MARSINAH memang belum lama aktif di organisasi buruh Serikat Pekerja Seluruh Indonesia di unit kerja PT Catur Putra Surya (CPS). Dan sikap serta pengorbanan gadis berusia 23 tahun yang pantang menyerah ini kemudian mengantarkan dirinya sebagai nominasi penerima Yap Thiam Hien Human Right Award. Penghargaan untuk pejuang hak asasi dari Yayasan Pusat Studi Hak Asasi Manusia, Jakarta, ini diberikan pada 10 Desember nanti juga memunculkan nominasi, antara lain, Adnan Buyung Nasution, Lembaga Bantuan Hukum Irian Jaya, dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia. Tahun lalu, yang menerima penghargaan ini adalah H.J.C. Princen, Johny Simanjuntak, dan H. Muhidin Hs. yang dinilai sepanjang tahun 1992 memperjuangkan hak asasi manusia. Marsinah, yang penuh rasa setia kawan ini, sejak dari kampungnya di Desa Nglundo, Kecamatan Sukomoro, Nganjuk, sudah ditempa lingkungannya. Saat ia berusia dua tahun, ibunya meninggal. Setelah ayahnya menikah lagi, ia diangkat anak oleh Suraji, pamannya. Di rumah petani bawang yang miskin itulah ia tumbuh matang. Masa kecilnya lebih banyak dihabiskan membantu bibinya di dapur. Ia anak kedua dari tiga bersaudara. Kakak perempuannya kini menjadi guru SD di Nganjuk, sedangkan adik laki-lakinya menjadi buruh pabrik di Gresik. Sejak di desanya, bakat mandiri Marsinah sudah muncul. Sepulang sekolah di SD Karangasem 189, Gondang, Nganjuk, ia berjualan makanan kecil. Siangnya, ia mengirim makanan kepada Suraji di sawah. ''Kalau kepanasan atau kehujanan, anak itu biasanya memakai payung pelepah daun pisang,'' kata Suraji. Membaca adalah kegemaran Marsinah. Koran yang memuat berita politik dilahapnya ludes. Hobi membaca ini, antara lain, sering membuatnya jadi juara kelas. Di ijazah SLA-nya, pelajaran Bahasa Indonesia, Sejarah, dan Sejarah Perjuangan Bangsa mendapat nilai tujuh, delapan, dan tujuh. Sekali-sekali, ia suka menonton televisi di rumah tetangganya. Selesai belajar di SMA Muhammadiyah, Nganjuk, tahun 1989, gadis manis ini tidak melanjutkan cita-cita memasuki IKIP karena tidak ada biaya. Marsinah lalu melamar kerja di pabrik sepatu Bata, di Surabaya. Anak berkulit cokelat ini meyakinkan pamannya bahwa kepergiannya itu untuk menambah wawasan sambil mencari modal usaha. Setahun bekerja di pabrik Bata, pada tahun 1990 Marsinah pindah kerja ke pabrik arloji PT Empat Putra Surya di Rungkut, Surabaya. Karena tidak kerasan, ia kemudian dipindahkan ke cabang pabrik ini di PT CPS, Porong, Sidoarjo. ''Sebelum pindah, Marsinah bertengkar mulut dengan salah seorang mandor pabrik,'' kata Partilah, teman sekerjanya. Di pabrik Porong, Marsinah ditempatkan di bagian operator mesin bagian injeksi. Upah Marsinah di PT CPS Rp 1.700 sehari dan tunjangan tetap (jika karyawan hadir) Rp 550. Untuk menambah penghasilan, ia mengkreditkan daster, seprai, dompet, dan barang lain di tempat kerjanya. ''Pada saat penataran P4, Mbak Marsinah jualan bahan penataran P4 dan buku tulis kepada kami,'' kata seorang temannya. Marsinah adalah profil seorang buruh yang gigih. Ia berangkat kerja dari rumah indekosnya, sekitar 6 km dari pabrik, di pagi hari. Sekitar pukul 15.00, ia pulang. Kamar indekos yang berukuran 3 m x 3 m itu ditempatinya bersama dua temannya. Uang sewanya Rp 5.000 per bulan. Di situ hanya ada sebuah tempat tidur besar dan sebuah lemari. ''Marsinah tidak pernah telat membayar sewa,'' kata Nyonya Nyoman Sukaryana, sang ibu kos. Di situ ia memasak sendiri. Dan begitu selesai masak dan berbenah, biasanya, Marsinah pergi ke rumah kawan-kawannya untuk menawarkan dagangannya. Selain itu, seminggu dua kali, ia mengikuti kursus komputer program word processor dan lotus di Dian Institute. Ia lulus. Belakangan, ia juga ikut kursus bahasa Inggris, tapi belum sempat rampung. ''Pengetahuan itu akan mengubah nasib seseorang,'' kata Marsinah. Gadis yang berperawakan agak pendek ini berperangai sederhana. Ia tidak mengenal make-up. ''Ia mengaku belum punya pacar. Ia juga tidak pernah didatangi tamu pria,'' kata Nyonya Nyoman. Padahal, setahu Nyonya Nyoman, Marsinah ramah dan pintar bergaul kendati tidak suka boros bicara. Marsinah, yang berpembawaan kalem itu, sebenarnya berkemauan keras. Ia tidak punya rasa takut. Sebulan sekali, misalnya, biarpun tengah malam, jika rasa kangennya hendak pulang ke kampung halaman muncul, dia berangkat ke Nganjuk. Jika ada yang mengingatkan agar berhati-hati dan jangan naik kendaraan yang berpenumpang laki-laki, Marsinah hanya menjawab, ''Jangan terlalu khawatir.'' Keberaniannya itulah yang membuat Marsinah tak hengkang oleh halauan satpam pabrik PT CPS saat ia memimpin aksi memperjuangkan hak-hak kaum buruh, 4 Mei lalu. Di tempat baru itu, ia juga bergelut memperjuangkan nasib buruh. Cewek berbintang Aries yang berkacamata ini seorang aktivis dan konseptor pemogokan. Tuntutannya berhasil. Hanya, perjuangan ini harus dibayar dengan nyawanya sendiri. Marsinah, yang di lingkungannya baik di tempat indekos maupun di kampungnya tidak merasa punya musuh selama ini, pada 9 Mei lalu ditemukan tewas mengenaskan di Dusun Jegong, Wilangan, Nganjuk. Kematiannya bahkan mengenaskan. Mayatnya ditemukan dalam posisi duduk di sebuah gubuk. Sebelum dibunuh, ia diduga dibantai di tempat lain. Hasil otopsi di Rumah Sakit Umum Daerah Nganjuk menunjukkan, korban meninggal sehari sebelum mayatnya ditemukan. ''Ia tewas karena tusukan benda runcing,'' kata sumber di rumah sakit itu. Perutnya luka sedalam 20 cm. Dagunya memar, lengan dan pahanya lecet. Selain itu, selaput daranya robek, dan tulang kelamin bagian depannya hancur. Sekitar dua liter darahnya keluar. ''Aneh, kerjanya di Sidoarjo, mati kok di Jegong,'' kata Sini, ibu angkatnya, kepada Widjajanto dari TEMPO. Banyak pihak menduga kematian Marsinah adalah setelah aksinya di pabrik PT CPS. Itulah yang membuat LBH Jakarta ikut menggelindingkan pernyataan agar pengusutan kasus Marsinah dituntaskan. Bahkan, 27 lembaga swadaya masyarakat (LSM) membentuk Komite Solidaritas untuk Marsinah (KSUM). Mereka tidak henti membuat poster, menabur bunga di kubur Marsinah, dan mengadakan tahlilan. Widi Yarmanto dan Toriq Hadad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini