Seorang nasabah kecele karena tanahnya yang dijaminkannya ke Bank sudah dijual bank itu. Padahal, ia sudah menang perkara. BANK bisa menjadi dewa penolong nasabah, dan bisa pula menjadi pembunuh yang menakutkan. Contohnya, pengalaman buruk seorang pengusaha kontraktor, Sukanto Karmawan, yang kini kehilangan 44 ha tanahnya di Sukabumi, Jawa Barat, senilai Rp 4 milyar, hanya gara-gara punya utang Rp 50 juta di Bank. Lebih celaka lagi, Sukanto tak kunjung bisa menguasai kembali tanahnya, kendati ia sudah mengantungi putusan Mahkamah Agung (MA) yang memenangkannya, sejak Agustus tahun silam. Sebab, ternyata tanah itu sudah dijual habis Bank (BP), ke pihak lain. Itulah yang menyebabkan Sukanto sampai kini hanya bisa mondar-mandir ke pengadilan. "Nasib saya sungguh ngenas," keluh kakek 70 tahun itu, yang kini jatuh pailit. Padahal, sejak 1950, Sukanto, yang nama kelahirannya Oen Seng Koen, adalah pemborong kondang, memiliki PT Pasti Lima Tujuh. Pada 1974, Sukanto yang sudah lama menjadi nasabah di bank milik Ibnu Sutowo itu menjaminkan tanahnya seluas 44 ha di Parung Kuda, Sukabumi. Ia mendapatkan plafon kredit Rp 500 juta. Sayangnya, sebelum sempat mengambil kredit, bisnisnya jatuh. Meskipun batal mengambil kredit, sertifikat hak guna bangunan miliknya itu tetap ia jaminkan, agar bila perlu uang lagi akan mudah urusannya. Beberapa bulan kemudian, ia mengambil kredit sekadarnya, sekitar Rp 50 juta. Uang itu digunakannya untuk modal menyuplai para kontraktor Pertamina. Tapi ia gagal lagi karena Pertamina kesulitan keuangan. Kesulitan Sukanto berlipat karena utangnya di BP berlipat pula. Ia tak bisa mencicil pinjaman itu, sehingga kredit berbunga-bunga menjadi Rp 120 juta. Ia lalu minta kepada BP agar bunga kreditnya disetop. Waktu itu ia diminta menandatangani blangko, yang katanya untuk menaikkan hipotek. Tahu-tahu, 1980, ia dipanggil Kantor Agraria Sukabumi karena 4 ha tanah agunannya dijual BP ke PLN, seharga Rp 30 juta. Di situ Sukanto baru tahu bahwa bank itu menjual tanahnya berdasarkan akta dading (perdamaian) 1978, yang isinya: Sukanto memberikan kuasa penuh kepada BP untuk menjual tanah agunan itu. Padahal, Sukanto tidak pernah merasa menandatangani surat semacam itu. Karena BP masih saja menjual tanah itu sepotong-sepotong, Sukanto menggugat ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Mahkamah Agung, belakangan, memenangkannya. Selain membatalkan akta dading 1978 itu, MA menyuruh Sukanto menjual tanah itu. Hasil penjualannya, setelah dipotong untuk BP Rp 90 juta, boleh ia nikmati. Berbekal putusan kasasi itu, Sukanto mendatangi Pengadilan Jakarta Pusat meminta eksekusi. Tapi ia terlambat. Di atas tanahnya itu sudah berdiri pabrik milik Martha Tilaar, peternakan ayam, perkayuan, dan sebagainya. Semua perusahaan itu membeli tanah tersebut dari BP. Pihak BP menilai, putusan MA itu telat datangnya. Soalnya, tanah itu telah terjual ketika akta dading masih berlaku. Pihak BP berani menjual karena akta dading tadi juga mencantumkan surat kuasa penuh Sukanto kepada BP. "Kami hanya penerima kuasa dan tidak pernah menguasai tanah itu," kata kuasa hukum BP, Anis Idham. Maka, setelah menjual tanah itu ke PLN, pada 1982, BP menjual lagi seluas 8,2 ha kepada Bambang Sulistio. Sisanya, 1984, dilepas ke PT Agung Podomoro. "Sialnya, Sukanto, kalau ia tidak setuju, kenapa dulu tidak meminta sita jaminan atas tanah itu," ujar Anis Idham, enteng. Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, R. Saragih, enggan mengomentari perkara ini. Tapi seorang sumber yang berkompeten mengatakan, persoalan Sukanto itu bisa diatasi dengan simpel. Caranya: "Gugat lagi BP itu." Ardian Taufik Gesuri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini