Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Malang si anak haram

Janda suti, 40, melahirkan bayi hasil hubungan gelap dengan anaknya halim, 16, di kedung kaji lor jember. status hukum si bayi tidak jelas karena belum diatur dalam hukum bahkan agama. (hk)

6 Desember 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BUAT anak kandung, anak angkat bahkan anak zina sudah ada aturan hukumnya. Tapi bagaimana dengan anak yang dibuahkan dari hasil hubungan gelap antara seorang ayah dengan putri kandungnya atau antara seorang ibu dengan putra kandungnya? Ternyata, hukum perdata, hukum perkawinan, dan bahkan hukum agama tidak mengatur secara khusus status anak dari hubungan incest semacam itu. Kasus terbaru terjadi di Desa Kedung Kaji Lor, Jember, Jawa Timur. Seorang janda, sebut saja namanya Suti, 40, tiba-tiba melahirkan seorang bayi laki-laki. Pamong desa yang mengusut, hampir tidak percaya karena bapak si bayi tidak lain putra kandung si ibu itu sendiri, namanya sebut saja Halim, usia baru 16. "Benar, Pak, sayalah yang menghamili Ibu," kata Halim, polos, ketika ditanyai pamong desa. Kelahiran bayi yang membuat heboh sekitar dua bulan lalu itu sampai kini masih ramai digunjingkan. "Musibah apa gerangan yang melanda desa ini -- atau memang dunia ini sudah rusak? Sangat memalukan," kata seorang penduduk di desa itu. "Memang gila . . . kalau tidak gila, masa begitu," kata Kamituwo H. Nachrowi, pekan lalu. Sejak gadisnya Suti memang dianggap tidak waras -- kendati ia cantik. Ketika masih perawan, Suti, yang bertubuh semampai iti konon, sangat menggoda hati lelaki sekampungnya. Kembang desa itu sempat menggegerkan desanya karena ketahuan berhubungan gelap dengan seorang haji kaya. Akibatnya, cewek yang dari kecil sudah yatim piatu itu hamil dan melahirkan anak. Ia lalu dinikahkan dengan haji berusia 55 tahun itu. Tapi perkawinan itu tidak berlangsung lama. Menurut cerita penduduk desa, janda cerai itu memanjakan anaknya berlebih-lebihan. Sampai-sampai si anak, meski sudah berusia 16 tahun, konon masih tidur seranjang dengan ibunya. Maka, suatu kali, si anak -- yang tentu sudah matang berahi -- lupa ia tidur dengan siapa. Sialnya, ibunya juga demikian. "Perbuatan itu kami lakukan sampai lima kali," begitu menurut pengakuan si anak, Halim, kepada pamong desa yang memeriksanya. Yang repot mengatur hukum bagi si anak. Karena tak sebuah norma pun yang membenarkan hubungan semacam itu, maka tidak jelas pula status hukum untuk si anak. Bahkan, bayi itu tidak pula bisa disebut statusnya sebagai anak haram -- hasil hubungan luar nikah antara lelaki dan wanita yang sebenarnya diizinkan untuk menikah kemudian. "Anak di luar nikah lazimnya dianggap anak ibunya, dan karena itu mewaris dari ibunya. Tapi pada kasus Kedung Kaji Lor itu, baik si anak maupun si ayah sama-sama mewaris dari ibu yang sama. Pembagian warisannya pun akan menjadi kacau karena si anak adalah juga cucu dari ibunya yang seharusnya baru bisa mewaris sebagai pengganti ayahnya," kata seorang ahli hukum. Guru Besar Hukum Perdata UGM, Prof. Dr. Sudikno, memastikan bahwa kasus semacam itu belum diatur dalam hukum perdata. Rekannya dari Bandung, Prof. Soebekti, tegas menganggap dalam kasus semacam itu si anak tidak punya hubungan hukum baik dengan ayah maupun ibunya. Wakil Ketua MUI Jaya dan juga Anggota Komisi Fatwa MUI, K.H. M. Syafi'i, menganggap bayi yang dilahirkan dari hubungan semacam itu sebagai -- yang dikenal dalam hukum Islam -- anak zina biasa. "Anak itu adalah anak ibunya, dan hanya mewaris dari ibunya, karena ayahnya dianggap tidak ada," ujar Kiai Syafi'i. Guru Besar Hukum Adat FH UI, Prof. Dr. Soerjono Soekanto, mengatakan bahwa satu-satunya sanksi hukum adat atas hubungan incest atau sumbang semacam itu hanyalah berbentuk pengusiran dari kampung atau masyarakatnya. Yang dimaksud hubungan sumbang tidak hanya perkawinan antara orang-orang yang mempunyai hubungan darah dekat, seperti dikenal dalam hukum perdata, tapi orang semarga, atau perkawinan yang melanggar prinsip dalhan na tolu di Batak, atau kawin dengan kerabat ibu -- sesuku -- di Minang. "Dalam kasus-kasus semacam itu, masyarakat menganggap sebagai dosa bersama dan harus ditanggung bersama. Hal itu tidak tercatat oleh peneliti hukum adat karena masyarakat malu mengungkapkannya," ujar Soerjono.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus