Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MUTIARI lenyap delapan belas hari tanpa jelas rimbanya. Kini, ibu berusia 26 tahun yang sedang hamil muda itu sudah ketahuan ditahan di Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Timur. Kepala Personalia PT Catur Putra Surya (CPS) di Sidoarjo itu diciduk, konon, oleh orang-orang yang tidak dikenal dan agaknya memang bukan dari kepolisian (TEMPO, 16 Oktober 1993).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah di tangan Polda, bukan berarti Mutiari bakal dikenai tahanan luar. Berdasarkan surat perpanjangan penahanan dari Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, Nomor 118/P5.4/Ep.1/10/1993, sejak Kamis lalu alumnus Fakultas Hukum Universitas Airlangga ini harus menginap lagi di rumah tahanan, sampai 30 November nanti. Mutiari memang tidak sendiri. Ada delapan staf dan bos pabrik komponen jam tangan berbagai merek itu yang diciduk pada 1 Oktober lalu itu. Mereka adalah Ayib (kepala bagian produksi), Bambang (pengawas umum), dan satpam Agus dan Sugianto tapi sorenya Agus dan Sugianto dilepas lagi. Tersangka Suprapto (bagian kontrol) dan Yudi Susanto (direktur kantor pusat PT Empat Putra Surya di Rungkut) diciduk dari rumahnya. Mereka diangkut dengan Kijang, Panther, Carry, dan dua jip.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mutiari baru ketahuan ditahan polisi berdasar surat penahanan yang ditandatangani Kepala Direktorat Reserse Polda Jawa Timur, Kolonel Engkesman R. Hillep, pada 2 Oktober 1993. Surat penangkapannya bertanggal 30 September 1993. Surat penahanannya diteken Mutiari setelah dua pekan ia ditangkap.
Dalam surat penahanan itu disebutkan kesalahan Mutiari. Ia diduga melakukan tindak pidana penculikan, penganiayaan, pembunuhan, ikut serta membantu, dan mengetahui adanya rencana pembunuhan. Selain itu, ia juga dituduh melindungi orang yang telah melakukan kejahatan. Tindak kriminal yang dimaksud yaitu membunuh aktivis buruh Marsinah di tempat kerja Mutiari di PT CPS Sidoarjo.
Di pabrik yang mempekerjakan sekitar 500 buruh itu separuh lebih buruh wanita pada 3 Mei silam ada aksi dari 18 buruh yang mencegah teman-temannya bekerja. Komando Rayon Militer (Koramil) setempat kemudian mengamankan mereka. ''Kalian menghalangi niat baik seseorang untuk bekerja. Itu sabotase. Itu kan cara PKI,'' kata seorang oknum Koramil kepada buruh tadi. Aksi tersebut bisa diatasi.
Besoknya, para buruh itu mogok total. Ada 12 poin tuntutan mereka. Antara lain, perusahaan menaikkan upah pokok dari Rp 1.700 per hari menjadi Rp 2.250. Tunjangan tetap Rp 550 per hari mereka perjuangkan dan bisa diterima, termasuk oleh buruh yang absen. Marsinah bersikeras mengegolkan tuntutan tersebut. Ia berniat bertemu dengan pengusaha, tapi dicegah petugas. ''Kami menuntut hak, mengapa aparat melarang kami masuk,'' katanya.
Marsinah akhirnya dibolehkan bertemu Yudi Astono, direktur pabrik. Sebelum ia dan kawan-kawannya diterima, Yudi memerintahkan para buruh bekerja seperti biasa. Dengan cerkas Marsinah memotong perintah itu, ''Nggak usah. Nggak usah. Sekarang yang bekerja Pak Yudi saja. Mereka tidak usah bekerja hari ini.'' Tuntutan lain, setelah pemogokan ini, si pengusaha dimintanya tidak memutasi, mengintimidasi, dan memecat karyawan.
Tapi tuntutan itu tidak digubris. Pada 5 Mei, tanpa Marsinah, 13 buruh yang dianggap menghasut unjuk rasa digiring ke Komando Distrik Militer (Kodim) Sidoarjo. Mereka disuruh mundur dari PT CPS. Alasannya, mereka mengadakan rapat gelap, dan mencegat karyawan masuk kerja. Tapi, menurut oknum Kodim itu, para pembangkang akan diberi memo untuk mencari kerja di perusahaan lain di Sidoarjo jika mau mengundurkan diri.
Para buruh minta waktu sehari untuk berunding. Tapi pihak Kodim bersikeras, ''Harus diselesaikan sekarang. Titik.'' Sekitar pukul 18.00, hari itu, 13 buruh tadi menerima pesangon di kantor Kodim. Hadir dalam penyerahan uang pesangon itu Yudi Astono, Mutiari, Widayat, dan Rianto ketua unit kerja Serikat Pekerja Seluruh Indonesia di PT CPS. ''Kami merasa berat melepas kalian, tapi gimana lagi. Ini kehendak Kodim,'' kata Yudi waktu itu, seperti cuci tangan.
Juga, pada 5 Mei, sekitar pukul 20.00, Marsinah datang ke pabrik menemui satpam Suwono untuk menyerahkan sebuah surat kepada direktur pabrik. Suprapto, di bagian kontrol, juga menerima surat itu, untuk diteruskan kepada kepala bagian administrasi pabrik. Surat dari Marsinah itu, antara lain, mempertanyakan kesepakatan penyelesaian aksi mogok yang berakhir dengan pemaksaan pengunduran diri terhadap 13 rekannya di kantor Kodim Sidoarjo.
Setelah itu, sekitar pukul 22.00, Marsinah lenyap. Empat hari kemudian, 9 Mei, mayatnya ditemukan di Nganjuk sekitar 200 km dari tempat kerjanya. Kematian itu menghebohkan. Dugaan pun muncul: Marsinah tewas akibat memperjuangkan tuntutan di pabrik. Ia dibunuh karena kelewat vokal di pihak buruh (lihat Tak Mundur Digertak). Maka, Komite Solidaritas untuk Marsinah (KSUM) yang terdiri dari 27 lembaga swadaya masyarakat (LSM) membangunkan aparat agar kasus ini diungkapkan.
Kemudian Dewan Kesenian Surabaya (DKS), KSUM, dan Yayasan Seni Rupa Komunitas menyelenggarakan seni instalasi karya seniman Moeljono, pertengahan Agustus lalu. Pertunjukan karya seni tiga dimensi yang menyimbulkan nasib tragis Marsinah itu dilarang polisi, dengan alasan: belum punya izin. ''Ini masalah aturan main saja,'' kata Letnan Kolonel Badril Rizal, Kapolresta Surabaya Selatan, waktu itu. Jadi, bukan masalah politis.
Tapi seniman Surabaya kecewa. ''Selama ini, acara-acara seni di DKS tanpa tetek-bengek begitu, tidak perlu pakai izin,'' kata Aribowo, ketua presidium DKS. ''Kalau pentas seni saja dilarang, apalagi membicarakan kematian Marsinah,'' kata Hadi Ciptono, juru bicara KSUM.
Walau lama belum terungkap sebab kematian Marsinah, bukan berarti polisi berpangku tangan. Tercatat sudah 142 orang yang dimintai keterangan. ''Polisi masih mengusut sebab kematian korban,'' kata Kepala Dinas Penerangan Polda Jawa Timur, Letnan Kolonel Ahmad Rifai, kepada Moebanoe Moera dari TEMPO.
Sumber polisi di Nganjuk, ketika melakukan pemeriksaan awal, telah menduga Marsinah dibunuh atas suruhan pihak pabrik PT CPS. Dan ketika polisi melakukan pemeriksaan agak terarah, ada indikasi pelakunya adalah Widayat kepala bagian sentral listrik atau pengawas umum PT CPS. Ia gelagapan ketika ditanya tentang mobil Suzuki Carry milik perusahaan, yang diduga dipakai mengangkut mayat Marsinah.
Menurut pengakuan Widayat, mobil itu diamankan oleh perusahaan di rumah temannya. Hanya saja, kecurigaan polisi itu menjadi lemah karena berdasar tes laboratorium darah yang melekat di mobil tadi, ternyata, bukan darah Marsinah. Itu tetesan darah karyawan PT CPS yang kecelakaan tempo hari, lalu diangkut dengan mobil perusahaan itu.
Tersangka Suwono, satpam di pabrik itu, membantah terlibat. Pensiunan angkatan laut itu pernah bilang kepada tetangganya begini: ''Buat apa perusahaan yang memiliki kekayaan miliaran itu membunuh buruh kecil seperti Marsinah. Kalau Marsinah saingan yang membahayakan perusahaan, mungkin pantasnya.''
Tapi, begitu ditanya apa betul Suwono mengolok-olok para buruh setelah kematian Marsinah, ia diam saja. Waktu itu, kata seorang saksi, Suwono bilang, ''Rasain kamu. Sekarang Marsinah sudah mampus.'' Ucapan yang dilontarkan itu terasa aneh, sebab sebelum ini tidak ada staf dan buruh di PT CPS mendengar kabar kematian Marsinah.
Akan hal tersangka Mutiari yang sudah sering diperiksa oleh polisi Nganjuk, diduga menulis sejumlah surat kaleng yang menyesatkan seolah-olah ia mengetahui keberadaan Marsinah pada 5-8 Mei. ''Tapi, dua orang yang paling dicurigai adalah satpam Suwono dan Widayat,'' kata sumber polisi di Nganjuk. Di samping itu, muncul pula kecurigaan bahwa kasus ini melibatkan oknum aparat keamanan setempat, entah dari Koramil atau Kodim. ''Logikanya, kalau perusahaan berani berbuat sejauh itu, yaitu membunuh Marsinah, pasti ada yang siap mem-back-up mereka,'' kata sebuah sumber.
Menurut pihak KSUM, keterlibatan aparat Kodim cukup dominan. Buktinya, dalam menangani adanya mogok itu, seorang buruh yang dianggap ikut menggerakkan aksi diintimidasi. ''Kalau berbelit- belit, ini yang bicara,'' kata seorang oknum Kodim sambil mengepalkan tangan. Malah seorang buruh wanita yang dianggap menjengkelkan saat diperiksa juga digertak, ''Seandainya kamu laki-laki, sudah saya bunuh.''
Hingga pekan lalu memang belum ada aparat Kodim yang dimintai keterangan. Yang ada, pihak Kodim Sidoarjo diminta membuat laporan berita acara tentang pemogokan di PT CPS dan pembunuhan Marsinah. Setelah pengusutan kasus ini berjalan empat bulan tanpa jelas hasilnya, kemudian muncullah ''gerakan'' pada pagi 1 Oktober itu.
Sejumlah orang berpakaian preman dan berambut pendek, yang menggenggam handy talky (HT), menggerebek para tersangka tadi. Penangkapan model siluman itulah yang membuat keluarga tersangka bingung. Mereka mencari ke Polda maupun ke Kodam, namun mendapat jawaban serupa: ''Tidak tahu.'' Baru setelah 18 hari tersangka ditahan, keluarganya lega karena mereka sudah jelas berada di tangan polisi. Cara penangkapan itu sebenarnya juga sudah menyalahi KUHAP. ''Yang diterapkan bukan kekuasaan hukum, tapi hukum kekuasaan,'' kata J.E. Sahetapy, guru besar hukum pidana dari Universitas Airlangga, Surabaya.
Maka, tak heran kini polisi akan dipraperadilankan oleh tersangka. ''Kalau memang mereka bukan tersangka, silakan saya dipraperadilankan. Biasanya ganti rugi, ya?'' kata Mayor Jenderal Emon Rivai Arganata, Kapolda Jawa Timur, ketika menghadapi ''keroyokan'' pers seusai salat Jumat di aula Polda Jawa Timur, pekan lalu. Emon mengaku aparatnya sedikit terselip dalam memberitahukan surat penahanan. Maklum, di-pabaliyut-kan (disemrawutkan) oleh kasus pembantaian empat penduduk di Sampang, Madura. Tapi ia menampik menjelaskan keterlibatan tersangka yang ditahan itu. ''Mudah-mudahan kita berdoa semua, tersangkanya betul, lalu divonis. Kan gitu. Jadi, kasus Marsinah bisa jelas,'' katanya. Lalu, sebelum ditahan di Polda, para tersangka disimpan di mana dan oleh siapa? ''Itu biarlah kapan-kapan Pak Rifai (Kadispen Polda Jawa Timur) yang menjelaskannya,'' kata Emon mengelak.
Rupanya, setelah 18 hari para tersangka itu dikurung, muncullah versi terbaru dari pemeriksa. Begini: gara-gara Marsinah menyampaikan suratnya kepada direktur pabrik, pihak pengusaha mengadakan rapat, 5 Mei sekitar pukul 20.00. Dalam surat itu, konon, Marsinah punya truf soal kegiatan pabrik yang ilegal. Kegiatan apa, tak jelas. Yang pasti, menurut sumber ini, dalam rapat yang dipimpin Yudi Astono, direktur PT CPS Sidoarjo itu memerintahkan, ''Bunuh saja Marsinah.'' Atas dasar perintah tadi, Suprapto menjemput Marsinah dengan motornya di dekat rumah kos Marsinah. Ia dibawa ke pabrik. Dari pabrik itulah, Marsinah diangkut dengan Suzuki Carry putih yang dikemudikan Suwono ke rumah Yudi Susanto di Jalan Puspita, Surabaya.
Menurut pemeriksa tadi, setelah tiga hari Marsinah disekap, baru dieksekusi Suwono. Makanya, barang bukti berupa kursi yang dipakai Marsinah selama penyekapan diangkut polisi dari rumah Yudi Susanto. Dan Yudi dituduh mengetahui pembunuhan Marsinah. Tapi, pria berusia 42 tahun ini, mengaku pada pemeriksanya terlibat melenyapkan Marsinah. Konon ia disetrum, dan disuruh menjilati lantai kamar yang kotor. ''Yudi diperiksa dalam kondisi tertekan sehingga membenarkan semua tuduhan,'' kata sumber TEMPO. ''Padahal, tidak benar Yudi Susanto otak pembunuhan Marsinah,'' kata Peiter Talaway, pengacaranya.
Ketika Marsinah dibunuh, Yudi berada di kantornya dari pukul 08.00 sampai 24.00. Tuduhan ada praktek ilegal di pabrik Rungkut maupun di Sidoarjo, menurut Peiter, itu hanya alasan yang dicari-cari. Peiter menduga penangkapan atas kliennya itu bukan sekadar kriminalitas biasa. ''Ada kaitannya dengan soal politis, yaitu dampak kedatangan Tim GSP dari Amerika Serikat,'' katanya. Kalau murni kriminalitas, pasti polisi menangkapnya sesuai dengan prosedur hukum. ''Tidak misterius seperti ini,'' kata pengacara dari Surabaya itu.
Delegasi United States Trade Representative (USTR) dari AS ke Surabaya pada 24 September lalu, selain dalam urusan GSP (Generalized System of Preferences), yaitu keringanan bea masuk ke AS untuk sejumlah komoditi tertentu, juga menyempatkan bertanya tentang soal kasus Marsinah. Kepada Gubernur Jawa Timur Basofi Sudirman, delegasi yang dipimpin Joseph Damond itu menyatakan prihatin atas penanganan kasus kematian Marsinah yang sudah terlalu lama. Sementara itu, tentang penahanan terhadap tersangka yang sewenang-wenang, Pieter belum berniat mempraperadilankan polisi. ''Saya pikir-pikir dulu untung ruginya,'' katanya kepada Widjajanto dari TEMPO.
Kamis lalu, ia masih dibolehkan menjenguk kliennya. Keluarga tersangka juga boleh ikut. Pertemuan sekitar tiga menit itu mengharukan. Hari Sarwono juga memperoleh kesempatan menjenguk Mutiari. Ia melihat istrinya itu agak kurus, pucat, dan kotor. ''Kedua matanya cekung,'' katanya. Selain itu, Mutiari seperti linglung. ''Kapan aku dikeluarkan,'' keluhnya. Stres kini mengimpit dirinya. Yang pasti mempraperadilankan polisi adalah pengacara Mutiari, Taufik Risyah Hermawan, Ketua Tim Lembaga Bantuan Hukum Yayasan Persada Indonesia Surabaya. Permohonan gugatan diserahkan ke Pengadilan Negeri Surabaya, Jumat siang pekan lalu. Bersamaan dengan pengajuan gugatan itu, ayah Mutiari, Sumali, diminta datang ke Polda. Ada apa? Ternyata Mutiari menginginkan permohonan praperadilan itu dicabut. Tekanan dari siapa lagi, atau ada yang mengaturnya? Sumali angkat tangan. Ia tidak bermaksud mencampuri soal tersebut. Sebab, soal itu sudah diserahkannya kepada Hari Sarwono, sang menantu.
Menghadapi jalan buntu itu, petugas yang mengawal Mutiari mendesak, ''Meski Mutiari tanggung jawab suami, masa Bapak diam saja jika putri Bapak dijerumuskan ke dalam sumur.'' Sumali diam saja.
Ternyata Hari Sarwono bersikukuh. Alumnus Fakultas Hukum Universitas Airlangga ini meneruskan permohonan praperadilan yang menimpa istrinya. ''Saya harus memperjuangkan upaya ini,'' katanya.
Widi Yarmanto dan Zed Abidien (Surabaya)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo