LAPORAN seorang gubernur mendudukkan Meroekh di kursi terdakwa dengan tuduhan berat: korupsi. Namun, ketegaran Pengadilan Negeri Kupang membebaskan bekas pimpro reboisasi NTT itu dari tuduhan. Bara pun makin merah. Rabu pekan ini, Meroekh menunggu putusan pengadilan yang sama untuk tuduhan yang sama, korupsi, tapi untuk obyek yang lain -- di antaranya ternyata dana pemilu. "Dana taktis", demikian sebutannya di dalam tanda terima setoran yang diberikan bendaharawan proyek, Soleman Mesakh Giri, kepada CDK (Cabang Dinas Kehutanan) sebumi NTT. Dari jumlah yang dituduhkan Rp 30 juta, sebagian, Rp 13 juta, didakwakan digunakan untuk kepentingan pribadi Meroekh. Yang Rp 11 juta untuk Soleman, dan sisanya untuk kepentingan lain di luar keperluan pelaksanaan proyek yang menjadi tanggung jawab mereka. Ir. Matheos Meroekh, 47, yang lahir di Kupang itu, menjabat Kepala Dinas Kehutanan NTT sejak tahun 1969. Sebelum melaksanakan proyek reboisasi dan PBR (Pengadaan Bibit Reboisasi), 1976, Meroekh mengaku diperintahkan rapat BPD Golkar NTT yang juga dihadiri Muspida untuk menyisihkan 10% dana reboisasi yang Rp 175 juta itu. Waktu itu, ceritanya, kepada Mendiang Gubernur El Tari ia berhasil menawar untuk hanya memungut Rp 5 juta dari dana reboisasi dan PBR, sedang yang Rp 12,5 juta akan diambilkan dari hasil eksploitasi kayu cendana. Setelah pengarahannya pada para CDK, Agustus 1976, uang pun terkumpul pada Soleman. Dari CDK Kupang, CDK Belu, CDK Timor Timur Utara, dan CDK Timor Timur Selatan untuk tahun anggaran 1976/1977 terkumpul Rp 10 juta. Kata Meroekh, di antaranya, Rp 5 juta, disetorkan pada Panitia Usaha Dana Golkar NTT. "Tidak diberikan tanda penerimaan, memang. Karena hal ini sifatnya sangat rahasia. Tapi bukti penyetoran ini dapat dicek pada Bank Pembangunan Daerah," kata Meroekh, ingkar dari tuduhan itu. Sementara itu, Soleman, dengan dalih diperintah Meroekh, terus memungut dari CDK Kupang yang kebetulan tidak hadir dalam pengarahan -- sampai tahun anggaran 1979/1980. Tentu saja, Meroekh tak sudi mengakui pungutan itu. "Saya tak pernah memberi perintah pada Mesakh Giri," katanya kepada hakim. Cerita sangat rahasia itu mestinya bisa lewat demikian saja kalau Kejaksaan Tini NTT tidak 'ngotot untuk memperkarakan Meroekh yang kini ditarik ke Jakarta. Kepada Gubernur Ben Mboi, juga kepada penggantinya, Ir. Oscar Arellan Sipayung, Meroekh berbisik bahwa ada dana Rp 114 juta sebagai laba eksploitasi kayu cendana yang dilakukan atas nama karyawan kehutanan dan PT Praja Bhakti. Kata Meroekh, dana itu diminta Gubernur untuk dimasukkan ke Pemda I sebagai dana nonbudgeter. "Saya tidak mengiyakan. Bahkan saya katakan bahwa uang itu punya banyak orang dan juga pihak ketiga," katanya menunjuk PT Praja Bhakti itu. Praja Bhakti ialah perusahaan yang dipercaya mengelola eksploitasi kayu cendana, semacam perusahaan lain di Kupang, yang menjadi kepanjangan tangan PT Rempah Kencana di Jakarta. Cerita dana tak terdengar lagi. Tiba-tiba Meroekh, yang baru beberapa bulan mendapatkan penghargaan berupa Cincin NTT dengan SK gubernur itu, dikagetkan dengan pemberkasan kisahnya dengan tuduhan korupsi uang negara Rp 114 juta. Lolos, dana itu utuh Rp 114 juta di BNI 1946, dan Agustus 1985 lalu pengadilan tidak menemukan bahwa Meroekh memakan uang negara. "Habis, jaksa tidak dapat membuktikan Meroekh memanipulasi uang negara. Lantas saya harus bertindak apa?" kata Hakim Samadikun. Lolos dari jaring pertama, Meroekh segera disergap dengan tuduhan korupsi dana reboisasi itu. Makin sengsara, mondar-mandir Jakarta-Kupang, didampingi pengacara dari kantor Harjono Tjitrosoebono. "Tak mungkin kalau tak ada masalah ini saya sampai begini," keluhqya. "Meroekh itu pembohong. Ia telah mengambinghitamkan Golkar dan berlindung pada orang yang telah meninggal," kata Ben Mboi kepada Masduki Baidlawi, sembari marah. Palu hakim akan mengetuk siapa yang dianggap salah. Eko Yuswanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini