Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Prof Dr Lukman Hakim,
KEPALA LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA
Kini knowledge menjadi fokus utama dalam menentukan daya saing bangsa. Dalam era ini, kreasi pengetahuan secara berlanjut dibutuhkan untuk menghasilkan inovasi yang berdaya saing. Karena itu, tampilnya tokoh-tokoh ilmuwan penemu Indonesia di berbagai disiplin keilmuan, di berbagai institusi penelitian, tentulah menggembirakan.
Untuk mengembangkan penelitian agar mampu menghasilkan karya-karya yang mendapat sambutan, kita perlu melihat bagaimana status institusi penelitian kita, mengacu pada perkembangan pesat institusi penelitian dunia. Setidaknya ada tiga aspek penting dalam proses menghasilkan peneliti, temuan-temuan baru, dan inovasi secara berkelanjutan: pembinaan profesi, pengembangan organisasi pembelajar, dan etika ilmiah. Bagi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, ini menjadi bagian dari dua tugas nasional untuk mengembangkan profesi peneliti menjadi profesi yang bermartabat. Pertama, tugas sebagai pembina fungsional peneliti. Kedua, menjadi institusi yang membimbing perkembangan ilmu pengetahuan dan menetapkan pedoman etika keilmuan.
Agar penelitian bisa menjadi jalur profesi, perlu ditetapkan kriteria penilaian yang meliputi "code of conduct", etika dan standar profesi, serta sistem pengembangan karier. Prinsip-prinsip ini juga bertujuan menjamin kualitas peneliti.
Pada hakikatnya, aturan-aturan profesi tersebut dibuat dan dirumuskan oleh komunitas peneliti sendiri. Ini salah satu prinsip penting dalam suatu profesi.
Pembenahan sumber daya peneliti dari tingkat paling awal sangat menentukan wibawa peneliti dan membebaskan unit-unit penelitian dari stigma "litbang" alias sulit berkembang. Pembenahan perlu dilakukan terus-menerus, dengan sinergi dari instansi/unit penelitian hingga panitia penilai nasional.
Rekrutmen, pembinaan karier, pencapaian jenjang profesor riset, sistem penghargaan, dan keakraban dalam penelitian merupakan faktor utama yang mempengaruhi peningkatan produktivitas peneliti. Perlu dicatat, sistem insentif peneliti yang kita perjuangkan hingga saat ini belum terealisasi. Akibatnya, insentif peneliti masih menjadi faktor disinsentif bagi upaya merekrut calon-calon peneliti andal.
Bila diamati, para penemu umumnya bekerja di lembaga penelitian dan pengembangan serta universitas yang menjalankan proses akuisisi berupa internalisasi-eksternalisasi ilmu pengetahuan. Proses ini merupakan inti dari "knowledge management", yang hanya terjadi jika ada sharing antarindividu di dalam organisasi. Organisasi yang melakukan proses ini disebut organisasi pembelajar (learning organization).
Hakikat belajar di universitas ataupun di lembaga riset pada dasarnya sama. Titik berat kegiatan course work di ruang-ruang kelas tidak akan paripurna tanpa adanya research work. Pada course work, materi dalam proses belajar-mengajar adalah sesuatu yang sudah diketahui. Sedangkan dalam research work, peneliti mencari sesuatu yang belum diketahui (unknown).
Institusi litbang, dengan demikian, harus terus mengeksplorasi dan membangun kemampuan untuk membekali calon peneliti dengan peranti-peranti pembelajaran. Terutama perlu dikembangkan pengajaran bagi orang dewasa agar dapat mengatasi hambatan belajar yang mencakup kesiapan learning, relearÂning, dan unlearning.
Selanjutnya, etika ilmiah. Ini, misalnya, berkaitan dengan yang sering terjadi di lembaga penelitian dan perguruan tinggi. Tapi sebenarnya masalah etika ilmiah bukan hanya plagiarisme, masih banyak yang lain, termasuk praktek jual-beli gelar, yang tak kalah sering menjadi wacana publik. Diungkapkannya hal ini menunjukkan adanya keprihatinan publik. Namun tidak kurang yang menjadi skeptis bahkan masa bodoh karena menganggap ini hanya menjadi masalah pihak yang terlibat.
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional pernah memasang iklan mengenai praktek jual-beli gelar dari tingkatan sarjana sampai doktor, bahkan profesor, di beberapa lembaga pendidikan dan meminta masyarakat mewaspadainya. Tapi tanggapan masyarakat ataupun penegak hukum terasa dingin. Polisi hanya mengatakan, selama tidak ada pengaduan dari masyarakat yang dirugikan atas praktek jual-beli gelar, mereka tidak bisa melakukan tindakan apa pun.
Pelanggaran etika ilmiah ini sudah sering ditemukan dan diperbincangkan sendiri oleh kalangan ilmuwan. Ada dua persÂpektif yang bisa dipakai untuk meneropong masalah ini, yakni moralitas dan hukum. Dari perspektif moral, yang mengacu pada ketentuan agama dan budaya, sangat jelas pelanggaran adalah kejahatan. Masalahnya, sebagaimana dikemukakan dalam contoh kasus di muka, hal ini sering tidak serta-merta menjadi pelanggaran hukum. Dalam kaitan itulah etika yang terdokumentasi (kode etik dan lain-lain), yang disepakati oleh komunitas suatu profesi, dapat diharapkan berdiri sebagai benteng.
Kode etik merupakan bentuk self regulation, regulasi yang selama ini didominasi negara kecenderungannya beralih kepada non-state actors—beralih ke masyarakat. Dalam konteks ini, etika ilmiah perlu dikelola komunitas ilmiah sendiri dengan membentuk suatu komite etika yang menjadi semacam garda nilai-nilai etika keilmuan (guardian of values). Komite ini diharapkan berperan memberi saran kepada pemerintah dalam hal etika keilmuan.
Tentu saja komite etika dapat merumuskan berbagai bentuk self regulation tadi, baik berupa code of conduct, guiding princiÂples, norm, values, sertifikasi, maupun yang berkaitan dengan kegiatan di bidang keilmuan secara luas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo