Semula terjadi ulur-ulur batas waktu peredaran 282 merek obat. Kalangan farmasi menyebutkan kerugian Rp 100 milyar. BATAS waktu penarikan 282 merek obat tak lagi teka-teki -- yang sebelumnya ramai dalam peredaran saja. Kepastian deadline itu baru Senin pekan silam ditetapkan Drs. Slamet Soesilo, Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan (POM). Ia menegaskan, obat produk 111 industri farmasi itu harus ditarik dan ditinjau lagi (reevaluasi) hingga Oktober tahun ini. Selama ini Pemerintah menggunakan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 389/1980 untuk memonitor obat jadi yang hendak diedarkan. Kemudian kriteria yang rinci terhadap obat yang boleh beredar dipertegas dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3433 -- antara lain tentang kemujaraban, keamanan, dan mutunya. Setelah Pemerintah menilai berdasarkan dua peraturan tadi, ternyata ke-282 obat itu -- baik yang bebas beredar maupun dengan resep dokter -- tidak punya daya sembuh. Obat-obat itu ada yang hanya memberikan plasebo, yakni secara psikologis membantu penyembuhan, tetapi efek negatifnya cukup besar. Sebagian besar (93 merek) yang harus ditarik adalah obat antidiare. Di antaranya, 27 obat antidiare yang mengandung kliokinol seperti Bekaviorom (250 mg) produksi Kimia Farma, Bintaform (250 mg) produksi Bintang Toedjoe, Ultrastop (125 mg) dari pabrik Henson Farma, dan 66 macam antidiare lainnya. Kemudian yang digilir minta ditarik dari peredaran adalah obat dari jenis siproheptadine, perangsang nafsu makan. Seterusnya menyusul obat dari golongan steroid anabolik, yang merangsang pertumbuhan. Merujuk pada daftar Indeks Spesialis Obat (ISO), yang mengandung steroid anabolik, antara lain, Primobolan Depot (100 mg) serta Deca Durabolin (25 mg). Juga minta dilenyapkan dari peredaran adalah obat dari berbagai merek yang berkhasiat antiasma dan antibiotik. Jenis obat yang mengandung kliokinol, dalam penilaian Dirjen POM, merusak saraf selaput mata. Ini juga pernah diamati oleh Prof. Iwan Darmansyah. "Kliokinol, tidak efektif buat diare," katanya. Tetapi guru besar yang tiga kali sudah meneliti obat antidiare ini mempertanyakan, mengapa obat yang tak mengandung kliokinol ikut ditarik. Menurut farmakolog dari Universitas Indonesia ini, jika obat antidiare dilenyapkan di pasaran, orang akan beralih menggunakan obat yang mengandung imodium, yang berfungsi menghentikan pergerakan usus. Gerakan usus itu mendorong orang untuk buang air. Dan diare adalah mekanisme refleks tubuh untuk mengeluarkan kotoran. Akibatnya, walaupun orang itu minum imodium sehingga mencretnya berhenti, toh perutnya tetap mulas karena masih menyimpan kotoran. Iwan Darmansyah bahkan mempertanyakan keterangan Pemerintah tentang obat perangsang nafsu makan dari jenis siproheptadine, yang mempunyai efek samping berupa insomnia, halunisasi, histeria, sakit kepala, dan menggigil. Menurut dia, obat jenis ini membuat pemakannya cuma mengantuk. Tidak lebih dari itu. "Efek rasa mengantuk dari obat masih bisa diterima," katanya. Sedangkan obat yang tergolong jenis steroid anabolik, yang mengandung hormon laki-laki, memberikan efek kelaki-lakian. Sedikit saja obat ini diminum, si peminum akan berkumis dan di sekujur tubuhnya tumbuh rambut. Semula penarikan obat-obat tersebut direncanakan pada Agustus depan -- setelah Januari lalu diberi tahu. Kemudian, diadakan pertemuan antara Gabungan Perusahaan (GP) Farmasi Indonesia dan Dirjen POM, dan disepakati penarikan diundur hingga Oktober nanti. GP Farmasi menganggap waktu penarikan terlalu singkat. Sedangkan jenis obat yang ditarik justru merupakan tulang punggung industri. Mereka bahkan memperkirakan pihak industri farmasi akan mengalami kerugian sekitar Rp 100 milyar. Keberatan GP Farmasi disanggah Iwan Darmansyah. Ia tak melihat soal kerugian semata-mata ancaman. "Bukankah mereka selama ini telah merugikan rakyat sebesar jumlah yang sama dari tahun ke tahun?" tanyanya. Menurut Iwan, industri obat dibuat untuk mengabdi kepada rakyat, tidak hanya untuk kepentingan industri. Namun, tidak semua perusahaan farmasi keberatan atas penarikan tersebut. Misalnya Kimia Farma, yang diharuskan menarik obat antidiare (Bekaviorom dan Entero Viosulfa), justru menerimanya. "Kita harus berpegang pada moral dan etika produsen obat," kata Amir Basir. Karena itu, jika obat yang diedarkan terbukti tidak efektif, mereka harus menariknya. "Soal untung rugi, itu risiko berusaha," tambah Direktur Pemasaran Kimia Farma itu. Sebetulnya, menyoalkan deadline seperti dikemukakan GP Farmasi itu kurang tepat. Sebab, perintah menarik sejumlah obat yang berisi ramuan membahayakan sudah muncul sejak 1984. Bahkan obat itu tak boleh lagi diproduksi. Pemerintah waktu itu juga melarang diedarkan sejumlah merek obat yang mengandung kliokinol dan entrovioform. Ini artinya merek lain yang komposisinya sama seperti itu tetap dilarang diedarkan. Sudah tiga tahun lalu sebenarnya pengusaha farmasi diberi tahu bahwa tak lama lagi sejumlah obat yang mereka produksi dilarang diedarkan. Setelah pemberitahuan itu, pihak PT Merck tidak memproduksi Pasuma Strong yang mengandung steroid anabolik. Dan yang telanjur beredar ditarik lagi, sejak empat tahun lalu. Ini sama seperti dilakukan PT Schering Indonesia. Pabrik yang memproduksi obat Primobolan dan Primobolan Depot itu, sejak tiga tahun lalu, menarik kembali produknya tersebut. Jadi, pemberitahuan yang diedarkan Januari lalu itu tidak lebih hanya formalitas belaka. Rustam F. Mandayun, Siti Nurbaiti, G. Sugrahetty Dyan K.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini