Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Tak Menikmati, Masuk Bui

13 Oktober 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JABATAN mereka mentereng. Dari sekretaris sampai direktur utama. Tapi skandal penilapan uang BNI telah mengantar mereka menjadi terpidana. Ada yang mengaku mendapat jabatan itu hanya dengan ditunjuk saja, ada juga lewat surat pengangkatan. Yang pasti, ganjaran hukuman mereka lebih berat ketimbang para perwira polisi yang ikut menikmati uang dari kasus BNI ini. Siapa mereka?

Jane Iriani Lumowa, 43 tahun Direktur PT Sagared

SERBA salah menjadi seorang seperti Jane Iriani Lumowa. Marien Pauline, kakaknya, meminjam namanya untuk dijadikan sebagai Direktur PT Sagared. Jane melihat sebagai permintaan wajar, karena sang kakak sering berada di luar negeri. Jadilah secara formal Jane seorang direktur.

Dia mengaku tak pernah memberikan keputusan penting untuk perusahaan. Ke kantor saja hampir tak pernah. ”Gaji saja saya tak pernah terima,” kata ibu dua anak ini. Malah utusan Sagared yang beberapa kali datang ke rumahnya untuk urusan Sagared. Mereka datang untuk urusan meneken cek. ”Yang saya ingat, paling besar Rp 600 juta,” katanya saat diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Begitu perkara penilapan dana BNI meledak dan PT Sagared disebut menerima aliran duit, Jane pun jadi terpidana. Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memvonisnya bersalah. Dia diganjar hukuman delapan tahun penjara. Jane jelas terkejut. ”Kalau saya khilaf, kenapa dihukum seberat itu?” katanya.

Sudah tiga tahun Jane meringkuk di Rumah Tahanan Wanita Pondok Bambu, Jakarta. Jane kini membantu klinik penjara bersama Dokter Titik Pristiwanti, terpidana BNI lainnya. Jane tak dendam pada kakaknya. ”Bagaimanapun, dia kakak saya. Saya berpikiran positif, bahwa semua yang ditempuhnya untuk memajukan perusahaan,” ujarnya kepada Tempo, yang menjenguknya beberapa waktu lalu.

Titik Pristiwanti, 47 tahun Direktur Utama PT Bhinekatama Pacific

DI klinik rumah tahanan wanita Pondok Bambu, Titik Pristiwanti mengusir suntuk. Dia memang seorang dokter. Hanya ia bukan dokter resmi di penjara itu. Lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang ini adalah terpidana kasus pembobolan uang BNI.

Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memvonis Titik bersalah. Ibu dua anak itu diganjar hukuman delapan tahun penjara. Di tingkat banding hukumannya bertambah menjadi 13 tahun penjara. Lalu Mahkamah Agung menguatkan putusan banding itu pada Maret tahun lalu. ”Pertimbangan hakim sangat aneh, hukuman saya harus sama dengan pria,” katanya.

Kasus yang membelitnya itu karena jabatannya sebagai direktur utama di PT Bhinekatama Pacific. Menurut pengakuannya, dia diangkat oleh Maria Pauline Lumowa—pemilik perusahaan—menjadi direktur pada 2003. Semu-la dia hanya karyawan PT Sagared Team, Kupang, pada 1996.

Sejak berada di posisi penting itu, Titik menjalankan perintah Maria mengoperasikan rekening perusahaan yang sudah disiapkan. ”Semuanya sudah disiapkan, saya cuma disuruh teken-teken saja,” katanya. Belakangan, dia sadar ada dana US$ 20 juta dan 4 juta euro yang singgah di rekening Bhinekatama. Selanjutnya dana ini mengalir ke rekening Maria Pauline. Proses uang mampir inilah yang mengirim Titik ke penjara.

Anti Soenaryo, 33 tahun Sekretaris PT Brocolin Internasional

HIDUP dalam penjara tentu bukanlah impian Marhaeni Atmandiyah, yang akrab disapa Anti Soenaryo. Tapi itulah kenyataan hidupnya kini. Sebelum masuk penjara, jebolan Fakultas Ekonomi Universitas Tujuh Belas Agustus Semarang pada 1991 ini adalah sekretaris di PT Brocolin. Dia bertanggung jawab atas administrasi keuangan, terutama administrasi bank di perusahaan itu.

Sebagai sekretaris, tentulah dia tak menolak ketika bosnya, Dicky Iskandar Dinata, menyuruhnya mengurus rekening bank, termasuk mengirimkan uang ke rekening lain. Pekerjaan inilah yang membuatnya terjerembap ke balik jeruji besi. Dia dinilai bersalah karena membantu mengirimkan uang ke sejumlah rekening.

Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjatuhkan hukuman empat tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider satu bulan kurungan, Juni lalu. ”Saya hanya karyawan, dari mana saya tahu soal-soal semacam itu?” katanya waktu itu. ”Ngawur, seperak aja aku nggak terima duitnya, kok disuruh mbayar.” Tapi alasan itu tak membantunya lolos dari hukuman.

Nurlis E. Meuko, Arif A. Kuswardono, Poernomo G. Ridho, Indra Darmawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus