Walau jamu gendong mudah mengundang diare, khasiatnya lebih baik dibanding jamu bikinan pabrik. MINUM jamu tidak boleh sembarangan. Bila tak teliti, bukannya badan menjadi segar, sebaliknya bisa lemas karena acap buang cairan akibat diare. Apalagi jamu yang diolah sederhana, yang gampang basi dan berjamur, kalau diminum tentu membuat mencret. Jamu yang digendong embok-embok itu paling lama bertahan 12 sampai 24 jam saja. Omongan tersebut bukan dari pesaing jamu gendong, tetapi hasil penelitian Suwijiyo Pramono. Ia adalah ahli obat tradisional dan fitoterapi di Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Penelitiannya yang berjudul "Efektivitas Industri Kecil Obat Tradisional di Kabupaten Sleman", pekan lalu dipaparkan di P3PK (Pusat Penelitian Pembangunan Pedesaan dan Kawasan) universitas itu. Dibantu dua staf teknis, Suwijiyo menjaring 57 industri kecil obat tradisional yang ada di Kabupaten Sleman. Sebagian besar merupakan usaha jamu gendong. Ia juga menemukan sepuluh warung jamu, dua usaha penanaman bahan baku jamu, dan sebuah industri terdaftar yang satu-satunya masih aktif. Dari semua industri rumah tangga yang terserak di 44 desa itu, lalu diambil sampel. Semua sampel kemudian diteliti, apakah ada pencemaran mikroba. Pengamatannya dilakukan dua kali. Pengamatan pertama ketika jamu selesai dibuat dan mulai akan dijual. Sekitar delapan jam kemudian sampel tadi diperiksa lagi. Ternyata, pada jamu basi didapati bakteri coli dalam jumlah besar. Selain coli, pada sebagian besar sampel tersebut juga ditemui jamur Rhizopus. Jasad renik ini memang bukan termasuk patogen, yang menyebabkan penyakit. Namun, kalau di perut terlalu banyak coli, tentu mengundang diare sehingga kalau minum jamu basi memang bisa diare. Pencemaran bakteri itu paling gampang terjadi pada jamu yang dijajakan keliling dari rumah ke rumah. Bakteri coli bahkan dapat ditemukan beberapa saat saja setelah jamu rampung dibuat. Dari 44 sampel, empat sampel jamu gendong sudah tercemar ketika jamu belum mulai diedarkan. Tiga puluhan sampel yang diambil dari sisa jamu yang tidak terjual baru ketahuan tercemar ketika diperiksa delapan jam kemudian. Yang diambil dari warung pun ternyata tidak bebas pencemaran. Namun, jumlah coli yang mencemarinya lebih sedikit. Pada jamu hasil olahan industri terdaftar, kondisinya lebih baik. Pencemarannya baru tampak setelah disimpan dan diamati terus sekitar dua bulan. Jamu produksi industri ini berupa serbuk yang memang lebih sulit dicemari mikroba. Sebab, bakteri dan jamur lebih suka hidup dalam jamu yang agak basah. Karena itu, jamu kering baru rusak jika kadar airnya melebihi 10 persen. Menurut Suwijiyo, pencemaran jamu terjadi karena bakteri atau spora jamur belum mati selama proses pengolahan yang tak sempurna. Tetapi jamu yang diproses baik juga bisa tercemar. Dan jika penyimpanannya tak baik, malah dapat terkontaminasi udara kotor. Makanya, jamu gendong lebih cepat rusak dibanding jamu yang dijual di warung. Tutup jamu gendong sering dibuka. Dan kalau kemudian tidak ditutup rapat, itu bakal mengundang bakteri. Sedangkan di warung, pemiliknya kebanyakan menyimpan jamu-jamu yang tak tahan lama dalam lemari es. Sebenarnya, pencemaran jamu sudah dimulai dari bahan bakunya. Bahan baku jamu seperti temulawak, empon-empon, jahe, kencur, dan kunir secara alami menyimpan potensi penyakit karena bahan- bahan itu diambil dari dalam tanah yang menyimpan segala macam jasad renik. Jadi, jamu yang diolah dari beras kencur, cabe puyang, kunir asam, galian singset, menurut Suwijiyo, memang gampang basi. Sebab, bahan dasarnya dari rimpang atau akar-akaran. "Walaupun rimpang mengandung minyak atsiri yang bisa membunuh bakteri dan jamur, jumlahnya tak cukup untuk membunuh semua bakteri," kata ahli fitokimia lulusan Universitas Toulouse, Prancis, ini kepada Moch. Farid Cahyono dari TEMPO. Lagi pula, kalau bahan tak dicuci bersih, bakteri akan terbawa dalam jamu. Maklumlah, spora bakteri ini cukup bandel sehingga tidak mati jika proses pengolahannya kurang cermat. Misalnya, pemanasannya tak cukup, atau air mendidih tidak sempurna, yaitu kurang dari 30 menit. "Jamu gendong memang memiliki kelemahan pada proses produksinya," ujar Jaya Suprana pemilik Perusahaan Jamu Djago, yang pada 1989 pernah mengadakan festival jamu gendong di Semarang. Apalagi yang dibuat di industri rumah tangga adalah jamu basah, maka sifatnya memang tidak awet. Walau demikian, jamu basah khasiatnya justru lebih baik dibanding jamu kering. Bahkan, sekalipun dibandingkan jamu kering yang diproduksi perusahaan jamu dengan teknologi tinggi yang sudah melalui berbagai riset. "Saya berani menjamin, jamu kering, termasuk yang saya produksi, masih kalah dibanding khasiat jamu gendong," ujar Jaya Suprana. Boleh jadi, asal jamu gendong itu masih dalam keadaan segar betul. Sedangkan membedakan jamu segar dengan jamu kedaluwarsa tidak sulit. Kalau jamu kering, dicurigai berjamur jika bentuk serbuknya sudah bergumpal atau tidak mawur lagi. Jamu basah ketahuan basi dari baunya yang berubah -- di samping di permukaannya ada gelabat yang bentuknya mirip sarang laba-laba. Seandainya masih sulit, kata Suwijiyo, tanya saja kepada embok jamu jam berapa ia mulai jualan. "Kalau lewat delapan jam sebaiknya tidak usah beli," tambahnya. Toh, biasanya jamu ini laris. Hasil penelitian Suwijiyo membuktikan 94,5% bakul jamu di Sleman sudah habis dagangannya kurang dari delapan jam. Karena itu, tak perlu memusuhi jamu gendong. Asal kita teliti sebelum membeli. G. Sugrahetty DK. (Jakarta) dan Heddy Lugito (Semarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini