Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai mengusulkan kepada Polri untuk mencabut pemberlakuan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) sebagai persyaratan kerja karena dinilai merugikan para mantan narapidana yang hendak mencari pekerjaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kementerian HAM sudah bersurat kepada Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Listyo Sigit Prabowo perihal SKCK tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Surat ini tadi sudah dikirimkan ke Mabes Polri. Saya berharap surat ini mendapat respons positif dari Kapolri,” kata Dirjen Instrumen dan Penguatan HAM Kementerian HAM Nicholay Aprilindo, di Jakarta, Jumat, 21 Maret 2025.
Nicholay mengatakan, saat melakukan kunjungan ke sejumlah lapas dan rutan di Nusa Tenggara Timur, Jawa Barat, dan Daerah Khusus Jakarta, ia mendapati para residivis memilih untuk menetap di lapas dan rutan karena selepas menyelesaikan masa hukuman, mereka dihadapkan dengan kesulitan saat hendak melamar pekerjaan.
“Setiap mereka mencari pekerjaan terbebani dengan SKCK yang dipersyaratkan oleh perusahaan-perusahaan,” ujar Nicholay.
Kepala Biro Penerangan Polri Brigadir Jenderal Trunoyudo Wisnu Andiko mengatakan lembaganya tak berwenang menghapus kebijakan tentang pembuatan Surat Keterangan Catatan Kepolisian. Sebab, kata Truno, kebijakan itu merupakan salah satu bentuk pelayanan terhadap masyarakat yang dimandatkan oleh undang-undang kepada Polri.
“SKCK adalah salah satu fungsi dalam operasional untuk pelayanan kepada masyarakat,” kata Truno di Bareskrim Polri, Senin, 24 Maret 2025. "Semua masyarakat yang akan membuat SKCK akan kami layani."
Adapun kewenangan Polri mengeluarkan SKCK diatur dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-undang 2 tahun 2002 tentang Polri, yakni pada butir k, yang berbunyi: "mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat".
Sedangkan aturan teknisnya dimuat dalam Peraturan Polri Nomor 6 tahun 2023 tentang Penerbitan Surat Keterangan Catatan Kepolisian.
Perbedaan SKCK dan SKKB
SKCK merupakan dokumen rekam jejak tindak kriminal ataupun tindak pidana seseorang. Sebelumnya, para pencari kerja diminta membuat surat keterangan yang disebut SKKB atau Surat Keterangan Kelakuan Baik.
Apa beda SKKB dan SKCK? SKKB hanya bisa dikeluarkan oleh kepolisian untuk seseorang yang belum atau tidak pernah terlibat dalam tindak pidana. SKKB dikeluarkan oleh Polsek sesuai domisili pemohon.
Sedangkan SKCK dapat dimiliki setiap orang, termasuk mantan narapidana.
Kegunaan SKCK
Dikutip dari Antara, SKCK memiliki berbagai kegunaan dalam berbagai situasi, antara lain:
1. Melamar Pekerjaan: Banyak perusahaan, terutama instansi pemerintah atau perusahaan swasta besar, mensyaratkan SKCK sebagai dokumen pendukung dalam proses rekrutmen. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa calon pegawai tidak memiliki catatan kriminal yang dapat mengganggu reputasi atau operasional perusahaan.
2. Pengurusan Visa dan Keperluan Imigrasi: SKCK juga sering digunakan sebagai salah satu syarat pengajuan visa ke luar negeri, terutama untuk negara-negara yang mensyaratkan riwayat bersih dari tindak kriminal sebagai bagian dari proses permohonan visa.
3. Pencalonan sebagai Pejabat Publik: SKCK diperlukan bagi seseorang yang hendak mencalonkan diri sebagai pejabat publik, seperti anggota legislatif, kepala daerah, maupun posisi lain yang terkait dengan pelayanan publik.
4. Proses Adopsi Anak: Untuk memastikan bahwa calon orang tua angkat tidak memiliki catatan kriminal, pihak berwenang sering kali mensyaratkan SKCK sebagai bagian dari proses adopsi.
5. Pendidikan dan Beasiswa: Beberapa institusi pendidikan, baik dalam maupun luar negeri, mensyaratkan SKCK untuk memastikan bahwa calon mahasiswa atau penerima beasiswa memiliki catatan yang baik dan dapat diandalkan.
Pernah Diuji Materi di MK
Soal SKCK ini setidaknya pernah digugat ke Mahkamah Konstitusi sebanyak dua kali, namun keduanya terkait dengan Pemilu Legislatif dan Pilkada.
Pada 2017, dilakukan uji materi oleh Mahkamah Konstitusi atas permohonan Suta Widhya.
Alasannya mengajukan uji materi atas keharusan pencatuman SKCK sebagai syarat maju pilkada karena kepolisian dalam menerbitkan surat keterangan tersebut tidak melakukan penyelidikan lebih mendalam mengenai tercela atau tidaknya calon kepala daerah. MK kemudian memutuskan menolak gugatan tersebut.
Pada 2022, SKCK kembali jadi objek uji materi terkait pemilihan umum. MK mengabulkan gugatan bahwa terpidana yang telah menjalani hukuman dengan tuntutan sampai 5 tahun tetap bisa mengikuti pemilihan sebagai calon, sementara SKCK hanya terbatas sebagai formalitas.
Soal SKCK sebagai syarat untuk pencari kerja sejauh ini belum pernah diuji materi di MK.
Nandito Putra, Michelle Gabriela, Alfitria Nefi P berkontribusi dalam penulisan artikel ini.