Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Rekaman Mengunci Hartati

Siti Hartati Murdaya ditetapkan sebagai tersangka karena diduga menyuap Bupati Buol Amran Batalipu. Rekaman percakapannya dengan sang Bupati membuat Hartati sulit berkelit.

12 Agustus 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERITA acara hasil pemeriksaan itu tinggal diteken Siti Hartati Tjakra Murdaya alias Chow Li Ing. Terdiri atas sepuluh halaman, berkas itu merangkum jawaban Hartati terhadap dua puluh pertanyaan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi. Kepada dua penyidik yang memeriksanya di lantai delapan gedung KPK, ia meminta waktu membaca lebih dulu berkas itu. Setelah membacanya beberapa kali, pemilik Berca Group ini meminta pena dan beberapa lembar kertas kosong.

Dengan tulisan tangan di kertas itu, Hartati memperbaiki beberapa keterangannya. Ia tak sreg dengan isi berkas yang diketik penyidik. Setelah diperbaiki, baru berkas itu diteken Hartati. Butuh 12 jam penyidik memeriksanya sebagai saksi kasus dugaan suap Rp 3 miliar kepada Bupati Buol, Sulawesi Tengah, Amran Batalipu. Cerita pemeriksaan pada 30 Juli lalu itu diungkapkan Hartati kepada Tempo, Selasa pekan lalu. "Pertanyaan paling seram itu soal rekaman," katanya.

Rekaman yang dimaksudkan Hartati berisi percakapannya dengan Amran pada 20 Juni lalu. Menurut sumber Tempo, rekaman itu berisi komunikasi Hartati dan Amran tentang pemberian duit Rp 3 miliar untuk mengurus izin hak guna usaha lahan perkebunan sawit PT Hardaya Inti Plantations. Perusahaan ini anak usaha PT Cipta Cakra Murdaya, yang bernaung di bawah Berca Group. Dengan bukti itu, KPK menengarai ia mengetahui dan berperan dalam pemberian suap kepada Amran (Tempo edisi 23-29 Juli 2012).

Sepekan setelah pemeriksaan itu, Rabu pekan lalu, komisi antikorupsi mengumumkan Hartati sebagai tersangka. Presiden Direktur PT Hardaya Inti Plantations ini diduga kuat sebagai penyuap Bupati Buol. Menurut Ketua KPK Abraham Samad, pemberian uang itu untuk memuluskan izin hak guna usaha perkebunan sawit PT Hardaya di Kecamatan Bungkal, Buol. "KPK sudah menemukan dua alat bukti yang cukup untuk menetapkannya sebagai tersangka," ujarnya.

Menurut Abraham, uang Rp 3 miliar diberikan dua tahap. Pemberian pertama sebesar Rp 1 miliar diterima Amran di rumahnya di Jalan Syarif Mansyur, Kelurahan Leok, Buol, pada 18 Juni lalu. Tumpukan uang pecahan Rp 100 ribu itu dimasukkan ke tas yang dibawa Yani Anshori, General Manager PT Hardaya. Penyerahan kedua sebanyak Rp 2 miliar terjadi pada 26 Juni lalu. Uang diantar Yani dan tiga rekannya ke Amran di Vila Asahan di Leok, Buol. Vila itu milik Bupati.

Dua kali transaksi itu terpantau Komisi Pemberantasan Korupsi. Pada penyerahan pertama, delapan petugas Komisi telah siaga menggerebek. Sayangnya, menurut sumber Tempo, operasi dibatalkan karena penyerahan uang tak jelas benar. Nah, pada penyerahan kedua, lima penyidik KPK berhasil menggerebek keduanya ketika bertran­saksi. Yani bisa dicokok, tapi Amran kabur karena penyidik dihalang-halangi anak buahnya yang berjaga di sekitar vila dengan bersenjata pisau dan pedang.

Pagi itu, petugas Komisi hanya menahan Yani. Tiga rekannya, Gondo Sudjono, Sukirno, dan Dedi Setiawan, yang ikut mengantar uang, kabur setelah melihat penyidik KPK menggelandang Yani. Sehari kemudian, ketiganya ditangkap di pengambilan bagasi Bandar Udara Soekarno-Hatta. Karena tak cukup bukti, KPK hanya menahan Gondo, Direktur Operasional PT Hardaya. Sukirno dan Dedi belakangan dilepas.

Amran baru disergap di rumahnya di Jalan Ahmad Yani, Buol, pada 6 Juli lalu. Dibantu belasan anggota Gegana dari Markas Brigade Mobil Kelapa Dua, Depok, petugas Komisi menangkap Amran tanpa perlawanan. Amran, yang sebelumnya sudah ditetapkan sebagai tersangka, hari itu juga dibawa ke Jakarta. Politikus Golkar itu dikurung di rumah tahanan gedung KPK. Sama dengan Amran, Yani ditahan di rumah tahanan KPK. Untuk Gondo, Komisi menitipkannya di rumah tahanan Kepolisian Daerah Metro Jaya.

Setelah memeriksa para tersangka dan pegawai PT Hardaya, penyidik KPK mulai mengantongi petunjuk keterlibatan Hartati. Menurut sumber Tempo, Yani dan Gondo mengaku mengantar suap karena disuruh Totok Lestiyo, Direktur PT Hardaya. Totok adalah tangan kanan Hartati yang sudah 30 tahun bekerja dengan pengusaha yang juga bekas anggota Majelis Perwakilan Rakyat itu. Dari Totok, penyidik mendapat informasi suap itu diberikan atas perintah Hartati.

Keterlibatan Hartati mulai terang setelah Amran mengakui rekaman percakapan itu. Menurut sumber Tempo, ada beberapa kali percakapan yang diperdengarkan kepada Amran. Ia menyebutkan, misalnya, percakapan Amran dan Hartati setelah uang tahap pertama diterima dari Yani sebesar Rp 1 miliar. Menurut sumber itu, Amran menelepon Hartati untuk mengucapkan terima kasih atas penyerahan "bingkisan" tersebut.

Selanjutnya, masih menurut sumber yang sama, Hartati menguasai pembicaraan. Perempuan 66 tahun yang juga anggota Dewan Pembina Partai Demokrat itu menawarkan tambahan uang Rp 2 miliar. Tapi ia mengajukan syarat: Amran juga memberikan izin hak guna usaha untuk lahan 70 hektare sawit yang izin lokasinya sudah dikantongi perusahaannya.

Pengacara Amran, Amat Y. Entedaim, mengatakan kliennya tak membantah percakapan dengan Hartati. Tapi, kata dia, dalam percakapan itu kliennyalah yang ditawari dana pemilihan kepala daerah Buol oleh Hartati. Di samping soal percakapan, menurut Amat, Amran membeberkan pertemuan dengan Hartati di Arena Pekan Raya Jakarta pada Januari lalu. Peneliti Lembaga Survei Indonesia, Saiful Mujani, ikut hadir. "Dalam pertemuan itulah Bu Hartati menawarkan bantuan," katanya.

Peran Hartati terkunci setelah pada pemeriksaan kedua, 30 Juli lalu, ia mengakui rekaman itu. Hartati diperiksa perdana pada 27 Juli lalu. Kendati kepada penyidik ia mengatakan percakapannya dengan Amran cuma main-main, menurut seorang petinggi KPK, isi rekaman itu tak bisa lagi dibantah. Dengan pengakuan ini, ditambah pengakuan anak buah Hartati plus Amran, sulit bagi Hartati untuk bisa berkelit lagi. Dua hari setelah gelar perkara terakhir, ia pun ditetapkan sebagai tersangka keempat dalam kasus ini.

Hartati sendiri mengaku diperas Amran. Ia mengatakan isi percakapan itu buktinya. Karena Amran menelepon Totok untuk meminta uang kepadanya sebagai dana buat ikut pemilihan kepala daerah, Hartati mengaku menyiapkan skenario. Karena permintaan uangnya Rp 3 miliar, ia menyiapkan tiga paket barter yang susah dipe­nuhi Amran (lihat "Saya Cuma Main-main"). "Duit Rp 3 miliar itu tak pernah dikirim ke Amran," katanya.

Hartati menghormati keputusan Komisi menetapkannya sebagai tersangka. Tuduhan itu, kata dia, masih bersifat dugaan dan harus dibuktikan di pengadilan. "Itu sebenarnya fitnah," ujarnya. Ia juga sudah jauh-jauh hari menyiapkan sejumlah pengacara agar lolos dari tuduhan tersebut.

Selain menjerat Hartati, Komisi tengah membidik dugaan suap Artalyta Suryani kepada Amran. Ayin melalui PT Sonokeling Buana, perusahaan anaknya, Rommy Darma Satiyawan, diduga juga memberi dana untuk memuluskan izin hak guna usaha perusahaan sawitnya. Pada 23 Juli lalu, karena tengah berobat di Singapura, Ayin diperiksa KPK di Kedutaan Besar Indonesia di negeri jiran itu. Teuku Nasrullah, pengacara Ayin, buru-buru membantah tudingan sumir itu. "Suap untuk apa? Kenal saja tidak dengan Bupati Buol," katanya.

Cerita kasus suap ini, untuk sementara, berujung di Hartati. Kendati saat ini Hartati tak ditahan, Abraham memastikan, jika diperlukan penyidik atau berkasnya sudah lengkap, Hartati akan ditahan. Partai Demokrat langsung menonaktifkan Hartati sebagai anggota dewan pembina partai itu setelah ia menjadi tersangka.

Ketika berkunjung ke kantor Tempo, sehari sebelum menjadi tersangka, Hartati sempat mengungkapkan curhat-nya terhadap sejumlah pemberitaan media yang memastikan ia bakal jadi tersangka. Membaca berita seperti itu, Hartati keki setengah mati. "Saya sampai tak bisa tidur dua hari," ujarnya mengungkapkan kegalauannya.

Anton Aprianto, Tri Suharman, Fransisco Rosarians

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus