Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ASMUDIN merapikan kemeja safari abu-abunya. Sejurus kemudian, ia membenahi rambut dan berewoknya dengan tangan. Lalu ia membetulkan posisi topinya yang miring. "Kalau sudah begini, tak kelihatan, ya, umur saya sudah 61 tahun," katanya kepada Tempo. Dan, hap, dia melompat ke atas truk yang membawanya ke Kantor Pertanahan Kabupaten Malang, Jawa Timur, sekitar 50 kilometer dari rumahnya.
Bersama sekitar 800 warga Desa Harjokuncaran, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang, Kamis 19 Juli lalu itu Asmudin berdemo di Kantor Pertanahan. Ia menjadi orang ketiga yang berpidato, menuntut Kantor Pertanahan segera menyelesaikan sengketa tanah di desanya.
Sama dengan orator sebelumnya, Asmudin menegaskan bahwa lahan 620 dari 666 hektare yang dikuasai Pusat Koperasi Angkatan Darat (Puskopad) Komando Daerah Militer V/Brawijaya yang disewakan ke Perkebunan Telogorejo Baru itu milik leluhur mereka.
Setiap kali Asmudin berteriak tanah itu milik mereka, rekan-rekannya menyambut dengan yel: "Betul, betul." Ada yang bertepuk tangan dengan bersemangat. "Saya orang Harjokuncaran asli, sudah tua. Kami punya sungai-sungai yang namanya diambil dari nama leluhur kami. Bukti tanah itu dulunya milik kami yang kemudian dirampas," katanya.
Enam perwakilan warga kemudian diterima Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Malang, Didik Warsono. Dalam pertemuan yang berlangsung sekitar satu jam itu, Didik memastikan dia siap membantu warga. Hanya, Didik menekankan, pihaknya tak bisa memutuskan lantaran masalah sengketa tanah Harjokuncaran itu merupakan kewenangan Badan Pertanahan Nasional Pusat di Jakarta. Dia minta warga menyiapkan data tanah dan surat permohonan, agar permintaan mereka bisa diurus.
Koordinator unjuk rasa, Fathurozi, menerima saran Didik. "Kami akan kembali ke sini untuk memenuhi saran mereka. Kami minta BPN tidak berpihak ke pihak yang kami lawan," ujarnya.
Sengketa warga Harjokuncaran dengan TNI sudah berlangsung sekitar 34 tahun. Konflik itu juga sudah memakan korban berkali-kali. Terakhir terjadi pada 7 Juli lalu, saat tiga peleton pasukan Batalion Zeni Tempur/Kepanjen Kodam Brawijaya mendatangi Desa Harjokuncaran dan menghajar ratusan warga.
Beberapa hari sebelumnya, warga yang tergabung dalam Paguyuban Kelompok Tani Desa Harjokuncaran memang mematoki tanah 662 hektare yang selama ini dikuasai TNI dan menyegel Kantor Pusat Koperasi Angkatan Darat Kodam V/Brawijaya. Kedatangan para prajurit untuk mencabuti patok tersebut. Warga melawan dengan batu dan kayu. Akibat bentrokan itu, delapan warga dan sejumlah prajurit luka-luka.
Setelah bentrokan, penduduk mengunci rumah rapat-rapat. Kabar akan ada Âsweeping yang menangkap warga yang terlibat bentrok merebak ke mana-mana. Beberapa hari kemudian Komandan Resor Militer 083/Baladhika Jaya, Kolonel Muhammad Nakir, mengadakan pertemuan dengan sejumlah perwakilan warga di sebuah restoran. Kepada tamunya, Nakir menjamin bakal menarik pasukan TNI dari sana. "Saya di sini bertugas mengamankan aset TNI. Jadi saya harap pengerahan massa seperti kemarin tidak terjadi lagi," kata Nakir.
Lahan yang menjadi sengketa tersebut awalnya bekas perkebunan karet C.O. Telogorejo milik Belanda. Begitu Belanda hengkang dari Indonesia, para petani menggarap lahan seluas sekitar 1.188 hektare itu. Pada 1964-1973, tanah yang digarap warga dan masuk wilayah Harjokuncaran dijadikan obyek land reform. Harjokuncaran resmi menjadi desa definitif pada 1974 lewat surat keputusan Gubernur Jawa Timur. Wilayahnya dinyatakan seluas 650 hektare yang diambil dari tanah perkebunan.
Persoalan terjadi saat Kodam Brawijaya mengklaim tanah yang selama ini digarap dan dihuni warga itu sebagai milik mereka. Dasar hukumnya Surat Keputusan Menteri Pertanian 2 Juni 1973, yang menyerahkan perkebunan Telogorejo kepada mereka. Menurut juru bicara Kodam, Letnan Kolonel Totok Sugiharto, Kodam juga sudah membayar uang ganti rugi ke negara untuk pengambilalihan tanah tersebut.
Warga menolak klaim tersebut. Mereka menunjuk dasar kepemilikan Kodam cacat hukum. Menurut Fathurozi, warga Harjokuncaran-lah pemilik sah lahan tersebut. Dia menunjuk Surat Keputusan Direktorat Jenderal Agraria 1 Desember 1981, yang menyatakan tanah sengketa itu obyek land reform dengan verponding (tanda hak milik zaman Belanda) yang seharusnya diberikan kepada warga di Desa Harjokuncaran. Desa ini memiliki empat dusun: Banaran, Wonosari, Margomulyo, dan Mulyosari.
Sejak itulah konflik TNI versus warga meletup berkali-kali. Menurut salah seorang sesepuh Desa Harjokuncaran, Rustinah, pada 1970 warga yang melawan langsung dicap PKI. "Jadi, banyak yang memilih diam," ujar pria yang umurnya hampir 100 tahun ini kepada Tempo. "Saya ingat, pada 1970-an, kami disuruh mengumpulkan surat tanah leter E untuk diganti sertifikat. Kami ditipu, ternyata kampung kami jadi perkebunan," ujarnya.
Sepanjang 1973-1979, tentara juga menggusur tiga dusun di desa itu, Banaran, Wonosari, dan Margomulyo. Warga kocar-kacir dan sebagian besar hijrah ke Mulyosari. Bentrokan itu juga berbuntut lenyapnya enam penduduk desa, termasuk Kepala Dusun Margomulyo, Sutikno. Penduduk yakin, mereka—hingga kini belum ditemukan— dilenyapkan karena menolak tanah mereka diambil. "Isu yang beredar, mereka hilang setelah di-glangsi (dimasukkan karung) lalu dibuang ke jurang yang memang banyak di sini," kata Kepala Dusun Mulyosari Edy Zamroni.
Lembaga Bantuan Hukum dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sudah masuk ke Harjokuncaran, mencoba menyelesaikan konflik yang berlarut-larut itu. Menurut anggota Komnas HAM Ridha Saleh, lembaganya sudah menyurati Panglima DaÂerah Militer Brawijaya, meminta penjelasan status tanah sengketa itu sekaligus meminta tidak ada kekerasan aparat di sana.
Karena itu, Ridha mengaku sangat kecewa saat mendengar terjadi penyerbuan yang dilakukan pasukan Zeni terhadap warga pada Juli lalu tersebut. "Kami kecewa, rekomendasi yang kami berikan tidak dihargai," katanya.
Abdi Purnomo, Fatkhurrohman Taufiq (Malang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo