Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Status quo di puri anjasmara

Sengketa tanah seluas 27 hektar di proyek real estate "puri anjasmara" oleh PT Puri Sakti co, semarang, berlanjut. kejaksaan agung memerintahkan status quo di lokasi tanah itu karena ada keganjilan.

6 Mei 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SENGKETA tanah seluas 27 hektar lebih di lokasi proyek real estate Puri Anjasmara, Semarang Barat, ternyata masih berbuntut. Setelah Ganang Ismail, putra Gubernur Jawa Tengah, Oktober silam, memenangkan sengketa itu melawan bekas mitra bisnisnya, Edhy Setiawan di Pengadilan Negeri Semarang, kini giliran pihak kejaksaan turun tangan. Senin pekan lalu, Kejaksaan Agung memerintahkan status quo di lokasi tanah sengketa itu. Pasalnya, pihak kejaksaan curiga terjadi pemalsuan data-data dalam SK Dirjen Agraria, 8 Mei 1987, yang memberikan HGB atas tanah seluas 27 hektar itu untuk perusahaarl Ganang, Puri Anjasmara (PT Puri Sakti Co., PSC). Pada SK itu disebutk m bahwa tiga orang pemilik tanah seluas 2,2 hektar lebih di lokasi itu. yakni Soeyono, Nyonya Ponirah, dan H. Chaeruman, telah melepaskan hak mereka kepada PSC. Padahal, menurut Direktur Penuntutan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum H. Soemarsongko Hadi, ketiga orang tadi belum pernah menjual tanah itu kepada PSC. Sebab itu, selain memberlakukan sttus quo, Kejaksaan Agung juga memerintahkan Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah untuk mengusut kasus pemalsuan itu. Pemalsuan? Semula Direktur Utama PS Dwi Setyo Wahyudi -- yang sehari-hari dipanggil Ganang -- bersengketa dengan rekan bisnisnya, Edhy Setiawan Wiroatmodjo, Direktur Utama PT Pondok Hijau Indah (PHI. Kedua pihak sama-sama merasa berhak atas tanah negara tersebut -- yang semula berstatus hak eigendom (beralaskan hak Barat). Pada 1982, menurut Edhy, tanah itu telah dibelinya dari para penggarap. Jual -beli itu disahkan lurah dan camat setempat. Setelah itu, katanya, tanah tersebut disertifikatkannya atas nama beberapa "orang-orang berpengaruh" di daerah itu -- Noto Soewito, Nyonya Ponirah, Suhardi Hadisurya, dan tiga orang lainnya. Di atas itu, kemudian ia berniat mendirikan perumahan mewah. Untuk mengurus izin lokasi proyek itu, Edhy minta bantuan Ganang. Ternyata, Juni 1984, Ganang dengan PSC yang justru memperoleh izin lokasi dan pembebasan tanah seluas 90 hektar -- termasuk tanah 27 hektar lebih tadi -- dari Gubernur Ismail. Pihak Agraria setempat pun menyusul membatalkan sertifikat tanah yang dipegang PHI. Sebaliknya, Ganang mengaku memperoleh tanah negara tersebut secara sah, dan sesuai dengan prosedur. Untuk tanah yang diklaim PHI, menurut putra kedua Gubernur Jawa Tengah Ismail itu, telah dibelinya dari bosnya Edhy. Bahkan ia telah membayar sejumlah ganti rugi kepada Noto dan lima orang pemilik lainnya. Sedangkan untuk tanah lainnya, dibeli PSC melalui panitia pembebasan tanah. Berdasarkan itu Ganang membangun perumahan Puri Anjasmara. Ternyata, Oktober lalu, pengadilan memenangkan Ganang. Sebab itu, sertifikat tanah yang dipegang PHI dinyatakan tak berkekuatan hukum. Selain itu, majelis hakim menghukum Edhy untuk membayar ganti rugi pencemaran nama baik Ganang sebesar Rp 30 juta (TEMPO, 5 November 1988). Memang putusan itu belum berkekuatan tetap, karena Edhy naik banding. Sementara itu, PSC terus membangun perumahan real estate di lokasi itu. Rupanya, diam-diam Soeyono, Nyonya Ponirah, dan Chaeruman melaporkan soal sertifikat tanah milik PSC tadi ke Kejaksaan Agung. Buntutnya, ya, perintahstatus quo itu. Ganang, yang mengaku belum menerima surat kejaksaan agung itu, menganggap perintah status quo tersebut tidak tepat. Sebab, katanya, ia sudah menginvestasikan modalnya dalam jumlah besar dan merekrut banyak tenaga kerja. "Dalam situasi seperti ini, apa bijaksana memerintahkan penghentian segala kegiatan hanya berdasarkan laporan sepihak itu, tanpa mengecek dulu?" katanya. Di persidangan perdata dulu, menurut Ganang, sebenarnya soal jual-beli tanah itu sudah selesai. Ketika itu Nyonya Ponirah mengatakan bahwa namanya hanya dipakai saja oleh Edhy. "Lha, sekarang kok dia masih mengaku bahwa tanah itu miliknya?" ujar Ganang. Sementara itu, Suyono, cucu Nyonya Ponirah, tetap menyatakan bahwa neneknya tak pernah menjual tanah miliknya itu kepada PSC. "Nenek hanya pernah menguasakan pengurusan izin pembangunannya kepada Edhy," kata Suyono. Sementara itu, Edhy hanya berkomentar pendek, "Yang penting, masalah SK perolehan tanah untuk PSC itu diusut dulu sampai tuntas." Adakah kemenangan Ponirah nanti berarti juga kemenangan Edhy?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus