PENDERITAAN anak malang itu berakhir dengan tragis. Berbagai siksaan dan pukulan yang dilakukan ayah kandungnya sendiri rupanya tak tertahankan lagi oleh Arie Manggara, 7. Pelajar kelas satu SD Yayasan Perguruan Cikini, Jakarta Pusat, itu akhirnya tewas Kamis dinihari pekan lalu. Dengan tuduhan mencuri uang milik teman sekolahnya - meskipun setelah dicek tak seorang pun yang kehilangan uang Rp 8.000 - Arie disiksa sejak Rabu malam. Untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, ayah kandung korban, Machtino Ediwan, 33, kini ditahan Polsek Mampang Prapatan. "Dia sudah mengaku menghajar anaknya dengan tangan dan gagang sapu, serta membenturkan kepala korban ke tembok," ujar sumber di kepolisian. Sampai Senin pekan ini, ibu tiri korban, Santi, 26, tak ditahan, meskipun ia juga mengaku ikut menganiaya korban. Bahkan menurut tetangganya di Duren Tiga, Jakarta Selatan, Santi itulah - yang menurut pengakuannya belum menikah secara resmi dengan Machtino - yang bengis dan sering memukuli anak tirinya. Tapi, kata polisi, kini sedang dicari bukti dan petunjuk lebih lanjut tentang wanita itu. Kasus ayah yang tega membunuh anak itu terungkap Kamis dinihari 8 Oktober lalu sekitar pukul 03.30. Ketika itu, Machtino mengantar Arie - anak kedua dari empat bersaudara - ke RSCM (Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo), dalam keadaan tak bernyawa. Sekujur tubuh anak itu penuh luka bekas penganiayaan. Kepada petugas, Machtino menyatakan bahwa anaknya cedera akibat kecelakaan lalu lintas. Tapi melihat bentuk luka memar di sekujur tubuh Arie, petugas itu tak percaya. Polisi pun dihubungi, dan esok harinya, ketika hendak mengambil jenazah Arie di kamar mayat, Machtino ditangkap. Barulah sewaktu diperiksa, Machtino mengakui bahwa Arie meninggal akibat penganiayaannya. Pada hari itu juga, Jumat 9 November, Arie dikuburkan di permakaman Jeruk Purut, Jakarta Selatan. Seusai pemakaman, barulah polisi tahu bahwa Santi hanyalah ibu tiri korban, karena ketika itu datang Nyonya Dahlia Nasution, 28, ibu kandung Arie. "Padahal, sebelumnya, baik Machtino maupun Santi berkeras bahwa Santilah ibu kandung korban," kata sumber di Polsek Mampang Prapatan. Dahlia bercerai dengan Machtino Agustus 1982. Tiga orang anak ikut ayahnya, sedang anak ketiga, Arkie, 5, ikut ibunya. Penyiksaan yang dilakukan terhadap Arie, yang 31 Desember nanti genap tujuh tahun, sebenarnya sudah dimulai 14 Agustus lalu, sewaktu dalam tas sekolahnya ditemukan uang Rp 8.500. Ketika itu, Arie mengaku mengambilnya dari tas seorang temannya. Tapi ketika Ibu Guru Hadijah menanyakan, ternyata tak seorang pun merasa kehilangan uang. Padahal, ayahnya, yang kini sedang menganggur, merasa tak pernah memberikan uang sebanyak itu. Entah dari mana Arie memperolehnya. Yang jelas, ayahnya ketika itu sempat memukul dan menghukum Arie. Pada 3 November, ditas Arie kembali ditemukan uang Rp 8.000, yang juga tak jelas asal usulnya. Kali ini Machtino dan Santi betul-betul naik pitam. Anak itu dihajar dengan tangan dan gagang sapu. Santi kemudian membenturkankan kepala Arie ke tembok. Esok harinya, Arie dihukum agar mengangkat kedua tangannya yang terikat, dengan wajah menghadap tembok. Kedua kaki Arie kemudian ikut diikat. Praktis, sepulang sekolah sampai malam hari itu Arie tak bisa beranjak dari dapur. Makan dan minumnya pun dicatu. Oleh ayahnya, menurut sumber di kepolisian, Arie hanya dibolehkan minum pada pukul 14.00 dan baru diberi makan pada pukul 20.00. Ternyata, penderitaan anak malang itu belum berakhir. Esok harinya, 5 November sampai 7 November, ia tak dibolehkan masuk sekolah. Bahkan, pada 7 November malam, Arie benar-benar mengalami siksaan yang berkepanjangan. Sejak pukul 20.00, ia disuruh berdiri menghadap tembok dan diperintahkan jongkok dan berdiri berganti-ganti. Bila tak kuat, Arie langsung dihajar. Arie, dengan tangan terikat dan bertelanjang dada, masih tetap disuruh berdiri menghadap tembok sewaktu ayahnya pergi tidur. Sang ayah menjadi benar-benar naik pitam ketika pada pukul 24.00 melihat Arie ternyata sudah duduk di kursi. Anak yang tak berdaya itu kontan dihajar. Pukulan dan sabetan gagang sapu bertubi-tubi mengenai tubuhnya. Sebilah pisau sempat pula diacung-acungkan untuk menakut-nakuti Arie. Sekitar pukul 03.00, Arie rupanya sudah tak tahan menanggung derita. Ia terjatuh dan pingsan. Ia sudah tak bernyawa sewaktu Machtino membawanya ke RSCM. Tapi, tak urung, pada saat upacara penguburan, Machtino - yang pernah mengikuti pendidikan penerbang di Curug tapi gagal menangis. "Maafkan Papa, Arie. Papa tak bermaksud membunuhmu," ujarnya di sela tangis. Nyonya Dahlia, ibu kandung korban, yang tak sempat menyaksikan upacara penguburan, sudah tentu merupakan orang yang paling merasa kehilangan. Di Polsek Mampang, ia sempat memukuli bekas suaminya dengan sandal. Ia berniat memindahkan kubur Arie ke Bogor, berdampingan dengan kubur kakeknya yang meninggal dua tahun lalu. Pasangan Dahlia-Machtino, menurut Nyonya Zainal. ibu Dahlia. menikah tahun 1975. Mereka rupanya kurang bahagia. Sering sekali mereka pindah rumah kontrakan, juga Machtino beberapa kali pindah pekerjaan. Sampai kemudian, 1981, Dahlia "mengungsi" ke rumah orangtuanya. Tahun berikutnya, 1982, mereka pun bercerai. Tak dinyana, Machtino lalu menggaet Santi, bekas teman baik Dahlia. Santi kini bekerja di sebuah perusahaan swasta. Menurut Nyonya Zainal, Machtino sebenarnya cukup sabar terhadap anak. "Ia periang, sayang anak, dan suka mengalah," kata Nyonya Zainal mengenang. Para tetangga mereka di rumah kontrakan di Duren Tiga pun mendapat kesan yang sama. "Yang jahat itu justru istri mudanya. Sering kami mendengar ia memarahi atau membenturkan kepala anak tirinya ke tembok. Apalagi kalau ayahnya tak ada," ujar tetangga dekatnya. Pasangan Machtino-Santi pun tampaknya kurang serasi. Mereka, menurut beberapa tetangga, sering bertengkar. Pada bulan Puasa lalu, misalnya, para tetangga yang hendak sembahyang tarawih menyaksikan Santi sampai mengacungkan sebilah pisau kepada Machtino sambil berteriak-teriak. Ia konon merasa berat harus mencari nafkah, sementara suaminya terus menganggur. Menurut para tetangga, Arie dan kedua saudaranya sebenarnya termasuk anak yang pendiam dan jarang keluar rumah. Beberapa waktu sebelum meninggal, kata tetangga itu, Arie pernah datang menemui tetangga itu dan mengeluh dadanya sakit. Anak itu kelihatan pucat dan seperti tertekan sekali, kata tetangga tadi. Namun, sewaktu ia menawarkan jasa agar kalau ada apa-apa segera menemuinya kembali, Arie menjawab, "Saya nggak berani. Takut dibunuh."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini