Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Ketika tersangka dijemput begitu saja

Cara petugas tidak dikenal menangguk calon tersangka dalam kasus pembunuhan marsinah mengundang komentar keras di kalangan praktisi hukum. kalau cara penculikan dibenarkan, negara ini mau jadi apa?

30 Oktober 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEPERCIK urusan yang menjadi satu soal lain lagi di tengah gulita terbunuhnya Marsinah. Yaitu, cara petugas ''yang tidak dikenal'' datang menangguk mereka yang dicurigai sebagai tersangka. Sejak awal Oktober silam staf dan pimpinan PT Catur Putra Surya (CPS) dijemput begitu saja oleh orang tanpa seragam. Selebihnya, menurut urutan kejadian, tak ada surat perintah penahanan. Khusus bagi Mutiari, kepala bagian personalia PT CPS, soal pulang agak larut sudah biasa. Akibat tewasnya Marsinah, ia telat pulang karena memenuhi panggilan polisi di Nganjuk. Menurut suaminya, Hari Sarwono, S.H., setelah beberapa kali diinterogasi istrinya tak menunjukkan gelagat gawat. Jadi, ketika sehari sang istri tak pulang, Hari kontan kalang kabut. Ia lalu ke rumah Ayib, tapi orang ini juga raib. Seminggu kehilangan istri, Hari mengadu ke kepolisian sektor Porong, Sidoarjo. Lima hari ia menunggu tanpa kabar yang jelas. Kemudian ia ke Polda Jawa Timur, sambil membawa beberapa potong pakaian istrinya. Dapat jawaban istrinya bukan di situ, Hari bergegas ke kantor Komando Daerah Militer Brawijaya dan Bakorstanasda Jawa Timur. Hasilnya, nihil. Maka, didampingi kuasa hukumnya, Taufik Risyah Hermawan, ia mengadu ke DPRD Jawa Timur, 18 Oktober lampau. ''Anggota Dewan menjanjikan akan membahas kasus penangkapan istri saya,'' kata Hari kepada TEMPO. Dan ketika akhirnya suatu malam ia menerima surat penangkapan dan penahanan untuk Mutiari dari Polda Jawa Timur, Hari tetap gundah. Yang mengganjal baginya bersama kuasa hukumnya, pemberitahuan itu muncul setelah istrinya ditahan 19 hari. Kasus kematian Marsinah pun beranak kasus baru, dan komentar juga riuh dari kalangan praktisi hukum. ''Bagi saya itu adalah penculikan. Polisi menculik karyawan,'' komentar Abdul Hakim Garuda Nusantara. Menurut bekas Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia yang baru tiga bulan menjadi Direktur Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat di Jakarta itu, seluruh proses kejadiannya melanggar ketentuan Hukum Acara Pidana. Karena seluruh prosedur hukum sudah dilanggar, pemeriksaan terhadap yang bersangkutan menjadi tidak sah dan tidak bisa dipertanggungjawabkan. ''Jadi, bukan hanya pemeriksaan yang 19 hari itu yang tidak sah, tapi juga yang berikutnya,'' kata Abdul Hakim kepada Diah Purnomowati dari TEMPO. Bagaimana kalau setelah penahanan baru surat itu dibuat? ''Nggak bisa. Polisi tetap salah,'' ujarnya. Menurut dia, orang-orang itu harus dilepaskan dulu, dan petugas yang melakukan penculikan dihukum. Setelah itu baru bisa dilakukan penangkapan menggunakan surat penahanan. ''Kasus ini harus dipraperadilankan pihak keluarga karena polisi menyekap orang tanpa ada alasan,'' katanya. Jika polisi punya data bahwa seseorang terlibat membunuh, tentu ada prosedur untuk menanganinya. ''Kenapa harus diculik dan disekap 18 hari tanpa hadirnya pengacara?'' ia bertanya. Menurut Abdul Hakim, seluruh pengakuan orang yang diculik tak bisa dijadikan bahan untuk berita acara pemeriksaan. Kasus seperti ini, dalam catatan Abdul Hakim, sering terjadi di Indonesia. ''A.M. Fatwa dulu ditahan dengan cara begini. Harus ada tindakan, sebab, kalau cara penculikan dibenarkan, negara kita mau menjadi apa?'' ujar pengacara itu. Profesor J.E. Sahetapy dari Universitas Airlangga Surabaya menilai tindakan petugas yang diterapkan bukan wujud kekuasaan hukum, tapi hukum kekuasaan. ''Kalau hukum kekuasaan, ya hukum dipraktekkan sesuka hati si penguasa. Mana ada aturan menangkap orang tanpa surat penahanan?'' katanya kepada Jalil Hakim dari TEMPO. Terhadap ironi di bidang hukum ini Pengacara Amir Samsyuddin di Jakarta, mengemukakan, kalau para korban tidak mau menuntut keadilan, kita harus mempersoalkannya. ''Kita tidak mempersalahkan, tapi mempermasalahkan tiap tindakan di luar hukum,'' ujarnya. ''Yang kita harapkan bukan hanya penjelasan, tapi perlu diluruskan dengan menindak pelaku-pelakunya,'' katanya kepada A. Kukuh Karsadi dari TEMPO, seraya mengingatkan asas praduga ta bersalah harus ditegakkan seperti diatur KUHAP. Juga batas penahanan tersangka untuk pemeriksaan, menurut KUHAP, adalah 1 x 24 jam. ''Dan kalau ada orang ditahan sampai 19 hari tanpa pemberitahuan, ini sewenang-wenang. Jadi, tak bisa kita biarkan untuk tidak dipersoalkan,'' kata Amir. ''Kalau benar polisi yang melakukannya, kenapa setelah 19 hari baru ada penjelasan. Syukur dia masih hidup, kalau mati atau hilang bagaimana?'' tambahnya. Dalam pada itu, Jaksa Agung Singgih, S.H. mengaku belum menerima laporan resmi tentang kasus pencidukan Mutiari dan kawan-kawan tanpa surat penahanan. ''Mungkin tanggal suratnya salah,'' katanya kepada Linda Djalil dari TEMPO. Menurut Singgih, jika kabar itu benar, berarti suatu kesalahan. ''Nanti saya tunggu laporannya dulu, dong,'' ujarnya. Ed Zoelverdi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum