Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Obituari

Padamnya satu mercu suar

Yap thiam hien meninggal dunia di RS santo agustinus (st. agustinusklinick), veurne. pembuluh darah di perut yap pecah. yap dikenal sebagai pendekar senior dalam bidang hukum dan pembelaan hak asasi.

6 Mei 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SALAH satu keinginan Yap Thiam Hien adalah meninggal pada saat berada di antara rekan-rekan seperjuangannya. Dan itu terkabul sudah. Pendekar senior dalam bidang hukum dan pembelaan hak asasi ini, Senin pekan silam, mengembuskan napas terakhirnya di Rumah Sakit Santo Agustinus (St. Augustinusklinick) di Veurne, 135 km sebelah barat Brussel, atau 335 km dari Amsterdam. Ia ke sana untuk menghadiri konperensi ke-5 International NGO's Forum on Indonesia (INGI). Dalam usia 76 tahun, Yap masih mampu menjaga semangatnya untuk selalu terlibat dalam keperluan pembelaan hak asasi. Makanya, ia datang ke pojok Eropa itu, walau kondisinya kurang mendukung. Doktor Vollon, ahli bedah yang menanganinya, menuturkan bahwa pembuluh darah di perut Yap pecah. Dalam diagnosanya bahkan perdarahan telah terjadi saat Yap masih di pesawat. Operasi lalu dilakukan untuk mengatasinya, transfusi darah disalurkan. Tuhan rupanya berkehendak lain. Jantung Yap melemah, lantas ia tidur tenang selamanya. Ketika itu ia dikelilingi, antara lain, Adnan Buyung Nasution, Ketua LBH Abdul Hakim Garuda Nusantara, Ketua Bina Program Bina Swadaya Marulak Sihombing S.Th., dan Arief Budiman. "Saya kehilangan seorang guru yang sekaligus juga seorang bapak dalam perjuangan," kata Buyung sembari tak menutupi perasaannya. Buyung dekat dengan Yap sejak 1966. Jenazah Yap tiba di tanah air Jumat petang pekan lalu, dan pagi Minggu dimakamkan di Tanah Kusir. Tampak menyambutnya di Bandara Soekarno-Hatta bekas Gubernur DKI Ali Sadikin, Hoegeng Iman Santosa, H. Princen, dan Mochtar Lubis, selain ada barisan mahasiswa FH Univesitas Kristen Indonesia dan FH Universitas Nasional Jakarta. Dalam pidato melepas jenazahnya Rabu pekan silam di Kapel St Agustinusklinick, Pendeta Th. Sumartana mengatakan, Yap selalu tak mundur untuk berada pada jalur perjuangannya, juga mencari jalan pemecahannya. "Kekukuhannya mengagumkan sekalian kami di sini," kata Th. Sumartana. Sikap Yap itu malah tidak kurang mendapatkan penghargaan dari Ketua Mahkamah Agung Ali Said. "Saya kehilangan pakar hukum yang konsisten," katanya. "Sejak dulu saya memanggil almarhum Oom Yap. Ia sebagai orang yang saya tuakan." Konsistensi Yap dalam hukum tampak misalnya ketika dia membela Dr. Soebandrio. Padahal, ucap bekas Kapolri Hoegeng pada TEMPO, "Pak Yap itu antikomunis." Keteguhannya pada prinsip ditebusnya dengan pelbagai risiko. Pada 1968 Yap disekap atas tuduhan terlibat G30S-PKI. Lalu 1974 kembali ia masuk bui karena dianggap terlibat peristiwa Malari. Tetapi John, panggilan akrabnya, seperti tak bergeming. "Laki-laki pantang meneteskan air mata," ucapnya suatu hari. Memang, beban eksistensinya itu tidak ringan. Minimal, menurut Arief Budiman, rekannya seiring dalam mendirikan LBH dan kini anggota Dewan Pembina di lembaga itu, yang pada 1960-an menulis: Yap adalah seorang penyandang tripel minoritas. Pertama, ia keturunan Cina. Kedua, ia Kristen. Ketiga, ia jujur dan bersih. "Satu minoritas saja sudah membuat dirinya kesepian. Dia tiga sekaligus," kata Arief. Suatu kali John bilang, berkelit demi kelanjutan perjuangan itu boleh. Itu diceritakan kembali oleh Adnan Buyung pekan silam di tempat penginapannya ketika mengikuti konperensi (INGI) di Nieuwpoort. Kejadiannya pada 1974, yakni ketika mereka sama-sama meringkuk dalam penjara, tapi Yap saat itu menjelang dibebaskan. Yap lalu berkata kepada Buyung "Yang kita hadapi adalah tembok. Meskipun orang akan menilai kita tidak konsekuen, apa tak lebih baik kita mengalah, supaya bisa cepat keluar. Dan nanti berjuang lagi. Ketika Buyung tetap bertahan, Yap memeluknya. Di mata Arief Budimim. Yap itu cenderung polos. Hitam putih. "Kadang-kadang saya melihat Pak Yap seperti karikatur dalam arti yang positif. "Bukan lucu, tetapi terlalu polos," katanya. "Dan yang mengesankan dari beliau ada dua hal: keberaniannya dan kejernihannya berpikir. Dia straight of the point." "Sebagai ahli hukum, kapasitasnya biasa saja, sebagai ahli hukum yang baik. Tetapi yang paling menonjol dari dia adalah sebagai tokoh moral. Ia selalu memberikan arah pada saat kita lupa. Pak Yap saya anggap sebuah mercu suar," tambah Arief. Jika kemudian John hidup berdisiplin dan lurus, itu terbawa dari akar keluarganya. John lahir di Banda Aceh, 25 Mei 1913. Ia anak sulung dari tiga bersaudara dan cucu kepala kolompok keturunan Cina, Kapten Yap Hun Han. "Engkong orangnya keras dan penuh disiplin," tutur John. Pendidikan dasarnya termasuk istimewa di zaman itu, yakni di Eurepe Lagere School (ELS) Banda Aceh. Tapi di situ pula John pertama kali merasa tak nyaman diperlakukan diskriminatif. Dalam pelajaran sejarah dan matematika ia selalu mendapatkan nilai 10. Tapi, kendati John kecil pandai berbahasa Belanda, ponten untuk dia tak pernah di atas 6. Setelah lulus MULO -- masih di tanah kelahirannya itu -- John melanjutkan ke AMS Jurusan Sastra Barat di Yogyakarta. Sebelum bekerja sebagai guru dan pencari langganan telepon, John telah menamatkan sekolah guru di Jakarta. Kemudian ia tertarik pada bidang hukum, dan masuk fakultas hukum yang baru didirikan di Jakarta. Karena pendudukan balatentara Nipon, pendidikan hukum itu lalu ia sambung di Leiden. Dan baginya, kemudian, bidang hukum bukan melulu sebagai profesi. "Sudah menjadi hobi," katanya. Pada 1950-1953 John bekerja sama dengan John Karwin -- yang bersama Mochtar Kusumaatmadja dan Komar membentuk sebuah kantor pengacara. Sesudah itu sampai 17 tahun ia bergabung dengan Tan Po Goan (bekas menteri dan anggota parlemen), Lie Hwee Yoe, dan Oei Tjoe Tat. Baru pada 1970 Yap berdiri sendiri. Dalam perjalanan karirnya dia menjadi anggota International Commission of Jurist. Pada 15 Mei 1981 ia menerima plaket Pengabdi Hukum Teladan dari Pusat Bantuan dan pengabdi Hukum Indonesia (Pusbadhi) yang diserahkan (almarhum) Adam Malik. Sedangkan LBH merupakan hasil prakarsanya bersama Adnan Buyung dan rekan-rekan seiring lainnya. Selama karirnya, Yap didukung Tan Gian Khing Nio. Istrinya ini dijulukinya sebagai "menteri dalam negeri" -- pengurus rumah tangga yang juga ikut mengasuh dua anak mereka.Mohamad Cholid, Agung Firmansyah (Jakarta), dan Hendrix P.(Brussel)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum