bukan perkara pidana," kata Ketua Majelis Hakim Tinggi Riora Efendy. Malah, ia tak setuju jika Amat disebut buron. "Amat hanya diduga berbuat pidana. Begitu saja belum bisa dianggap buron, dong," katanya. Sebelum ada perintah penangkapan, barangkali. Yang jelas, buron di mata antara lain -- seorang tukang nasi. Tapi ada juga yang kaget mendengar Amat dikejar pohsi. Sebab, selama empat tahun belakangan ini, ia dikenal suka membantu urusan sosial di kampung. "Tak sangka dia begitu," tutur Kepala Desa Galuh Jaya, Aminurrahim. Bunga S.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini