MIMI Lidyawati, 39 tahun, membuat sejarah sebagai orang pertama yang divonis karena menghina martabat pengadilan (contempt of court). Sabtu dua pekan lalu, wanita itu divonis 5 bulan penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang diketuai Wahono Baud. Mimi, menurut hakim, terbukti mencemarkan pengadilan karena nekat melemparkan sepatunya kepada hakim yang sedang bersidang. Perbuatan Mimi yang menghebohkan dunia peradilan itu, terjadi pada 8 Agustus 1987. Ketika itu Hakim Abdul Razak baru saja selesai membacakan vonisnya terhadap Nyonya Nani dalam perkara penggelapan. Mimi, saksi perkara itu, yang duduk di kursi pengunjung, tiba-tiba melayangkan sepatu hitam bertumit tinggi ke arah hakim. Abdul Razak bisa mengelak, tapi palu hakim di meja sidang terpental kena sepatu tersebut. Rupanya, Mimi tak puas atas vonis hakim, yang hanya menghukum Nani 10 bulan penjara. Padahal, Mimi, yang mengaku ditipu Nani Rp 76 juta, telah memberi suap Rp 2,5 juta kepada hakim itu agar Nani dihukum berat. "Hakim tidak adil. Hakim menipu saya. Hakim sudah makan uang saya," teriak Mimi histeris, waktu itu. Tindakan Mimi itu hanyalah puncak berbagai penghinaan pengadilan dalam beberapa tahun terakhir ini. Beberapa hakim, ketika itu, termasuk Hakim Pengadilan Negeri Surabaya, Mutojo, dituding telah menerima suap oleh pencari keadilan. Tak hanya penghinaan, bahkan kekerasan fisik beberapa kali dialami dan mengancam hakim. Di Lahat, misalnya, majelis hakim diserbu dan digebuki penduduk. Di Sulawesi Selatan kompleks perumahan hakim diserbu massa. Di Bogor seorang wanita merusakkan pengadilan karena tak puas atas vonis hakim. Persoalan penghinaan pengadilan itu, 1985, semakin menghangat karena berbagai insiden dalam perkara subversi Tanjungpriok dan pengeboman BCA. Dalam sidang subversi A.M. Fatwa, umpamanya, peradilan merasa tersinggung karena tim pengacara tiba-tiba meninggalkan sidang. Ketersinggungan itu meledak ketika pengacara beken Adnan Buyung Nasution menginterupsi hakim yang lagi membacakan vonisnya. Gara-gara berbagai kasus itu, pihak peradilan menginginkan lahirnya undang-undang tentang contempt of court (coc). Bahkan dalam penjelasan Undang-Undang tentang Mahkamah Agung 1985, atas usul Menteri Kehakiman, sudah dicantumkan perlunya undang-undang COC demi terjaganya martabat lembaga peradilan. Sebaliknya, banyak ahli hukum yang menganggap undang-undang COC, yang sangat dikenal di negara-negara Anglo Saxon, tak diperlukan karena KUHP telah mengatur sanksi hukum untuk semua tindakan tak patut di pengadilan. Kendati sampai kini undang-undang COC tak lahir, kejaksaan bisa menyeret Mimi ke pengadilan. Jaksa M. Noerdin menjaring Mimi dengan pasal penghinaan terhadap kekuasaan negara (207 KUHP). "Ia telah menghina lembaga peradilan, yang semestinya dihormati," ujar Jaka Noerdin (TEMPO, 19 November 1988). Majelis yang diketuai Wahono Baud ternyata sependapat dan memvonis wnita itu 5 bulan penjara. Selain itu, hakim juga memutuskan menyita sepatu Mimi untuk dimusnahkan, sementara palu hakim Abdul Razak yang terpental dulu itu dikembalikan ke pengadilan. Mimi, kendati tetap merasa tak bersalah, menerima putusan itu. "Mau naik banding juga percuma, bisa-bisa hukumannya malah diperberat. Pengaditan negeri ataupun pengadilan banding 'kan sama kacaunya," kata Mimi, yang berniat membuka kursus dansa itu. Akankah ia masuk penjara? Wanita yang mengaku belum pernah menikah dan mengangkat seorang anak usia 8 tahun itu, Senin pekan lalu, mengajukan permohonan penangguhan pelaksanaan hukumn, karena memohon grasi ke Presiden. "Perbuatan itu kan gara-gara Hakim Abdul Razak ingkar janji, sehingga tanpa sadar saya melemparkan sepatu," ujarnya. Mungkin masih lama lagi ia akan mendapat grasi dari Presiden. Tapi setidaknya vonis itu bisa memberikan petunjuk bahwa undang-undang khusus COC belum diperlukan. Sebab, dengan undang-undang yang ada toh kasus semacam itu sudah bisa diadili.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini