PARA narapidana (napi) bagai tak habis-habisnya dirundung malang. Beberapa napi yang hampir habis masa hukumannya, dan siap-siap berlebaran bersama keluarga dengan "fasilitas"' cuti menjelang bebas, kini boleh mengurut dada. Sebab, hak napi itu -- khususnya mereka yang dihukum karena subversi, korupsi, penyelundupan, perjudian, narkotik, atau perkara lain yang menimbulkan keresahan dan menarik perhatian masyarakat -- baru-baru ini dihapus Menteri Kehakiman Ismail Saleh. Dalam peraturan baru yang dikeluarkan Menteri Kehakiman 15 April lalu, sekaligus pula dihapus hak-hak napi untuk menjalani proses asimilasi (di luar penjara) dan pelepasan bersyarat. Kamis dua pekan lalu, Kepala Rumah Tahanan (Rutan) Salemba, Jakarta, Nurdin Nursin, mengumumkan peraturan baru itu kepada sekitar 6 orang tahanan dan napi penghuni Blok A dan Blok B di situ. "Supaya mereka mengetahui ketentuan itu sedini mungkin, sehingga sudah siap mental dan tidak merengek-rengek untuk memperoleh asimilasi," kata Nurdin. Sementara itu, Selasa pekan lalu Kepala Kanwil Kehakiman Sumatera Utara, Sof Larosa, memerintahkan para kepala lembaga pemasyarakatan (LP) dan rutan untuk tidak mengiinkan para napi berlebaran di luar LP. Untuk itu, "Di setiap LP dan rutan hendaknya diselenggarakan salat Ied, selain juga acara Lebaran napi dan keluarganya," kata Sof Larosa. Lahirnya peraturan baru itu, seperti diutarakan Nurdin, tak lain akibat banyaknya napi yang menyalahgunakan berbagai izin dalam proses menjelang kembalinya napi ke masyarakat, termasuk hak pelepasan bersyarat yang diberikan KUHP. Dengan kata lain, "Pemerintah terpaksa mengeluarkan peraturan itu karena ulah teman-teman saudara juga," ujar Nurdin kepada 623 tahanan dan 122 napi penghuni Rutan Salemba. Sikap "keras" Menteri Kehakiman itu hanyalah buntut dari hebohnya kasus asimilasi napi di LP Cipinang, Sudarmadji Santoso alias Gondes. Napi yang dihukum 8 tahun penjara karena merampok dan menodong itu, pada Januari silam, bersama dengan seorang oknum ABRI ditangkap gara-gara mencuri sepeda motor di bilangan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Polisi yang memeriksa kasus itu kaget karena Gondes ternyata berstatus narapidana yang sedang menjalani asimilasi. Ia baru saja menikmati hak asimilasi itu, sejak sebulan sebelumnya, setelah menjalani hukuman selama 3 tahun. Gondes, yang dianggap berperilaku baik selama di LP, diizinkan bekerja di PT Abadi Genteng Jatiwangi, dengan gaji Rp 100 ribu sebulan. Tapi Gondes rupanya "memanfaatkan" izin berada di luar sel untuk melakukan kejahatan. Perbuatannya itu tentu saja merepotkan petugas LP. "Kami sudah berbuat baik, malah disalahgunakan. Nanti kalau masuk LP lagi, dia tidak akan mendapat kelonggaran dan remisi," kata Pjs. Kepala LP Cipinang, Anwar Bachtiar (TEMPO, 11 Februari 1989). Sejak itu pula, semua proses asimilasi di LP Cipinang untuk sementara dihentikan. Akibatnya, napi-napi lain ikut menanggung "dosa" Gondes. Salah seorang di antaranya, bekas anggota FPP-DPR, Ruslan Kasmiri, yang dihukum 2 tahun 6 bulan penjara karena korupsi reboisasi. Ruslan, yang waktu itu baru bekerja tiga minggu di sebuah perusahaan valuta asing, diperintahkan masuk kembali. Tak hanya itu. Pada rapat kerja dengan Komisi III DPR, Februari silam, Menteri Kehakiman Ismail Saleh mengumumkan pencabutan izin asimilasi di seluruh Indonesia. Bahkan wewenang pemberian asimilasi, yang sebelumnya dipegang Kepala Kanwil Kehakiman, sejak saat itu ditarik ke tangan Menteri. Puncak dari itu semua, 15 April 1989, keluarlah peraturan yang memangkas izin asimilasi, pelepasan bersyarat, dan cuti menjelang bebas itu. "Tujuannya semata-mata untuk menjamin rasa keadilan masyarakat," ujar Anwar Bachtiar, yang mengawasi 1.606 napi di LP Cipinang. Akibat peraturan itu, sekitar 15% dari jumlah napi di LP Cipinang, yang saat itu sudah hampir selesai menjalani hukuman, tak akan memperoleh izin asimilasi. Begitu pula mereka yang mestinya sudah bisa memperoleh cuti menjelang bebas, dan berlebaran bersama keluarga, kini boleh gigit jari. Di antara mereka termasuk Ruslan Kasmiri, yang akan dibebaskan pada 9 Mei mendatang dan bekas pejabat Bea Cukai, Kusmayadi yang akan bebas Juli nanti setelah menjalani hukuman selama 2 tahun karena korupsi. "Bapak benar-benar kecewa dengan peraturan baru itu " ucap istri Ruslan, Nyonya Tatik. Peraturan baru itu dianggap pengacara senior Soekardjo Adidjojo tidak tepat jika dihubungkan dengan konsep pembinaan napi yang terbuka dan produktif -- konsep yang pernah dilontarkan Dirjen Pemasyarakatan, Prof. Baharuddin Lopa. "Peraturan itu lebih bersifat politis, ketimbang aspek hukumnya," kata Soekardjo, yang menjabat Ketua organisasi advokat, Ikadin. Menurut Soekardjo, sampai saat ini Indonesia belum ada undang-undang khusus tentang kepenjaraan, yang mengatur juga soal asimilasi. Sebab itu, ia menyarankan pemerintah tetap menggunakan peraturan perundangan produk Belanda, Gestichten Reglement (GR) 1917, yang mengatur hal itu. "Dalam GR, asimilasi ditentukan berdasarkan jumlah hukuman, bukan menurut jenis kasusnya," katanya. Direktur LBH Jakarta, Nyonyu Nursyahbani Katjasungkana, menganggap ketentuan itu bertentangan dengan KUHP, yang memberikan hak lepas bersyarat bagi napi yang telah menjalani 2/3 masa hukumannya. "Kalau napi itu terus berada di dalam LP, kapan pembinaan di luar LP," ujar Nursyahbani. Lagi pula, katanya, berbagai kasus penyalahgunaan izin asimilasi selama ini terjadi karena kelalaian aparat sendiri. Agaknya nasib para tahanan dan napi kini bagaikan jatuh ditimpa tangga. Berbagai haknya, yang selama ini ada, dipangkas satu per satu. Sebelum peraturan ini lahir, misalnya, Presiden telah lebih dulu mengeluarkan Keppres yang mengurangi hak residivis. Berdasar Keppres 7 Maret 1987, dihapuskan hak residivis, yang dipidana kurang dari 6 bulan, untuk mendapat remisi (pemotongan hukuman setiap 17 Agustus). Happy S., Muchsin L. Moebanoe M. (Jakarta), dan Irwan E. Siregar (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini