Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI gedung serbaguna tempat orang biasanya menyelenggarakan pesta perkawinan, Mahmud terbaring lemah. Beberapa balutan menutupi luka bekas tembakan di kepala, dada, dan kakinya. Senin pekan lalu, Mahmud, 21 tahun, bersama 11 rekannya diberondong puluhan peluru dari senapan tentara pendukung rezim Presiden Bashar al-Assad. Sepuluh rekannya tewas dalam penembakan itu. Beruntung, ia selamat. "Tentara menembaki kami membabi-buta," kata Mahmud, yang masih kesulitan berbicara.
Ia tertangkap serdadu pemerintah saat akan mengambil gaji dari sebuah pabrik benang. Karena memasuki lokasi bentrokan, Mahmud bersama rekannya diduga tentara bagian dari pemberontak. Militer pun langsung menembaki mereka.
Kota Khaldiyeh, sebuah kota lingkungan kelas pekerja di sisi barat laut Aleppo, menjadi salah satu lokasi pertempuran terbesar tentara pemerintah melawan pemberontak. Puluhan kantor polisi menjadi sasaran penyerangan pemberontak. Bentrokan di Aleppo telah menewaskan 37 orang, di antaranya 27 warga sipil. Bentrokan juga pecah di Distrik Salaheddin, barat daya Aleppo. Penembak jitu menyebar di atap-atap bangunan dan tembakan artileri terdengar hampir di sudut kota. Seorang komandan pemberontak tewas pada Senin pekan lalu.
Puing-puing bekas pertempuran berserakan di jalan. Asap hitam melingkupi sebagian Kota Aleppo. Warga memilih meninggalkan rumah dengan semua barang yang bisa mereka bawa untuk berlindung ke tempat yang aman. Seorang pria tua membawa sebuah koper dan tas penuh makanan. Ia berencana tinggal sementara di rumah putrinya. "Pemimpin macam apa melakukan ini untuk rakyatnya sendiri?" kata pria itu, menyesalkan tindakan Assad.
Terusir dari Damaskus, selama tiga pekan terakhir, pemberontak berusaha menguasai Aleppo. Mereka mengklaim telah menguasai separuh kota. Aleppo menjadi kota yang teramat penting sekarang. Kota berpenduduk 2,5 juta orang itu adalah kota bisnis terbesar, dihuni orang-orang Sunni yang patuh kepada rezim. Mereka mendapat jaminan untuk keberlangsungan bisnis di Suriah. Konsekuensinya, kalau rezim Assad hancur, bisnis mereka ikut hancur.
Sejak Sabtu dua pekan lalu, surat kabar propemerintah, Al-Watan,menyatakan militer pemerintah akan menggempur Aleppo. Assad telah menyiapkan bala bantuan 20 ribu serdadu lengkap dengan persenjataan berat, seperti ratusan tank, mortir, dan para penembak jitu. "Mereka mengirim pasukan bantuan ke Aleppo karena menganggap, jika Aleppo jatuh, rezim akan jatuh," kata seorang pengungsi Suriah di Turki, Abu Ahmad.
Untuk menyerang lokasi pemberontak yang sulit dijangkau, seperti Shaar dan Sakhur di utara Aleppo, pemerintah mengirim jet tempur. "Jet tempur hampir setiap hari berpatroli seperti burung di langit," kata aktivis lokal Mohammad Saeed.
Seorang pejabat keamanan senior Suriah memperkirakan perang berlangsung lebih dari beberapa pekan. "Serangan ini baru permulaan karena tentara berambisi menyingkirkan pemberontak dari Aleppo," ujar sumber itu. Apalagi, kata dia, pemerintah mulai khawatir para pemberontak akan membuka koridor khusus Aleppo dengan perbatasan Turki, yang hanya berjarak 40 kilometer. Koridor ini bisa digunakan pemberontak untuk suplai bantuan asing dan persenjataan.
Presiden Assad menegaskan akan habis-habisan menghancurkan kelompok pemberontak. Menurut dia, kunci perdamaian di Suriah hanya dengan membasmi pemberontak, yang disebutnya sebagai teroris. "Suriah bertekad membersihkan negara dari teroris dan tak akan istirahat melawannya," katanya dikutip dari kantor berita ÂSANA setelah bertemu dengan utusan khusus Iran, Saeed Jalili. Ini pertama kalinya Assad tampil di depan publik setelah pengeboman yang menewaskan tiga menterinya.
SANA menuding mulai masuknya kekuatan asing mendukung pemberontak. Salah satunya milisi dari Turki dan beberapa negara Teluk. Selama ini Turki terang-terangan memberikan dukungan kepada oposisi. Bahkan negara itu memberikan tempat di Istanbul sebagai markas oposisi.
Militer pemerintah semakin ganas. Al-Watan menyatakan 8.000 orang telah menjadi korban sejak Maret tahun lalu. Sedangkan oposisi mengklaim korban mencapai 19 ribu orang. Ada dugaan Assad mulai frustrasi setelah ditinggalkan orang dekatnya. Senin pekan lalu, Perdana Menteri Suriah Riyad Hijab membelot. Hijab, seorang Sunni, menyesal telah masuk pemerintahan Assad, yang menjadi otak rezim pembunuh. Ia menyatakan bergabung dengan oposisi untuk memperjuangkan revolusi kebebasan. Namun pemerintah Suriah menyatakan Hijab telah dipecat.
Hijab adalah perdana menteri yang ditunjuk Assad pada Juni lalu, sebulan setelah pemilihan parlemen yang diboikot oposisi. Penunjukan Hijab saat itu diharapkan bisa menarik simpati dari oposisi, yang mayoritas Sunni. Assad adalah penganut Alawit, salah satu aliran dari Syiah. Assad meneruskan jejak ayahnya, Hafez Assad, yang memimpin Partai Baath Suriah. Hijab mendapat tugas menyusun kabinet. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, suara Hijab tak pernah didengar. Dia memutuskan berpindah haluan.
Hijab keluar dari Suriah melalui perbatasan Suriah-Yordania. Ia dikabarkan segera menuju Doha, Qatar, salah satu negara Teluk yang gencar meminta Assad mundur. George Sabra, juru bicara oposisi Dewan Nasional Suriah, mengatakan Hijab melarikan diri dari Suriah pada Senin malam pekan lalu dan tiba bersama keluarganya di Yordania. Namun juru bicara pemerintah Yordania, Samih Maaytah, membantahnya.
Langkah Hijab ini menyusul deretan pejabat Suriah yang lebih dulu bergabung dengan pemberontak. Tiga perwira intelijen meninggalkan rezim Assad dan mencari perlindungan ke negara tetangga, Yordania. Mereka adalah Kolonel Yarab al-Shara dan saudaranya, Mohammed al-Shara Kanaan, yang berasal dari klan Sunni muslim, serta Wakil Presiden Faruq al-Shara. Media Turki juga menyebutkan Jenderal Muhammad Ahmed Faris, seorang astronaut Suriah yang pertama pergi ke luar angkasa, mengungsi ke Turki.
Pada Juli lalu, salah seorang diplomat senior Suriah, Nawaf al-Harga, membelot. Dia adalah Duta Besar Suriah untuk Irak. Al-Harga sempat menyerukan adanya intervensi asing dalam menyelesaikan masalah Suriah. Manaf Tlas, jenderal Sunni di Pasukan Garda Republik, juga membelot pada bulan yang sama. Tlas adalah putra mantan menteri pertahanan dan sepupu seorang perwira kepercayaan Al-Assad. Keduanya juga berasal dari klan Sunni.
Dukungan mengalir dari negara Barat. Sejumlah politikus Amerika Serikat telah mendesak Presiden Barack Obama mengambil peran dengan mengirim pasukan dan bantuan persenjataan. Alasannya, dengan posisi diam dan aktif sama-sama rugi. Namun Obama belum memutuskan sikapnya. Amerika baru sebatas memberikan bantuan kemanusiaan kepada pengungsi sebesar US$ 74 juta dan bantuan komunikasi US$ 25 juta. Sedangkan bantuan untuk oposisi tidak dibatasi pemerintah Amerika. Inggris juga telah siap menyalurkan US$ 15,6 juta.
Amerika meyakini kejatuhan rezim Assad sudah dekat. "Indikasi Assad telah kehilangan kendali atas Suriah dan momentum bagi oposisi," kata juru bicara Gedung Putih, Tommy Vietor.
Raja Yordania Abdullah II mengatakan ada kemungkinan Assad telah menyiapkan skenario terburuk. Jika nanti terjepit, dia mundur ke benteng Alawit di pegunungan timur laut Suriah. "Saya yakin, jika gagal memimpin Suriah, dia akan bersembunyi ke kantong Alawit sebagai rencana kedua," katanya dalam wawancara dengan televisi Amerika Serikat, CBS.
Menurut Abdullah, ada skenario lain yang juga mengerikan: Assad menggunakan senjata kimia. Bulan lalu pemerintah Suriah mengakui memiliki senjata kimia, tapi berjanji tidak menggunakannya untuk menyerang sipil. "Senjata kimia itu sangat menakutkan," katanya. Penggunaan senjata itu bisa menjadi ruang masuknya kekuatan asing ke Suriah. Ia meyakini Assad akan tetap menggunakan kekerasan. Namun, Abdullah melanjutkan, kekerasan sebenarnya bukan gaya Assad, melainkan sistem pemerintah yang berjalan sejak dulu. Kondisi ini bisa memperburuk di perbatasan. Rencananya, Yordania akan berdiskusi dengan Israel dan Libanon mengatasi arus pengungsi dari Suriah.
Eko Ari Wibowo (CNN, Al-Jaazera, Washington Post, Daily Star)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo