Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Sudah Tak Populer, Tak Pula Juara...

Kemampuan membaca isyarat tubuh sangat berperan dalam kehidupan akademik dan sosial anak. Akibat gangguan ini, anak mengalami depresi, waswas, dan marah.Belum ada cara mengatasinya.

25 November 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ORANGTUA mana yang tak cemas kalau melihat anaknya terlalu agresif. Mereka selalu bergerak ke sana kemari, tingkah lakunya meledak-ledak. Kalau bicara suaranya keras, bahkan nyaris berteriak. Akibatnya, anak tadi dijauhi teman-temannya. Dan tak disukai Pak dan Bu Guru. Bahkan prestasi belajarnya di bawah rata-rata. Para orangtua tanpa kecuali juga akan prihatin bila melihat anaknya pasif, pendiam, dan terkucil dari pergaulan. Kalau berbicara suaranya pelan, hampir seperti berbisik. Mereka praktis tak mendapat perhatian dari gurunya, dan nilai rapornya buruk. Kasus seperti ini memang kerap muncul pada anak-anak usia sekolah. Karena itu, jawaban terhadap problematik ini biasanya dihubungkan dengan perkembangan tingkat inteligensia anak. Artinya, prestasi belajar memiliki korelasi erat dengan IQ si anak. Begitu pula dalam kemampuan bergaul, yang juga dianggap seiring dengan kecerdasan si anak. Kini terbukti bahwa teori ini tak sepenuhnya benar. Sebuah studi yang dilakukan oleh Dr. Stephen Nowicki dan Carolyn Oxenford menyimpulkan, tingkat inteligensia tak melulu merupakan penyebab terkucilnya si anak dari lingkungannya atau prestasi belajarnya rendah. Ada hal lain yang selama ini luput dari perhatian, yaitu faktor kemampuan anak dalam menangkap pesan-pesan nonverbal. Soal kemampuan menangkap bahasa isyarat ini ternyata memainkan peranan penting dalam membentuk sikap dan tingkah laku anak-anak. Studi Nowicki dan Oxenford yang dibeberkan dalam The Journal of Genetic Psychology edisi 1989 ini didasari atas penelitian terhadap lebih dari 1.000 anak sekolah berusia 9-11 tahun di AS. Sejumlah tes diberikan kepada mereka untuk melihat kemampuannya dalam menangkap pesan-pesan nonverbal dalam berbagai bentuk. Si anak harus mengintepretasikan sekitar 40 gambar dari berbagai ekspresi wajah sedih, gembira, dan marah. Mereka juga disodori gambar-gambar yang memperlihatkan berbagai isyarat dan gerak-gerik bahasa tubuh lainnya. Ikut diperdengarkan pula bermacam-macam intonasi suara. Anak-anak tadi kemudian juga dites untuk memperlihatkan kemampuannya dalam mengekspresikan emosi dirinya sendiri. Mereka, misalnya, harus memperlihatkan kegembiraan pada saat naik kelas, atau ketakutan karena dimarahi orangtua. Dalam tes lainnya, mereka diminta membuat pesan-pesan nonverbal dengan hanya menggunakan tangan dan ekspresi wajah yang bervariasi. Dari hasil tes tadi, mereka yang memiliki skor rendah ternyata memang anak-anak yang tak populer di kelasnya alias tak disukai teman-temannya. Prestasi belajar mereka juga rendah, sekalipun tingkat inteligensianya di atas rata-rata. Ini membuktikan bahwa kemampuan untuk membaca isyarat tubuh sangat berperan dalam kehidupan akademik dan sosial si anak. Ternyata, mereka tak punya cara pendekatan yang baik untuk berteman. Mereka juga bereaksi sedemikian rupa atas perintah guru, yang tanpa disadari justru membawanya dalam kesulitan. "Mereka sendiri tak mengerti apa yang terjadi pada dirinya," kata Dr. Nowicki, psikolog dari Emory University di Atlanta, AS. "Mereka mengira sudah bersikap gembira, tapi yang muncul adalah tindakan yang meluap-luap, malah seperti marah. Celakanya, mereka salah duga tatkala teman-temannya berbalik marah kepadanya," tuturnya lagi. Bentuk lain yang juga mencerminkan ketidakmampuan seorang anak dalam menyampaikan atau menerima pesan-pesan nonverbal, yakni berbicara. Ini bisa diketahui dari suara yang terlalu keras atau terlalu pelan, atau jarak posisi tubuh dengan lawan bicara yang kelewat dekat atau terlalu jauh. Tentu saja lingkungannya akan menganggap hal itu sebagai suatu keanehan, hingga ujungu-jungnya ia dijauhi oleh teman-teman. Tampaknya, memang ada sejumlah anak yang tak menyadari bahwa pesan-pesan nonverbal yang disampaikannya itu tak berkenan buat lingkungannya. Sebaliknya, mereka juga tak mampu menginterpretasikan perasaan orang-orang di sekelilingnya. Padahal, kemampuan untuk menangkap atau menyampaikan pesan-pesan nonverbal merupakan bagian penting, dalam proses memantapkan posisi si anak di lingkungan sosialnya. Akibatnya memang memprihatinkan. "Mereka mengalami gangguan emosional, depresi, waswas, dan marah," ucap Dr. Nowicki. Tapi gangguan emosional tadi muncul bukan karena mereka datang dari latar belakang keluarga yang penuh konflik. Hal ini, menurut Dr. Nowicki, semata dampak dari ketidakmampuan membaca pesan-pesan nonverbal. Apabila soal kemampuan ini diperbaiki, tanda-tanda gangguan emosional tadi akan hilang dengan sendirinya. Penekanan studi pada anak usia 9-11 tahun ini juga bukan tanpa alasan. Tingkat usia ini merupakan tahap kritis dalam perkembangan psikologi anak untuk hidup bermasyarakat. Pada saat ini biasanya anak-anak mulai bergaul dengan intensitas berteman yang kental. Mereka mulai mempelajari pergaulan dengan berbagai pola keakraban. Jika pada tahap usia ini mereka tak mampu membaca pesan-pesan nonverbal, bisa berakibat lanjut pada kehidupan sosial mereka kelak. Di Indonesia, masalah ini bukan hal yang terlalu baru sebenarnya. Pada 1982, pakar pendidikan Indonesia, Satiah Titi Imam Sajono, dalam disertasi doktornya sudah membahas sedikit soal kemampuan anak, dalam berkomunikasi dengan orang lain. Studinya memang tak sekomprehensif yang dilakukan Nowicki. Tapi, dari penelitian yang dilakukan Satiah terhadap 120 siswa dari 8 SD di Jakarta, bisa diketahui bahwa anak-anak yang sulit belajar biasanya terhambat juga dalam proses sosialisasinya. Sebegitu jauh, ketidakmampuan dalam menangkap isyarat nonverbal ini memang bisa diatasi. Hanya saja, tak jelas, apakah melalui konsultasi dengan psikolog, guru, ataukah boleh dicoba dengan memanfaatkan lembaga-lembaga seperti Pramuka, misalnya. Ahmed K. Soeriawijaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus